Mohon tunggu...
Isriyati
Isriyati Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca dan penulis

Seseorang yang menggemari membaca komik Jepang (manga), menyenangi merangkai kata menjadi tulisan, menyukai jalan-jalan, dan mencintai warna oranye

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dan Tangisnya pun Pecah...

29 Mei 2020   00:11 Diperbarui: 29 Mei 2020   00:38 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1441 H.

Saat itu, suasana masih terlalu pagi. Masih sunyi, sepi, dan gelap, bahkan ayam jantan yang biasanya menunjukkan eksistensinya berkokok sebagai pertanda fajar telah datang pun belum terdengar, yang terdengar sayup-sayup suara takbir. Begitu kulihat jam dinding, rupa-rupanya masih pukul tiga dini hari. Ah, waktu biasanya aku bangun sahur.

Aku lantas beranjak, mulai berbenah dan bersiap menyambut hari kemenangan. Tak terasa waktu bergulir cepat, ketika masih awal Ramadan ku kira bakal berjalan lambat dan pelan, tahu-tahu sudah di akhir Ramadan.

Aku sudah selesai dengan urusan persiapan menyambut Idulfitri. Yah, karena harus #DiRumahAja dan aku pun patuh untuk #TidakMudik, aku memasak makanan yang tidak terlalu bervariasi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya karena aku akan melakukan #SilaturahmiVirtual nanti selepas salat Id.

Adzan subuh berkumandang. Aku yang sedari tadi melafalkan takbir langsung mengambill air wudu dan bersiap salat Subuh. Lantas aku pun bersiap pula untuk salat Id.

Dimana aku akan salat? Memang anjuran pemerintah untuk #SalatIdDiRumah, namun kesepakatan warga ditempat kami memutuskan untuk tetap menyelenggarakan salat Id dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.


Tidak jauh lokasi salatnya, karena butuh tempat lapang untuk menampung warga sekitar, dan itu lokasinya ada di samping rumah. Beruntungnya aku, dekat dengan tempat salat, jadi tidak terlalu terburu-buru seperti tahun-tahun sebelumnya yang harus datang pagi-pagi karena lokasinya cukup jauh.

Aku bersiap. Lalu berjalan ke lokasi dan aku memilih tempat untuk melaksanakan salat. Aku duduk sambil menunggu waktu pelaksanaan tiba sambil terus melafalkan takbir.

Aku memandang sekitar. Rasanya getir. Melihat para jamaah yang hadir memakai masker dan berjarak.

Ah, sudah masuk waktu salat. Semua jamaah lantas berdiri dan merapikan barisannya agar tetap lurus meski dalam jarak satu sampai satu setengah meter. Begitu sudah rapi, salat pun dimulai.

Tanpa melepas masker. Salat. Dua rakaat. Ayatnya yang digunakan tidak panjang, juga tidak pendek. Lalu salam. Dan terdiam.

Tak lama, sang khatib berdiri dan menuju mimbar. Mengumandangkan takbir, dan diikuti para makmum. Beliau lalu membacakan khotbahnya.

Isi khotbahnya singkat. Sepertinya sudah disusun terlebih dahulu, atau mungkin isinya dibuat seragam di seluruh pelosok. Hal itu nampak dari cara sang khatib menyampaikan isi khutbah yang seperti membaca. Sempat sesekali beliau salah kata dan mengulanginya kembali.

Isi khotbahnya sederhana. Tentang Ramadan bulan penuh perjuangan, tentang Syawal sebagai hari kemenangan, tentang ajakan untuk memperbaiki hubungan dengan sesama, dan tentang ajakan menjaga kualitas keimanan sampai Ramadan berikutnya.

Aku melihat sekitar.

Meski tahu di tengah pandemi, tapi semuanya menyimak dengan baik apa yang disampaikan khotib. Wajah mereka tampak ada rona kebahagian dan ada pula yang tampak kesedihan. Terlihat dari sorot matanya meski terhalang masker.

Sang khatib mulai berdoa. Serta merta seluruh peserta salat mengangkat tangannya. Doanya sederhana. Tentang pengampunan, keselamatan dunia dan akhirat, dan doa agar terbebas dari pandemi. Selesai.

Aku melihat sang khatib belum turun dari mimbarnya meski rangkaian khutbah telah usai. Beliau diam beberapa saat.

"Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya atas segala kesalahan yang pernah saya perbuat, baik disengaja maupun tidak disengaja. Baik ketika saya sebagai ketua masjid, maupun ketika saya memimpin jamaah, maupun dalam bermasyarakat."

Suaranya terdengar bergetar. Dan tangisnya pun pecah.

"Saya mohon agar dimaafkan semua kesalahan saya dan keluarga saya, terutama diri pribadi saya ini yang banyak alpa, lupa dan dosa. Saya tidak bisa apa-apa tanpa Bapak dan Ibu, saya hanya makhluk kecil di tengah luasnya semesta milik Allah. Saya yakini bahwa saya memiliki banyak kekurangan, banyak khilaf, banyak dosa kepada Bapak dan Ibu.

Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa saya kalau saya tidak dimaafkan oleh Bapak dan Ibu. Pada kesempatan ini, saya benar-benar minta maaf atas semua perbuatan saya. Saya sangat berterima kasih jika dosa-dosa saya dimaafkan oleh Bapak dan Ibu"

Kalimat demi kalimat meluncur dari sang khatib. Ketika beliau menyampaikan permohonan maaf, banyak warga yang ikut terharu mendengarnya, ada pula yang ikut meneteskan air matanya, dan ada pula yang diam menunduk.

Isak tangisnya pun berhenti. Beliau mengambil nafas, lalu mulai mengajak para jamaah untuk bersalam-salaman.

"Melalui momentum ini, mari kita bersalam-salaman tanpa berjabat tangan dan mengambil jarak masing-masing satu meter. Kita saling bermaaf-maafan."

Semua yang hadir secara serentak berdiri. Laki-laki dalam barisannya sendiri pun dengan yang wanita. Dimulai dari mereka yang berusia lanjut berdiri, menempatkan diri, dan mengambil jarak.

Kami semua lantas mulai saling bermaaf-maafan. Tak ayal, dalam suasana yang berbeda, meski dengan penuh kegetiran, kami semua tetap memaknainya dengan baik dan tulus.

Ada yang menangis haru, ada yang menangis sedih, ada yang tersenyum bahagia.

Setelah usai, kami lantas membubarkan diri. Kembali kerumah masing-masing. Dan sunyipun kembali menyapa.

Aku lantas memulai #SilaturahmiVirtual sambil menikmati sarapan pagi.

Menyapa dalam jarak, berucap dalam jarak, memafkan dalam jarak. Berbeda namun tetap istimewa.

Ahh, angpao saya tahun ini zong, hahahaha.

Selamat Idulfitri 1441 H. Mohon maaf lahir dan batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun