Kedua, buku ini tidak menggurui atau memaksakan nilai-nilai moral, yang sering kali terasa kaku dalam buku anak pada umumnya.Â
Persahabatan Na Willa dengan Farida, seorang anak muslim, juga diceritakan dengan apik.Â
Ada satu adegan lucu saat Na Willa, karena penasaran, ikut mengaji di rumah Farida. Ia langsung pulang untuk mengambil seprai Mak demi menutupi bajunya karena ia adalah satu-satunya anak yang tidak memakai pakaian putih.
Ketiga, ilustrasi karya Cecilia Hidayat memperkaya cerita dengan goresan pensil yang luwes dan natural. Gambar-gambar ini hadir untuk melengkapi cerita, bukan sebagai tempelan sehingga berhasil menghidupkan setiap momen petualangan Na Willa---baik yang sedih maupun gembira---dengan penuh makna.
Dari cetak indie hingga tembus pasar dunia
Buku ini boleh jadi proyek impian. Lantaran kesulitan mencari penerbit, Reda akhirnya menerbitkan Na Willa secara indie melalui penggalangan dana dari teman-temannya.Â
Sayangnya, buku ini tidak bertahan lama di toko buku besar. Akibat penjualan yang lesu, maka berkardus-kardus buku itu pun kembali ke rumahnya.
Namun, takdir membawa Na Willa ke Kedai Tjikini di Jakarta. Di sana, cerita ini memikat hati Maesy, pendiri POST Bookshop.Â
Maesy kemudian meminta izin untuk menjual buku ini di tokonya. Kisah Na Willa begitu memesona hingga buku itu laku keras.
Atas dorongan Maesy, Reda kembali menerbitkan buku lanjutan Na Willa secara indie di bawah naungan POST Press.Â
Puncaknya, pada tahun 2019, buku ini diterbitkan dalam versi bahasa Inggris oleh The Emma Press, sebuah penerbit dari Inggris.Â