Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Masjid, Empat Gereja (Tanpa Bentrok)

8 Februari 2011   10:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297213220197862086

[caption id="attachment_89156" align="alignleft" width="259" caption="masjid dan gereja: rukun menjalankan ibadah masing-masing, saling menghargai sesama umat beragama"][/caption] pengantar dari penulis Belum lagi selesai kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten, hari ini setidaknya tiga gereja di Temanggung, Jawa Tengah, rusak karena menjadi sasaran amuk massa menyusul kerusuhan dalam persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Antonius Richmond Bawengan di Pengadilan Negeri Temanggung, Selasa (8/2/2011). Alangkah rentannya kerukunan beragama di negeri ini. Esei berikut saya tulis sebagai bahan renungan kita bersama. Terima kasih. ------------------------------------------ Satu Masjid, Empat Gereja (Tanpa Bentrok) Judul itu bukan ciptaan saya, tapi itu adalah judul salah satu berita utama koran Republika, Rabu, 15 September 2010. Kata (Tanpa Bentrok) itu tambahan dari saya. Membaca judulnya saja, saya bisa merasakan betapa berita itu ditulis dengan kerendahhatian, dengan kehati-hatian, dan dengan kebijaksanaan. Koran berbasis Islam itu agaknya paham betul apa yang belakangan ini tengah berkembang di masyarakat tentang pertikaian yang terjadi, terkait status lokasi ibadah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing, Bekasi, Jawa Barat. Ini mengingatkan saya pada seorang sahabat, Tommy F. Awuy. Ia lahir di Tatelu, Manado, Sulawesi Utara. Saya lahir di Padang, Sumatera Barat. Ia Kristen dan saya Islam. Selama kuliah di Jakarta, selama beberapa waktu, saya menumpang hidup padanya. Saya tidur di kamarnya dan makan dengan uang sakunya. Pada hari Jumat, ia menemani saya shalat Jumat di masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat. Selama saya shalat, ia menikmati bukunya di warung dekat pagar masjid. Pada hari Minggu, saya menemaninya ke gereja GPIB Paulus, tak jauh dari masjid tersebut. Sementara ia berdoa, saya asyik dengan buku di bangku satpam gereja tersebut. Kami bukan tokoh agama tapi kami sama-sama penganut agama. Ia pernah bercerita tentang lagu Merry Christmas dan White Christmas pada saya. Dari situ, saya kemudian menulis cerita pendek tentang Natal, kemudian dimuat di kumpulan cerpen Anita Cemerlang. Saya pernah bercerita tentang Maulid Nabi padanya, yang kemudian menjadi latar-belakang salah satu cerita pendeknya, yang juga dimuat di Anita Cemerlang. Terlintas di pikiran saya: bukankah mereka yang bertikai di Bekasi itu adalah orang-orang yang beragama bukankah tiap agama mengajarkan kasih-sayang bukankah mereka bisa duduk bersama mencari dan menemukan solusi secara agama bukankah di sana ada aparat pemerintah bukankah ada landasan formal untuk bermusyawarah sudah butakah mata hati mereka sudah hilangkah kesadaran mereka Sungguh, saya tak habis pikir. Dari awal kelahiran Indonesia ini, saya tahu, yang berjuang untuk kemerdekaan bukan hanya orang Islam. Bukan hanya orang Kristen. Bukan hanya orang Katolik. Juga, bukan hanya orang Jawa, bukan hanya orang Batak. Seluruh komponen bangsa ini, tanpa membedakan suku dan agama, semua berjuang, mempertaruhkan nyawa untuk apa yang kemudian kita kenal sebagai kemerdekaan. Kemajemukan ini sudah menjadi milik kita sejak awal. Ini adalah salah satu kekayaan bangsa kita, yang mungkin tak dimiliki bangsa lain. Tahun lalu, hari Natal jatuh pada hari Jumat, 25 Desember 2009. Pada hari yang sama, di gereja berkumpul umat Kristiani yang merayakan Natal dan di masjid berkumpul umat Islam yang hendak shalat Jumat. Di sejumlah tempat, gereja dan masjid berhadap-hadapan, bahkan ada yang bersebelah-sebelahan. Aktivitas ibadah berlangsung di masing-masing tempat. Saling menghargai, juga saling menghormati. Kita boleh berbeda keyakinan tapi kita semua adalah bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin kita bisa membenahi bangsa ini kalau kita terus-menerus bersengketa? alangkah mudahnya kita terprovokasi alangkah gampangnya kita diadu-domba alangkah entengnya kita mendiskreditkan sesama yang satu mencaci-maki yang lain yang satu menghina yang lain Sebagai manusia, kita pastilah bukan makhluk yang sempurna. Semua lubang dalam tubuh kita ada kotorannya. Dari lubang hidung, ada ingus dan upil yang jadi kotoran. Di kedua mata kita, ada tai mata yang jadi kotoran. Ini berlaku untuk umat semua agama, selama ia masih disebut manusia. Dengan begitu banyak kotoran pada diri kita, masih sanggupkah kita menyebut diri paling bersih dan paling suci? Dengan timbunan kotoran di diri, masih logiskah kita mencaci-maki dan menghina orang lain? Kalau kita sadari hakekat diri, sebenarnya kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Sepanjang hayat, kita tak pernah luput dari alpa dan khilaf. Karena itu pulalah, tak ada manusia di muka bumi ini yang tak berdosa. Apa pun agamanya dan apa pun jenis kelaminnya. Sebagai manusia, kita tak punya alat ukur untuk mengukur dosa orang lain. Kita juga tak punya alat ukur untuk mengukur pahala diri sendiri. Orang yang paling bejat pun, pasti punya pahala. Orang yang paling taat pun, pasti punya dosa. Karena itulah, hidup bersama di muka bumi, di tanah Indonesia ini, kita mutlak bertoleransi. Ibarat bis kota, sesama bis kota, dilarang saling mendahului. Sesama umat beragama, dilarang saling menghina dan mencaci-maki. Bahwa penganut Islam memuja agama mereka sebagai yang paling baik, silakan. Bahwa penganut Kristen menganggap bahwa agama mereka paling suci, silakan. Puja dan anutlah agama sesuai keyakinan masing-masing tapi jangan saling caci dan saling hina. Apa yang ditulis dalam berita Republika tersebut, mungkin bisa jadi inspirasi kita dalam bertoleransi: Di jantung perumahan Taman Aries, Meruya Utara, Jakarta Barat, semua bisa belajar untuk bertoleransi antarumat beragama. Di tengah perumahan elite seluas lima hektare ini berdiri satu masjid dikelilingi oleh empat gereja. Masjid Al Hikmah berdiri di Blok F. Ia berseberangan dengan Gereja Kristen Indonesia (Jalan Aries Utama II Blok E7 No 3), sebuah bangunan berwarna cokelat bata yang tak ubahnya rumah dua lantai. Selain dua gereja itu, ada pula gereja yang terletak di blok A dan blok H di kompleks perumahan yang sama. Tak jauh dari situ, berdiri sebuah gereja pula, Gereja Bethel Indonesia (Taman Aries Blok B2 No 65), yang juga berwujud rumah dua tingkat berwarna putih dengan tempelan sejumlah pendingin udara di temboknya. Sesungguhnya, kita bisa kok hidup berdampingan, tanpa harus saling menyerang. Kita bisa saling menghargai, juga saling menghormati. Dulu, saya pernah tinggal dalam satu rumah dengan Tommy F. Awuy, Enos Yansen Akasian dari Pulau Dobu, Ambon, Simon Sihombing dari Lintong Ni Huta, Sumatera Utara, dan Marten dari Nusa Tenggara Timur. Kami berbeda asal dan berbeda agama tapi bisa rukun bertahun-tahun. Itu dalam kelompok kecil. Dalam kelompok yang lebih besar, sebagaimana yang ditampilkan saudara-saudara kita di Taman Aries tersebut, menunjukkan bahwa persaudaraan bisa dibangun atas rasa saling pengertian. Artinya, selalu ada kesempatan untuk sama-sama belajar dan selalu ada tempat untuk belajar. Pertikaian di Bekasi itu, pastilah bisa diselesaikan, karena semua yang bertikai sesungguhnya adalah orang-orang yang beragama. Catatan ini akan saya tutup dengan pernyataan seorang warga Taman Aries yang dikutip dalam berita tersebut di atas: warga yang beragama Kristen dan Islam saling bantu dalam melaksanakan ibadahnya intan, 16-09-2010 isson khairul --------------------------- sempatkan juga membaca:

http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/10/mencermati-pernikahan-dini/

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/06/vonis-ariel-vs-vonis-gayus-mana-yang-lebih-adil/

http://hukum.kompasiana.com/2011/02/07/25-politisi-berpesta-480-cek-senilai-24-miliar/

http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/08/masjid-makmur-bukan-dari-sedekah/

http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/09/membaca-kewajiban-paksaan-tuntutan/

http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/02/11/citra-sepak-bola-vs-citra-nurdin-halid/

http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/02/12/dari-900-media-hanya-10-yang-sehat/

http://media.kompasiana.com/new-media/2011/02/12/mubarak-mundur-real-time-news/

http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2011/02/13/menulis-aroma-rasa-dan-rahasia-bahagia/

http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/14/kasus-spp-pelajaran-untuk-guru/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun