Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ketimpangan Si Kaya dan Si Miskin, dari Andrinof Chaniago hingga Faisal Basri

18 Agustus 2015   17:55 Diperbarui: 18 Agustus 2015   18:04 5037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Faisal Basri mencatat, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih lambat dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Vietnam dan Kamboja. Kita mungkin berpikir, biang keladi utamanya adalah rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Tapi, dengan mencermati apa yang terjadi di Provinsi Bali, mungkin bisa menambah pemahaman kita akan kemiskinan serta ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Mari kita lihat Provinsi Bali, yang pertumbuhan ekonominya pada triwulan I-2015 mencapai 6,20 persen, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional, yang hanya 4,71 persen.  

Ternyata, kemiskinan dan ketimpangan, juga mencolok di Bali. Wayan Windia, Guru Besar Universitas Udayana, Bali, pada Minggu (26/7/2015), mengemukakan, ketimpangan sosial ekonomi di Bali, justru semakin tinggi. Tingkat kemiskinan di Bali, kata Wayan Windia, juga semakin merambah naik[7]. Wah, apa yang terjadi? Bagaimana mungkin, di wilayah yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi, angka kemiskinan dan ketimpangan, juga tinggi?[8] Apa yang terjadi di Bali tersebut, bukan lagi sekadar indeks Gini, tapi realitas yang menunjukkan adanya dominasi ekonomi, penguasaan modal.

Ringkasnya, karena aktivitas ekonomi di provinsi tersebut, didominasi oleh sejumlah orang atau beberapa kelompok orang, yang menguasai modal serta menguasai pula arus barang dan jasa. Infrastruktur pariwisata, misalnya hotel dan restoran, memang terus dibangun di Bali. Turis terus berdatangan ke Bali. Tapi, porsi terbesar yang menikmati geliat ekonomi wisata tersebut, tetap saja para pemodal, yang sebagian besar datang dari luar Bali. Porsi berikutnya, dinikmati oleh para profesional, yang sebagian besar juga datang dari luar Bali. Tahun lalu, pada Rabu (27/8/2014), Wayan Windia, mencatat, hanya sekitar 16,21 persen pendapatan Bali dinikmati oleh 40 persen penduduk dengan penghasilan rendah[9].

Kemiskinan? Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, saat menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Provinsi Bali Tahun 2014, pada sidang paripurna DPRD Bali, awal April 2015, menyatakan, pendapatan per kapita penduduk Bali tahun 2014 adalah Rp 25,88 juta per kapita per tahun. Angka ini naik, karena pada tahun 2013, hanya Rp 23,31 juta. Pada saat yang sama, jumlah warga miskin[10] di Pulau Dewata ini, juga naik dari 4,49% pada periode September 2013 menjadi 4,76% pada periode yang sama tahun 2014. I Made Mangku Pastika menyebut, jumlah penduduk miskin di Bali, 195 ribu orang. Wayan Windia mencatat, ada sekitar 125.000 KK miskin di Bali.

Momentum pergantian sejumlah menteri ekonomi dan momentum keyakinan publik, sudah seharusnya dimanfaatkan pemerintah Joko Widodo dengan sebaik-baiknya. Kebijakan yang komprehensif, dengan memperhitungkan arus perubahan global, tentulah sangat ditunggu-tunggu oleh kalangan dunia usaha dan masyarakat pada umumnya. Foto: print.kompas.com

Kebijakan Parsial Bukan Solusi

Dari realitas kemiskinan dan ketimpangan secara nasional, sebagaimana dikemukakan Andrinof Chaniago dan Faisal Basri di atas, juga dari realitas kemiskinan dan ketimpangan di Bali, kita tahu bahwa kebijakan ekonomi tambal-sulam dan langkah ekonomi yang hanya parsial, yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo saat ini, tidak cukup ampuh untuk menjadi solusi bagi kemiskinan dan ketimpangan di negeri ini. Hasil survei periodik Litbang Harian Kompas[11], pada 25 Juni 2015 hingga 7 Juli 2015, menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan ekonomi, belum berdampak nyata.

Kemiskinan dan ketimpangan harus dicermati dengan lebih sungguh-sungguh. Faisal Basri menyebut, penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, berjumlah 77,6 juta jiwa. Angka itu setara dengan 31 persen atau hampir sepertiga jumlah penduduk negeri ini. Beban dan tanggung jawab untuk mengentaskan kemiskinan serta ketimpangan tersebut, tentulah bukan hanya urusan pemerintah. Tiap elemen bangsa ini, sudah sepatutnya secara bersama-sama turut membenahi, sesuai dengan profesi dan kapasitas masing-masing. Kebiasaan menangguk untung sesaat atau menginjak orang lain yang sedang membutuhkan pertolongan, sudah seharusnya ditinggalkan.

Bangsa ini milik kita bersama, maka secara bersama-sama pula kita berjuang agar tanah air yang kita cintai ini tidak terpuruk. Meutia Farida Hatta, putri Proklamator dan Wakil Presiden Indonesia pertama Mohammad Hatta, meminta pemerintah dan masyarakat bahu- membahu bekerja sama untuk mencapai kesejahteraan bangsa, seperti yang diinginkan para Proklamator dan pendahulu bangsa. Saat Napak Tilas 70 Tahun Kemerdekaan RI, Meutia Farida Hatta[12] menyebut, masih banyak rakyat Indonesia yang sejak lahir hingga meninggal dunia, dalam keadaan miskin.

Jakarta, 18 Agustus 2015

----------------------------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun