Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bakpia Naik Harga: Oktober 2015 Karena Dollar, Desember 2014 Karena BBM

12 September 2015   16:31 Diperbarui: 13 September 2015   00:30 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali ke Bakpia. Rencana kenaikan harga Bakpia pada Oktober nanti, adalah kenaikan harga kedua, setelah pada Desember 2014, harga Bakpia naik mengikuti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Apa yang terjadi pada Bakpia adalah realitas yang sesungguhnya dari fluktuasi usaha rakyat. Tukang becak yang kerap mengantar pelancong membeli Bakpia di Yogyakarta, paham akan adanya gejolak ekonomi, tanpa harus berkutat dengan diktat di bangku kuliah. Dari Desember 2014 hingga Oktober 2015, tentulah belum setahun, tapi di kurun waktu itu, sudah akan terjadi dua kali kenaikan harga.

Dari sini kita bisa menyimak, para produsen Bakpia tersebut lebih mengacu kepada biaya produksi, dalam menetapkan harga. Bahasa kerennya, based on production. Dalam kalkulasi konsumen, karena sama-sama tahu bahwa semua serba naik harga, kenaikan tersebut relatif bisa diterima dan dipahami. Mungkin akan ada penurunan jumlah pembeli, juga akan terjadi penurunan omset, tapi penurunan tersebut akan berlangsung perlahan. Ketika musim libur tiba dan Yogyakarta penuh sesak dengan pelancong, penurunan tersebut akan tertutupi dengan sendirinya.

Ini berbanding terbalik dengan para pedagang makanan sepanjang Malioboro[5], yang menetapkan harga dengan acuan konsumen. Bahasa kerennya, based on market. Pelancong yang pernah merasakan gebukan harga di Malioboro, pasti ogah kembali lagi ke sana. Dari survey kecil-kecilan yang saya lakukan, mereka yang habis makan di Malioboro, terkaget-kaget menghadapi harga yang ditetapkan pedagang di sana. Tidak menyangka sekaligus tidak mengira, dengan harga yang harus mereka bayar. Malah ada yang membandingkan harga sepotong ayam di resto fast food dengan harga yang diberlakukan di Malioboro.

Itulah dua sisi dari Yogyakarta. Bakpia, yang 90 persen bahan bakunya impor, disikapi pelakunya dengan kearifan lokal, sebagai usaha rakyat. Harganya pun merakyat. Sebaliknya, pedagang makanan di Malioboro, meski yang dijual adalah produk lokal, ayam kampung pula, tapi para pedagang di sana menyikapinya dengan aji mumpung. Mereka menganggap, toh pelancong itu hanya sekali-sekali datang ke Yogyakarta. Lagi pula, karena mereka melancong, artinya mereka sudah siap dana untuk dibelanjakan.

Indonesia dimitoskan tidak bisa ditanami gandum. Sejumlah penelitian telah dilakukan, uji-coba pun sudah dilaksanakan. Hasilnya, tidak tertutup kemungkinan bagi Indonesia untuk mengembangkan tanaman gandum dalam skala luas. Dalam konteks kedaulatan pangan, tentu setahap demi setahap, ketergantungan pada impor tepung terigu dan biji gandum, sudah sepatutnya dikurangi. Foto: kompas.com

Terigu, Trigo, dan Gandum

Kembali ke Bakpia, sampai kapan kita terus bergantung pada impor tepung terigu? Kita tahu, tepung terigu adalah tepung halus yang terbuat dari biji gandum. Kata terigu sesungguhnya berasal dari bahasa Perancis trigo, yang berarti gandum. Bisakah gandum ditanaman di Indonesia? Ahli teknologi pangan, Prof. Dr. FG Winarno, menjawab, "Indonesia dimitoskan tidak bisa tanam gandum. Buktinya, pada tahun 2000, kita bisa menanam gandum. Benihnya kita ambil dari India. India saja bukan produsen gandum waktu itu, namun sekarang menjadi nomor dua terbesar di dunia, setelah Amerika Serikat. India ambil benih dari Mexico."

Itu diungkapkan FG Winarno di kantornya, di Indofood Tower, Jakarta, pada Kamis (9/2/2012)[6]. Selain itu, pakar sekaligus peneliti tanaman pangan dari Universitas Andalas (Unand), Padang, Prof. Irfan Suliansyah[7], mengatakan pada Selasa (7/4/2015) bahwa gandum pantas menjadi komoditi strategis Indonesia. Dia mencontohkan upaya yang telah dilakukan Unand, saat merilis kultivar gandum tropis dengan nama GURI 6 Unand. Dari upaya penelitian tersebut, Unand telah berhasil menciptakan kultivar jenis gandum yang dapat bertoleransi hidup di wilayah tropis dengan iklim panas.

Masih ada sejumlah penelitian serta penanaman gandum di berbagai wilayah di tanah air. Antara lain, di Nongko Jajar (Jawa Timur) dan Kopeng, Salatiga (Jawa Tengah)[8]. Juga, di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan[9]. Artinya, mengacu kepada sejumlah penelitian tersebut, tidak tertutup kemungkinan untuk mengembangkan tanaman gandum dalam skala luas. Mengingat bahwa nasi dari beras dan roti serta mie dari tepung terigu telah menjadi dua kategori makanan pokok masyarakat kita, tentulah penanaman gandum layak dipertimbangkan, sebagai bagian dari ketahanan pangan nasional.

Dalam konteks kedaulatan pangan, tentu setahap demi setahap, ketergantungan pada impor sudah sepatutnya dikurangi. Salah satunya, dengan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia di tanah air. Dalam konteks pergaulan regional dan internasional, kita memang tidak bisa sepenuhnya menutup diri dari produk impor. Tapi, bila berkaca pada gandum dan tepung terigu, yang kita sepenuhnya bergantung pada impor, alangkah sayangnya zamrud khatulistiwa yang gemah ripah loh jinawi ini.

Jakarta, 12 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun