Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hanya 4,5 Persen SMP yang Miliki Labor IPA dengan Fasilitas Lengkap

11 September 2015   14:45 Diperbarui: 11 September 2015   15:07 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di jenjang pendidikan menengah dan atas, penting untuk memotivasi minat siswa pada bidang sains dan teknologi. Apalagi kini sebagian besar aktivitas manusia bertumpu pada sains dan teknologi. Gambar ini adalah salah satu lomba di Kompetisi Robotik Nasional di SMA Negeri 28, Jakarta Selatan, pada Jumat (4/9/2015). Kompetisi yang diikuti siswa dari tingkat SD hingga SMA itu, bertujuan untuk menumbuhkan minat siswa terhadap sains dan teknologi. Foto: print.kompas.com

Oleh: isson khairul (id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1/ - dailyquest.data@gmail.com)

SPP masih dibutuhkan, meski sudah ada dana BOS. Ini demi pendidikan anak-anak kita, agar mereka bisa mengecap pendidikan yang berkualitas. Diharapkan, mereka kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas bagi negeri ini.

Itulah bagian dari sejumlah pokok pikiran, yang mencuat pada Rabu (9/9/2015) di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Pusat. Dalam diskusi Lima Tahun Standar Pelayanan Minimal dan Tuntutan Publik akan Pendidikan Berkualitas di Kemendikbud pada hari itu, ada kabar yang menggembirakan: 70 persen SD dan SMP sederajat di Indonesia, sudah mencapai standar pendidikan minimal (SPM)[1]. Hal itu disampaikan Hendarman, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan[2]. Capaian tersebut, merupakan wujud kesungguhan berbagai pihak yang berwenang, khususnya Kemendikbud, sejak tahun 2010 hingga 2015.

Keteladanan Kepala Sekolah

Pemenuhan atas standar pendidikan minimal (SPM) bagi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tersebut, tentulah merupakan hal positif bagi peningkatan dunia pendidikan kita. Setidaknya, dari SPM tersebut, peta pendidikan dasar dan menengah sudah lebih jelas, hingga bisa dijadikan landasan bagi perumusan rancangan, untuk meningkatkan kualitasnya ke level yang lebih tinggi. Sebagai catatan, ada sekitar 9,4 juta murid SMP yang menerima dana bantuan operasional sekolah (BOS)[3]. Artinya, total anggaran untuk dana BOS bagi jenjang SMP, mencapai Rp 9,4 triliun.


Meski dana BOS kerap dijadikan lahan korupsi[4] oleh sejumlah penyelenggara pendidikan, nyatanya ada 70 persen SD dan SMP sederajat di Indonesia, yang sudah mencapai standar pendidikan minimal (SPM). Andai saja, sekali lagi andai saja, dana BOS tersebut bisa diterima utuh oleh murid, maka bisa diperkirakan, capaian SPM tersebut tentulah akan lebih baik. Mungkin lebih dari 70 persen. Dengan demikian, waktu tunggu kita untuk mendapatkan generasi terdidik yang berkualitas, barangkali akan lebih singkat.

Selain perkara korupsi, yang juga menjadi penghambat bagi peningkatan kualitas pendidikan kita, adalah perilaku kepala sekolah. Dari hasil studi yang dilakukan Kemendikbud, yang disampaikan dalam diskusi tersebut, hanya 19,77 persen Kepala Sekolah SMP yang melakukan supervisi kelas secara berkala[5]. Ini tentulah realitas yang menyakitkan. Bukan hanya bagi dunia pendidikan, tapi juga bagi orangtua dan para murid. Padahal, supervisi kelas secara berkala tersebut, merupakan komponen penting untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar di tiap sekolah.

Kepala sekolah, pimpinan tertinggi di sekolah, seharusnya menjadi teladan bagi terlaksananya proses belajar-mengajar, sebagaimana mestinya. Dari hasil studi di atas, kita tahu, ternyata kepala sekolah belum sepenuhnya menjalankan fungsinya. Bila kepala sekolah tidak tertib menjalankan tata-kelola sekolah, bagaimana mungkin mereka menegakkan disiplin guru dan murid di sekolah yang mereka pimpin? Juga, bagaimana mereka memotivasi guru dan murid untuk berprestasi?

Andrew Sisson (kiri) berdialog dengan siswa kelas VIII SMP Negeri 3, Cimahi, Jawa Barat, pada Rabu (10/6/2015). Andrew Sisson, Mission Director United States Agency International Development (USAID) Indonesia, terkesan melihat pembelajaran IPA di SMP tersebut. Sisson juga berbaur dengan siswa kelas VII, yang sedang melakukan percobaan perpindahan kalor konduksi dan konveksi. Setiap kelompok siswa merakit perahu bertenaga uap dari bahan styrofoam, kaleng bekas, dan lilin. Usai dirakit, setiap perahu dilayarkan di atas air kolam. Para siswa, guru, dan Andrew Sisson bertepuk tangan merayakan keberhasilan percobaan tersebut. Foto: tempo.co

Sekolah Jadi Zona Integritas

Bahwa hanya 19,77 persen Kepala Sekolah SMP yang melakukan supervisi kelas secara berkala, menunjukkan kepada kita, betapa masih rendahnya integritas pimpinan sekolah. Kita tahu, entah sudah berapa ratus dan berapa ribu kali, kepala sekolah mengucapkan kata disiplin dan kejujuran di tiap wejangan, di tiap upacara di sekolah masing-masing. Bahkan mungkin mereka juga kerap menggelorakan pentingnya integritas. Tapi, ternyata, apa yang mereka ucapkan, belum tercermin pada perilakunya, dalam konteks tata-kelola sekolah.

Dalam hal ini, agaknya perlu kita ingat, apa yang digarisbawahi oleh Mendikbud Anies Baswedan. "Sekolah harus jadi zona integritas atau zona kejujuran. Sekolah harus berprestasi," ucap Anies Baswedan[6], saat memberikan keterangan pers hasil Ujian Nasional (UN) SMP-sederajat tahun 2015, di SMP Negeri 1 Kota Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis (11/6/2015). Rendahnya supervisi kelas secara berkala oleh Kepala Sekolah SMP, mencerminkan bahwa kepala sekolah yang bersangkutan tidak concern pada kondisi kekinian sekolah yang mereka pimpin.

Padahal, supervisi tersebut adalah mekanisme penting, untuk memotivasi guru dan murid, dalam konteks Need for achievement (N-Ach). Ada yang merumuskan bahwa N-Ach refers to an individual's desire for significant accomplishment, mastering of skills, control, or high standards. Bila kita korelasikan dengan pernyataan Anies Baswedan di atas, bahwa sekolah harus jadi zona integritas, bahwa sekolah harus berprestasi, maka memang sudah sepatutnya perilaku kepala sekolah menjadi pilar utama bagi kemajuan sekolah.

Capaian 70 persen SD dan SMP sederajat di Indonesia, yang sudah memenuhi standar pendidikan minimal (SPM), sudah diraih dengan susah-payah dan telah menelan biaya yang tidak sedikit. Untuk jenjang SMP saja, mencapai Rp 9,4 triliun. Seluruh pihak yang berwenang, baik di pusat maupun daerah, sudah sepatutnya tidak menyia-nyiakan capaian tersebut[7]. Tanpa tata-kelola sekolah yang baik, bukan tidak mungkin capaian tersebut merosot dengan sendirinya. Peran masyarakat, dalam hal ini orangtua murid, tentu tidak kalah pentingnya.

Beberapa hari lalu, Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dihitung dengan metode baru. Ini kesepakatan global dan metode baru ini diharapkan dapat memotret perkembangan pembangunan manusia dengan lebih tepat. Dari perhitungan tersebut, kita bisa melihat, bagaimana posisi manusia Indonesia dibandingkan dengan manusia di sejumlah negara tetangga. Pendidikan adalah salah satu faktor yang memengaruhi IPM tersebut. Foto: print.kompas.com

Labor IPA Sangat Dibutuhkan

Secara infrastruktur pendidikan, keberadaan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di jenjang SMP, tentulah penting adanya. Totok Amin Soefijanto, dari Education and Knowledge Management Specialist ACDP Indonesia, menyampaikan data yang cukup mencemaskan: hanya 4,53 persen SMP yang memiliki ruang laboratorium IPA dengan fasilitas lengkap[8]. Kita tahu, betapa rendahnya kapasitas sumber daya manusia kita, yang tercermin pada indeks pembangunan manusia[9]. Dalam bidang sains pun demikian, yang tercermin dari keberadaan fasilitas pendukung tentang sains di ranah pendidikan dasar-menengah kita.

Tapi, untuk membangun laboratorium IPA yang lengkap, misalnya, tentu tidaklah murah. Abdul Malik, Kepala Peningkatan Kemampuan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), dalam diskusi di Kantor Kemendikbud tersebut, mengingatkan, bahwa dana BOS dirancang hanya untuk memenuhi standar pendidikan minimal. "Jika sekolah ingin mencapai standar nasional pendidikan, maka harus ada tambahan biaya. Salah satu tambahan biaya itu berasal dari SPP," kata Abdul Malik[10].

Dengan kata lain, untuk meningkatkan kapasitas sekolah, demi kemajuan proses belajar-mengajar di sekolah, peran masyarakat, dalam hal ini orangtua murid, tentu tidak kalah pentingnya. Ini menunjukkan kepada kita, bahwa untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, semua pihak terkait memang sudah seharusnya berkontribusi, sesuai kapasitas masing-masing pihak. Pemerintah di pusat dan di daerah, juga penyelenggara pendidikan di sekolah, perlu di-support oleh masyarakat.

Dalam hal ini, inisiatif kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah, tentulah sangat dibutuhkan. Integritas kepala sekolah akan memotivasi masyarakat, untuk berkontribusi memajukan sekolah. Dalam konteks inisiatif dan integritas ini, apa yang dilakukan SMP Eka Dura Lestari, di Kecamatan Kunto Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, mungkin bisa menginspirasi. Sekolah swasta tersebut belum memiliki laboratorium IPA[11] tapi kepala sekolah, guru, dan para murid setempat memanfaatkan alam sekitar sebagai laboratorium alam.

Para siswa SMP tersebut, misalnya, sudah menghasilkan herbarium serta label taksonomi berbagai tanaman yang ada di sekitar sekolah. Siswa pun bersemangat menciptakan produk-produk khas sekolah, seperti pengawetan rangka vertebrata, pupuk kompos dari sampah organik, dan pupuk Takakuran Home Method. Bahkan, siswa yang tergabung dalam Sains Club SMP tersebut, telah menjadi Juara 1 Olimpiade Sains Biologi Tingkat SMP se-Riau di FKIP Universitas Riau. Padahal, SMP itu belum memiliki laboratorium IPA. Ini menunjukkan kepada kita bahwa inisiatif dan integritas kepala sekolah serta guru, berperan penting bagi kemajuan proses belajar-mengajar di sekolah.

Jakarta, 11 September 2015

---------------------------

Kompetensi guru, salah satu kunci pendidikan. Dari sekitar 1,6 juta guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), hanya 200.000 guru yang mampu meraih nilai di atas 60.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/kompetensi-guru-mari-kita-belajar-bersama-agar-guru-hebat-dan-murid-pintar_559c60f7169373a905ef062a

Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP) Malang, Jawa Timur, punya cara kreatif untuk mendukung program swasembada pangan: merekrut anak petani untuk dididik menjadi penyuluh pertanian.

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/sekolah-gratis-4-tahun-untuk-anak-petani-agar-menjadi-penyuluh-pertanian_55bccbd703b0bd8417880b3f

Ada 1 SMP dan 21 SD di daerah genangan Waduk Jatigede, Jawa Barat. Sampai saat penggenangan, sekolah pengganti belum disiapkan. Di mana 1.733 anak bangsa itu akan belajar?

http://www.kompasiana.com/issonkhairul/1-733-murid-dari-22-sd-waduk-jatigede-sekolah-pengganti-belum-disiapkan_55dfdd177793735b0531cd8b

--------------------------

[1] "Setelah standar pelayan minimal (SPM) dicapai, seharusnya pelayanan pendidikan terus ditingkatkan hingga mencapai standar nasional pendidikan (SNP)," kata Ketua Pengembangan Kemampuan Analytical and Capacity Development Partnership, Abdul Malik, di Jakarta, pada Rabu (9/9/2015). Selengkapnya, silakan baca Pengelola Sekolah Diharapkan Berperan, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 10 September 2015.

[2] Evaluasi lima tahun implementasi Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi pendidikan Indonesia, masih sangat rendah terhadap pencapaian SPM. Itu terbukti dari studi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selengkapnya, silakan baca Standar Pelayanan Pendidikan Indonesia Masih Rendah, yang dilansir bisnis.com, pada Rabu l 09 September 2015 l 14:14 WIB.

[3] Kemendikbud memastikan kenaikan dana bantuan operasional sekolah (BOS), sebagai imbas kenaikan anggaran fungsi pendidikan yang mencapai Rp 409,1 triliun,

setara dengan 20,006 persen dari total belanja negara di APBN 2015. Selengkapnya, silakan baca Dana BOS Naik, SD Rp 800 Ribu, SMP Rp 1 Juta, yang dilansir jpnn.com, pada Sabtu l 04 Oktober 2014 l 06:02 WIB.

[4] Sudah cukup banyak penyelenggara pendidikan yang tersangkut kasus korupsi dana BOS. Yang terbaru, menimpa Ismail, Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Kota Ambon, pada Rabu (9/9/2015), Ismail dituntut hukuman penjara 3,5 tahun, dalam kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun anggaran 2014. Selengkapnya, silakan baca Didakwa Korupsi Dana BOS, Kepsek SMAN 1 Bula Dituntut 3,5 Tahun Penjara, yang dilansir kompas.com, pada Rabu l 9 September 2015 | 22:19 WIB.

[5] Padahal, menurut John Strain, Ketua Program Pengembangan Kapasitas SPM Uni Eropa di Indonesia, kepala sekolah dan pengawas sekolah, berperan dalam kepemimpinan dan pengawasan. "Dalam SPM, kepala sekolah diwajibkan supervisi kelas dan memberikan umpan balik kepada setiap guru, dua kali per semester. Saya kira ini bukan hal yang sulit," kata John Strain. Selengkapnya, silakan baca Pengelola Sekolah Diharapkan Berperan, yang dilansir print.kompas.com, pada Kamis | 10 September 2015.

[6] Mendikbud Anies Baswedan mengajak seluruh pelaku pendidikan, menjadikan capaian hasil Ujian Naional (UN) dan Indeks Integritas Ujian Nasional (IIUN), sebagai potret awal untuk melakukan ikhtiar perbaikan ke depan. Selengkapnya, silakan baca Hasil UN dan IIUN SMP/Sederajat 2015 Sebagai Potret Awal Perbaikan, yang dilansir kemdiknas.go.id, pada Jumat l 12 Juni 2015 l 10:31 WIB.

[7] Standar Pendidikan Minimal (SPM) memiliki 27 indikator, yang harus dipenuhi pemerintah kabupaten/kota dan manajemen tingkat sekolah. Tanggung jawab manajemen tingkat sekolah, diambil alih oleh pemerintah pusat melalui pemberian dana BOS. Indikator SPM yang menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, antara lain, penyediaan guru, kualifikasi dan kompetensi guru, serta penyediaan sarana dan prasarana pendidikan. Tanggung jawab manajemen sekolah, antara lain, penyediaan buku dan media pembelajaran serta pelaksanaan proses pembelajaran.

[8] Totok Amin Soefijanto mengatakan, kekurangan yang sangat menonjol, tidak hanya ditemukan pada aspek fisik sekolah, tapi juga pada bagian-bagian penting proses pendidikan, seperti dalam hal supervisi, perencanaan belajar, dan penilaian murid. Selengkapnya, silakan baca Standar Pelayanan Pendidikan Indonesia Masih Rendah, yang dilansir bisnis.com, pada Rabu l 09 September 2015 l 14:14 WIB.

[9] Beberapa hari lalu, Badan Pusat Statistik meluncurkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dihitung dengan metode baru. Dengan metode baru, hasil perhitungan IPM saat ini, menjadi lebih rendah, dibandingkan hasil perhitungan dengan metode lama. Misalnya, IPM Indonesia yang baru pada 2010 dan 2013 menjadi 66,53 dan 68,31. Sebelumnya, dengan metode lama, IPM Indonesia pada periode yang sama, tercatat sebesar 72,27 dan 73,81. Selengkapnya, silakan baca Memaknai Indeks Pembangunan Manusia yang Baru, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu Siang | 9 September 2015 l 14:42 WIB.

[10] Beberapa sekolah negeri, khususnya di perkotaan, sudah mencapai standar nasional pendidikan (SNP). Pencapaian itu, salah satunya, melalui dana yang diperoleh dari sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). "Jika sekolah dilarang mengutip SPP, kualitas sekolah yang sudah mencapai SNP, bisa menurun," kata Kepala Peningkatan Kemampuan Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP), Abdul Malik. Selengkapnya, silakan baca Sumbangan Orangtua Masih Dibutuhkan untuk Tingkatkan Standar Sekolah, yang dilansir print.kompas.com, pada Rabu Siang | 9 September 2015 l 19:08 WIB.

[11] Para scientist dari Sains Club SMP Eka Dura Lestari, sangat bersemangat membuat produk-produk khas sekolah, seperti pengawetan rangka vertebrata, pupuk kompos dari sampah organik, dan pupuk Takakuran Home Method. Aktivitas sains tersebut, dari siswa dan untuk siswa. Tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh siswa. Mereka memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka. Selengkapnya, silakan baca SMP Eka Dura Lestari Sains Club Lahirkan Scientist Muda, yang dilansir riaupos.co, pada Rabu l 03 Juni 2015 l 10:52 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun