Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Integrasi Pengguna Commuter Line dari Stasiun Sudirman ke Moda Transportasi Lain

19 November 2015   06:11 Diperbarui: 19 November 2015   08:46 1727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka sudah beralih dari kendaraan pribadi, menjadi pengguna transportasi publik. Para pihak yang berwenang sudah sepatutnya mengapresiasi peralihan tersebut, dengan menata transportasi perkotaan, agar saling terintegrasi. Ego sektoral antar lembaga, hendaknya dikelola secara positif, dengan mengedepankan kepentingan publik. Tanpa kesungguhan bersama para pihak yang berwenang, tentu makin sulit mewujudkan transportasi publik yang terjangkau, nyaman, dan terintegrasi. Foto: detik.com dan rri.co.id  

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

Untuk keluar dari Stasiun Sudirman di Jakarta Pusat pada pagi hari di hari kerja, dibutuhkan 15 menit antre di gate out. Bis, metromini, dan kopaja berjejalan di mulut stasiun. Tidak adakah yang berminat menatanya?

Penuh-sesaknya penumpang kereta commuter line tiap hari di Stasiun Sudirman, sudah menjadi bukti bagi kita bahwa sesungguhnya sebagian masyarakat, sudah mulai beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik[1]. Artinya, ketika sarananya tersedia dan tarifnya terjangkau, maka dengan sendirinya masyarakat termotivasi untuk memanfaatkannya. Mereka yang turun-naik di stasiun tersebut, bisa dikatakan mewakili kalangan kelas menengah yang berkantor di kawasan segitiga emas Jakarta: Sudirman-Thamrin-Kuningan. Mereka wangi, fashionable, penuh gaya, dan sebagian berdasi.

Dari Stasiun Sudirman ke Selatan

Mereka yang keluar melalui pintu atas, yang berhadapan langsung dengan Jalan Sudirman-Thamrin, relatif agak beruntung. Ada kopaja dan metromini yang ngetem di mulut stasiun[2]. Untuk mereka yang berkantor di sepanjang Sudirman-Thamrin ke arah selatan, bisa langsung nyambung dengan dua jenis kendaraan umum tersebut. Ada juga bis yang memungkinkan mereka langsung nyambung ke arah Slipi dan Grogol di Jakarta Barat. Tapi, untuk nyambung dengan bis TransJakarta melalui shelter Dukuh Atas, bukanlah hal yang mudah.


Mereka harus melalui trotoar menurun, kemudian menuruni sejumlah anak tangga, menyeberang jalan dua arah, lantas berjalan lagi di trotoar yang sempit, untuk mencapai shelter Dukuh Atas. Bagi mereka yang wangi, fashionable, penuh gaya, dan sebagian berdasi, kondisi yang demikian tentulah kurang nyaman. Andai saja ada jembatan penyeberangan orang, yang menghubungkan Stasiun Sudirman dengan shelter TransJakarta Dukuh Atas, tentu kerepotan para profesional tersebut bisa diminimalkan.

Harap dicatat, ada sekitar 75.000 orang tiap hari yang keluar-masuk Stasiun Sudirman. Itu bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi sebagian besar dari mereka adalah para karyawan profesional, yang berkantor di sepanjang office building Sudirman-Thamrin. Sebagian dari mereka sudah beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik[3]. Maka, dalam konteks memotivasi masyarakat beralih ke transportasi publik, mereka tersebut patut diapresiasi oleh pihak berwenang, dengan menyediakan fasilitas integrasi dari stasiun ke shelter moda transportasi publik lainnya.

Sudah bertahun-tahun Stasiun Sudirman ada. Sudah bertahun-tahun pula shelter TransJakarta Dukuh Atas ada. Tapi, nampaknya belum ada pihak yang berkehendak mengapresiasi mereka yang sudah beralih ke transportasi publik tersebut. Di musim panas, mereka kepanasan. Di musim hujan, mereka kehujanan. Dari sisi finansial, mereka adalah para profesional yang potential buyer. Artinya, ada banyak industri yang hendak menjangkau mereka. Andai saja pihak berwenang membuka diri, kemudian bergandengan tangan dengan kalangan industri, barangkali fasilitas integrasi transportasi tersebut bisa diwujudkan.

Inilah situasi-kondisi yang dihadapi pengguna commuter line yang keluar melalui pintu atas Stasiun Sudirman, yang berhadapan langsung dengan Jalan Sudirman-Thamrin ke arah selatan. Para pengguna kendaraan pribadi yang sudah beralih jadi pengguna transportasi publik tersebut, menunggu metromini, kopaja, dan bis di bahu dan badan jalan. Integrasi antar moda transportasi, barangkali bisa mengatasi situasi-kondisi yang demikian. Foto: metrotvnews.com

Dari Stasiun Sudirman ke Utara

Mereka yang keluar stasiun melalui pintu bawah, langsung berhadapan dengan kerepotan. Kenapa? Karena, mereka harus melalui kolong Sudirman, berjalan di trotoar yang sempit di bawah kolong, menyeberang jalan dua arah, kemudian naik tangga, untuk mencapai bibir Jalan Sudirman-Thamrin yang mengarah ke utara. Bila hujan turun di pagi hari, kita akan menyaksikan, bagaimana mereka yang wangi, fashionable, penuh gaya, dan sebagian berdasi itu kocar-kacir di antara kendaraan yang berseliweran.

Dari sejumlah realitas di atas, kita menemukan realitas, bahwa pihak berwenang di ibukota Jakarta ini, sama sekali belum menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang sudah beralih ke transportasi publik[4]. Padahal, kita tahu, Stasiun Sudirman berada di kawasan protokol yang ratusan, bahkan ribuan, ruang kantor diisi oleh mereka yang menggunakan kereta commuter line tersebut. Kita juga tahu, mereka adalah sosok-sosok yang menggerakkan roda ekonomi di Jakarta, yang menjadi salah satu sumber pendapatan pemerintah kota.

Dalam konteks hak dan kewajiban, mereka berhak mendapatkan fasilitas integrasi transportasi publik yang memadai. Barangkali terlalu berlebihan bila kita bicara tentang integrasi transportasi publik, yang penggunanya leluasa menggunakan satu jenis tiket, yang proses move in dan move out dalam satu koridor, dan yang tingkat safety-nya memenuhi standar. Itu masih terlalu jauh dari harapan. Yang jelas di depan mata kini, ada sekitar 75.000 orang tiap hari yang keluar-masuk Stasiun Sudirman, tapi begitu keluar stasiun, mereka berhadapan dengan moda transportasi publik lain yang belum tersistimatisir.

Jika pihak KAI Commuter Line Jabodetabek (KCJ) dalam beberapa bulan mendatang efektif menjalankan rangkaian 12 kereta[5], maka bukan tidak mungkin, penumpang yang keluar-masuk Stasiun Sudirman akan membengkak menjadi 100.000 orang per hari. Sejauh ini, pemerintah DKI Jakarta belum merespon apa-apa, terkait lonjakan pengguna transportasi publik commuter line tersebut. Karena pemerintah kota Jakarta tidak memiliki inisiatif terhadap integrasi transportasi publik, kita tentu patut bertanya, institusi apa yang memiliki otoritas untuk menata serta mengelola transportasi publik dalam kota Jakarta?

Trotoar yang sempit di seputar Stasiun Sudirman, sudah ditempati para pedagang kaki lima dan menjadi area parkir para pesepeda motor. Para penumpang commuter line tidak mendapat ruang untuk berjalan kaki di trotoar. Bahkan, zebra cross untuk penyeberang jalan di depan Stasiun Sudirman ke arah Jalan Blora, dibuat oleh para relawan yang tergabung dari Koalisi Pejalan Kaki. Itu mereka lakukan secara sukarela pada Jumat (13/3/2015). Foto: liputan6.com

Rumit, Integrasi Transportasi

Apa yang terjadi kini, yang dihadapi para pengguna commuter line di Stasiun Sudirman, menunjukkan kepada kita bahwa para pihak yang berwenang memang harus belajar banyak tentang apa yang dimaksud dengan integrasi transportasi publik. Secara kasat mata, kita dari stasiun bisa melihat shelter TransJakarta Dukuh Atas. Begitu pula sebaliknya. Artinya, secara jarak, sesungguhnya relatif dekat. Namun, dalam konteks transportasi, kedua titik simpul transportasi publik tersebut, sama sekali tidak terintegrasi.

Kini, di ibukota, sedang dibangun Jakarta Mass Rapid Transit (MRT), juga akan dibangun Light Rail Transit (LRT). Akankah kedua moda transportasi publik tersebut terintegrasi dengan moda transportasi publik lainnya? Bila kita menyimak diskusi Sistem Transportasi yang Terintegrasi pada Rabu (9/9/2015) di Jakarta, kita tahu, wujud integrasi itu masih menjadi cita-cita. Harian Kompas[6] mencatat, walaupun pemerintah sedang membangun banyak moda transportasi modern saat ini, penyediaan sistem transportasi terintegrasi yang ideal, agaknya masih sulit diterapkan di Jabodetabek. Alasannya, kondisi yang ada sekarang tidak memungkinkan untuk itu.

Catatan Kompas tersebut menunjukkan kepada kita bahwa masih ada sejumlah kendala bagi terwujudnya transportasi publik yang terintegrasi. Salah satunya adalah dana. Achmad Baiquni, Direktur Utama Bank BNI, dalam diskusi tersebut mengatakan, investasi infrastruktur selama ini terkendala sumber pendanaan. ”Perbankan selama ini menjadi andalan. Namun, karakteristik investasi infrastruktur yang lama balik modalnya, berlawanan dengan dana perbankan yang bertempo pendek. Terjadi ketidaksesuaian,” ujar Achmad Baiquni.

Diskusi Forum Ekonomi Nusantara tersebut, diselenggarakan harian Kompas dan Bank BNI. Diskusi itu dibuka oleh Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Ninuk Mardiana Pambudy, dan Direktur Utama Bank BNI, Achmad Baiquni. Meski masih rumit dan masih terkendala sejumlah hal, tapi keberadaan TransJakarta dan Commuter Line, juga kelak MRT dan LRT, tetap patut kita apresiasi, sebagai upaya untuk mewujudkan transportasi publik bagi warga. Bagaimanapun juga, semua itu membutuhkan kesediaan banyak pihak, sekaligus juga kesungguhan para pihak.

Jakarta, 19 November 2015

-------------------------------

Komunitas yang terkait dengan Commuter Line Jabodetabek, terus tumbuh. Ini pertanda publik sesungguhnya berharap tersedianya transportasi publik yang terjangkau dan terintegrasi.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/click-community-unik-dari-kompasianer-untuk-transportasi-publik_56133ae00123bdd0048b4567

Rangkaian Commuter Line Jabodetabek, selain sebagai transportasi publik, juga mulai dilirik oleh sejumlah produsen produk untuk tempat beriklan dan berpromosi.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kriko-keliling-kota-komunitas-commuter-line-dan-aksi-pecinta-kereta_55e81febc3afbd410f281cd8

--------------------------------

[1] Kebutuhan akan transportasi publik, transportasi massal, sudah sangat mendesak di kota-kota besar di Indonesia. Presiden Joko Widodo menunjukkan kegeramannya dalam rapat terbatas tentang transportasi di kantor Presiden, pada Rabu (25/2/2015). Ia menilai perkembangan pembangunan transportasi massal mandek dan minim realisasi. Selengkapnya, silakan baca Soal Transportasi Massal, Jokowi Sindir Kota Besar Terlalu Banyak Rencana tetapi Tanpa Hasil, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 25 Februari 2015 | 22:07 WIB.

[2] Banyaknya angkutan umum, seperti metro mini dan kopaja, yang ngetem di depan Stasiun Sudirman, menyebabkan kemacetan di Jalan Sudirman, terutama dari arah Bundaran HI menuju Semanggi. Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, meminta aparat Dinas Perhubungan dan Transportasi segera menertibkan hal tersebut. Selengkapnya, silakan baca Ketua DPRD Keluhkan Banyaknya Angkot "Ngetem" di Depan Stasiun Sudirman, yang dilansir kompas.com, pada Jumat l 13 November 2015 | 14:37 WIB.

[3] Pengamat transportasi, Darmaningtyas, menyebutkan, jumlah masyarakat pengguna angkutan umum di Jakarta masih belum signifikan. Jumlah pengguna TransJakarta, rata-rata 350 ribu orang per hari dan pengguna KRL Commuter Line Jabodetabek, sekitar 700 ribu orang per hari. Ini baru sekitar 20 persen dari mobilitas publik di Jakarta. Bandingkan dengan Hong Kong, yang 90 persen mobilitas publik di sana, menggunakan transportasi publik. Ini sekaligus mencerminkan, betapa masih rendahnya perhatian pihak berwenang terhadap transportasi publik. Selengkapnya, silakan baca Ahok Soroti Rendahnya Penggunaan Transportasi Umum, yang dilansir cnnindonesia.com, pada Jumat l 09 Januari 2015 l 18:12 WIB.

[4] Pengguna commuter line yang turun di Stasiun Sudirman, juga berhadapan dengan pedestrian yang jadi sempit karena PKL (pedagang kaki lima), yang berjualan memakan bagian trotoar. Sampah yang berserakan dan badan trotoar banyak yang rompal, menunjukkan kawasan seputar Stasiun Sudirman membutuhkan penanganan serta pengelolaan, sebagai bagian dari perhatian terhadap transportasi publik. Selengkapnya, silakan baca Mendengar Celoteh Pejalan Kaki di Jakarta, yang dilansir kompas.com, pada Sabtu l 26 September 2015 | 11:59 WIB.

[5] Rangkaian 12 kereta sudah sempat diuji-cobakan dan direncanakan mulai efektif dijalankan awal tahun 2016. PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) menyebut, secara total, ada 21 stasiun yang harus direnovasi perpanjangan peron. Hal itu dilakukan terkait akan dioperasikannya rangkaian kereta rel listrik (KRL) Commuter Line dengan formasi 12 kereta. Selengkapnya, silakan baca Agar Bisa Layani Commuter Line 12 Gerbong, 21 Stasiun Alami Renovasi Peron, yang dilansir kompas.com, pada Kamis l 6 Agustus 2015 | 14:10 WIB.

[6] Sistem transportasi terintegrasi yang ideal, agaknya masih sulit diterapkan di Jabodetabek. Alasannya, kondisi yang ada sekarang tidak memungkinkan untuk itu. Selengkapnya, silakan baca Integrasi Transportasi Rumit, Penyatuan Sistem Pembayaran dan Fisik Masih Banyak Kendala, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 10 September 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun