Selain Alsa, saat Cak Kaji mampir di Pocadi, kami disambut hangat oleh Bu Atika dan Pak Wibowo dari Dinas Perpustakaan Kota Surabaya.
Perbincangan mengalir santai, leluasa, dan sesekali diselingi tawa karena kami punya minat dan perhatian yang sama, yakni menghidupkan literasi untuk kemajuan anak negeri.Â
Rasanya kami bukan seperti sedang berkunjung sebagai tamu, melainkan pulang ke rumah dan mengobrol dengan teman lama untuk melepas rindu.Â
Sore hari itu MPP tak terlalu ramai sebab di tengah rutinitas hari kerja. Berbeda dengan Sabtu yang biasanya ramai pengunjung.
Sepintas, layanan Pocadi mungkin terlihat sederhana: baca di tempat, akses e-book lewat komputer dan tablet, serta suasana yang mendukung kegiatan belajar.Â
Namun, kesederhanaan ini merupakan fasilitas publik yang punya makna mendalam dan manfaat jangka panjang. Pocadi yang kini telah mencapai 500 titik di seluruh Indonesia bisa dilihat sebagai cara asyik untuk mendekatkan literasi kepada masyarakat.Â
Pocadi di MPP Siola adalah salah satu contoh nyata bagaimana menggeliatkan gairah membaca bisa begitu mudah, tinggal publik yang memanfaatkannya.
Saat baterai ponsel habis dan kita bete sendirian, lebih baik melipir ke sudut baca sembari menunggu antrean sebab tak mungkin meninggalkan Siola demi menuju perpustakaan.
Sudut baca, ruang belajar
Ini bisa jadi pengalaman yang unik, bukti bahwa literasi bisa hidup berdampingan dengan hajat hidup orang banyak. Faktanya, keduanya saling membutuhkan dan sama-sama penting.Â
"Ada juga mahasiswa yang magang atau mengerjakaan tugas akhir di sini," Alsa menambahkan, sebagai bukti lain bahwa Pocadi menghadirkan manfaat bagi banyak pihak. Bukan hanya bagi Erlangga yang ibunya berjualan di kantin, tapi juga anak-anak yang ingin mengisi waktu luang.