Ayat ini menggambarkan bahwa anugerah berupa pendengaran, penglihatan, dan hati merupakan perangkat awal untuk belajar, yang tidak serta merta langsung sempurna. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi orangtua dalam hal pengasuhan, yaitu : bahwa anak bukan objek untuk dituntut, melainkan subjek yang sedang bertumbuh. Memberikan beban emosional dan sosial secara tidak proposional kepada anak pertama merupakan bentuk pengabaian terhadap kodrat serta fitrah perkembangan manusia. Anak pertama tetaplah seorang anak bukan replika dari orangtua.
Selain itu, ayat ini juga mencerminkan prinsip "tadarruj" atau pendekatan bertahap, yang dikenal luas dalam syari`at maupun dalam pendidikan Islam. Imam al-Syathibi menyatakan bahwa seluruh hukum Islam turun secara bertahap karna fitrah manusia membutuhkan adaptasi dan kesiapan. Oleh karena itu, orangtua juga perlu menerapkan prinsip tadarruj ini dalam mendidik anak-anak mereka terutama pada anak pertama. Mengabaikan tahapan perkembangan psikologis anak dan langsung membebani mereka dengan ekspektasi tinggi justru berpotensi mengganggu keseimbangan emosional mereka dikemudian hari.Â
Ketimpangan Beban Psikologis Anak Pertama dalam Praktik Sosial
Dalam tradisi keluarga indonesia, anak pertama sering kali diberi tanggung jawab lebih besar dibanding saudara lainnya. Mereka kerap dianggap "pengganti orangtua" ketika orangtua tidak hadir, dijadikan panutan dalam perilaku, dan dituntut untuk senantiasa mengalah kepada adiknya. Tuntutan ini tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga menyentuh aspek emosional. Beban yang tidak seimbang membuat anak pertama lebih rentan mengalami rasa diabaikan, kehausan akan perhatian, kelelahan batin, hingga kesulitan dalam membangun batas diri yang sehat. Mereka belajar menjadi "dewasa sebelum waktunya", bukan karna kesiapan internal, Â melainkan karena situasi yang memaksa.
Ketika anak pertama menjadi "korban ketimpangan peran"dalam keluarga, nilai syukur yang tercantum dalam QS. An-Nahl ayat 78 dapat mengalami distorsi. Karena syukur bukan sekedar ucapan verbal, melainkan tumbuh dari lingkungan pengasuhan yang mampu memberikan rasa aman, nyaman, dan kesempatan untuk berkembang. Ketimpangan ini dapat diminimalisir melalui pola pengasuhan yang selaras dengan nilai-nilai dalam Al-Qur`an dan prinsip-prinsip psikologi perkembangan.
Penutup
Beban psikologis yang tidak seimbang pada anak pertama merupakan realitas yang dapat menimbulkan gangguan dalam perkembangan emosi dan pembentukan identitas diri. Kajian ini menegaskan bahwa prinsip pengasuhan dalam islam sebagaimana yang tercermin dalam QS. An-Nahl ayat 78 menekankan pentingnya pendekatan yang adil, sabar dan bertahap, sesuai dengan fitrah serta tahapan perkembangan anak.Â
Sebagai rekomendasi, diperlukan adanya bagi para orangtua mengenai pentingnya keadilan dalam pengasuhan serta pemahaman psikologi perkembangan anak dalam perspektif islam. Dengan demikian, dapat tercipta lingkungan keluarga yang lebih seimbang, harmonis, dan sehat secara psikologis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI