Mohon tunggu...
Rudi G. Aswan
Rudi G. Aswan Mohon Tunggu... penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Ramadan Berkawan Buku, Merdeka dengan Ilmu

27 Maret 2024   23:29 Diperbarui: 27 Maret 2024   23:36 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramadan berkawan buku, merdeka dengan ilmu (Dokumentasi pribadi) 

RAMADAN BACA buku, sungguh kegiatan yang seru. Bahkan sebenarnya bukan cuma selama bulan penuh berkah ini, tapi juga di bulan-bulan lain. Bagi saya buku bukan sekadar pemasok hiburan secara instan, atau cuma sekadar pencitraan, melainkan tempat pelarian dari hidup yang kian mengecewakan.

Jujur, ketika meninggalkan Bogor untuk menetap di Lamongan tahun 2017 silam, hati berkecamuk tak keruan. Melepaskan diri dari kenyamanan kota besar dengan berbagai fasilitas jelas bukan perkara mudah. Ketersediaan peluang berlimpah dalam mendulang kesuksesan ekonomi jadi salah satu faktor pemberat hati.

Hilangnya peluang

Sebut saja wingko, misalnya. Kala itu kami memproduksi wingko--camilan manis khas Babat Lamngan--secara kontinu setiap hari. Selain menitipkan di sejumlah lapak kecil di beberapa sudut kota, kami juga menerima pesanan teratur setiap bulan dari sebuah sekolah dengan asrama. Jumlahnya bahkan cukup fantastis, mulai 500 hingga 1.000 buah. Duitnya segurih rasa wingko!

Kesempatan itu tak bisa kami ulangi sebab di Lamongan produsen wingko menjamur. Pun serapan kue ini tak semasif di kota besar seperti Bogor. Hampir setiap rumah bisa bikin kudapan berbahan dasar kelapa dan tepung ketan ini. Tak jauh berbeda dengan soto yang juga jadi hidangan populer di banyak acara, baik skala besar maupun rumahan.

Akhirnya saya kembali melirik dunia penulisan--dalam hal ini blogging dan sesekali penyuntingan. Awal-awal pindah lomba blog masih kerap dihelat, dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Baik kuantitas maupun kualitas hadiah tak perlu diragukan. Kenyataan berkebalikan saat ini ketika kompetisi menulis sepi yang bedampak pada menurunnya pendapatan.

Literasi sebagai pelarian diri

Di tengah kecamuk dan nano-nano hati, akhirnya saya mendapati buku sebagai semacam sanctuary. Di sinilah saya berdiam untuk menemukan ketenangan. Saat memantau chat di grup WA (WAG) bapak-bapak kompleks yang kebanyakan nirfaedah, dalam bukulah saya mencari suaka. Di antara halaman berisi teks dan gambar itulah saya berlindung dan menumpang hidup sementara, sewaktu-waktu bisa saya kunjungi sebagai orang lain.

Jokes yang disebar di WAG rata-rata basi, klise, dan tidak relate dengan saya pribadi. Bukan berarti jelek, hanya saya tak bisa membangun relasi dengan percakapan yang terkesan monoton. Tertawa dan perang stiker sama membosankannya. Lalu kepada buku saya terbantu. Di sanalah saya menemukan kehidupan baru.

Buku sebagai bagian dari literasi telah memperkaya diri saya, baik secara intelektual, spiritual, dan bahkan finansial. Dalam beberapa lomba bertema buku, saya berhasil merebut hadiah berupa gawai maupun uang tunai. Menulis resensi menyalakan hidup saya kembali. Intinya, di dalam buku saya merasa merdeka dari belenggu keseragaman dan kemonotonan kota baru.

Dengan membaca saya tak peduli pada apa yang terjadi. Saya tak lagi terpengaruh oleh penilaian yang mungkin tak dikhendaki. Berkawan dengan buku bukan cuma memberi saya sepercik ilmu, tetapi juga secercah harapan untuk melanjutkan hidup dengan optimisme dalam ketetapan Allah SWT.

Empat buku selama Ramadan teduh

Ada lima judul buku yang telah mulai saya baca sejak sebelum Ramadan dan masih berlangsung hingga kini. Saya tak membatasi tema, kalau ada topik yang menarik saya pun memutuskan untuk membacanya. Begitu juga dengan jenis tampilan, bisa berupa buku cetak maupun buku digital--saya luwes memihnya kendati buku fisik tetap lebih seksi.     

Buku-buku ini sengaja saya konsumsi dengan santai, tak ada target untuk menuntaskannya dengan cepat. Saya ingin fokus pada kenikmatan membaca, bukan kecepatan mengakhirinya. Setiap kata dan halaman punya daya magis tersendiri, hal yang tak mungkin saya lewati. Berikut ini beberapa buku yang saya maksud.

1 | Seneca's Letters from a Stoic

Buku pertama ini saya dapatkan secara digital di Google Books. saya beli dengan harga terjangkau dan pelan-pelan saya kunyah demi pencerahan. Seperti bunyi judulnya, Seneca's Letters from a Stoic berisi anjuran dan wejangan tentang filsafat Stoik. Jika teman-teman Kompasianer pernah membaca buku karya Henry Manampiring berjudul Filosofi Teras, nah buku di tangan saya ini boleh dibilang salah satu sumber primernya.

Buku tentang stoikisme yang bergizi (Dok. pri)
Buku tentang stoikisme yang bergizi (Dok. pri)

Siapa tak ingin hidup dengan tenang tanpa kecemasan sebab cercaan orang? Hidup kita tak mungkin steril dari ujian dan hal-hal tidak menyenangkan, termasuk komentar orang lain yang sangat mungkin menggerogoti diri. Buku karya Lucius Annaeus Seneca ini saangat saya rekomendasikan untuk memulihkan jiwa yang retak atau yang galau dalam kemalangan hidup.

Buku ini tebal tapi tetap asyik dibaca sebab bisa dijelajahi dari mana saja, tak harus urut dari bab-bab awal. Dengan ketebalan nyaris 500 halaman, saya jadi punya banyak kesempatan untuk menelusuri tema-tema yang saya sukai atau tengah saya hadapi terkait hidup saya sendiri.

Dari soal waktu, persahabatan, kesederhanaan, bisnis, kepercayaan diri, karakter, hingga kematian semua tersaji dengan rapi. Banyak sekali topik yang bisa dijelajahi sesuai kebutuhan kita di era masa kini. Kendati surat-surat dalam buku ini ditulis ratusan tahun lalu, isinya toh tetap relevan dengan kekinian. Inilah yang menarik, dengan topik bahasan yang sangat beragam.

2 | The Richest Man in Babylon

Buku kedua yang saya baca di bulan Ramadan adalah  The Richest Man in Babylon. Buku yang juga cukup tua ini pun saya beli lewat Google Books. Selain harganya lebih terjangkau, membacanya pun jadi lebih ringkas tanpa harus membawa tas berat ke mana-mana. Buku ini masih terus dibaca hingga kini dan menjadi salah satu koleksi klasik tentang anjuran keuangan sejak diterbitkan tahun 1926.

Yang menarik dari buku in adalah penyajiannya dalam bentuk parabel, yaitu cerita rekaan dalam menyampaikan rahasia menjadi kaya. Adalah Arkad, sosok yang menjadi tokoh sentral dalam buku--dialah orang superkaya yang hidup di Babylonia. Meskipun dia royal kepada keluarganya, gemar bederma, dan leluasa membelanjakan uangnya, ternyata keuangannya justru terus meningkat setiap tahun.

Mengapa Arkad bisa begitu kaya di seantero Babylonia sementara orang-orang pada masa yang sama harus berjuang sekuat tenaga tanpa hasil yang memuaskan? Dia menawarkan Tujuh Obat Atasi Tongpes alias menghindari keterbatasan uang. Konsep lain yang membuat buku ini memikat dan everlasting adalah "Lima Aturan tentang Emas" tentang cara menarik harta atau melipatgandakan kekayaan.   

3 | Hunger

Buku ketiga ini seolah klik dan klop dengan bulan Ramadan. Ya, judulnya langsung membetot perhatian pembaca karena menggunakan kata kelaparan. Buku berjudul Hunger karya Knut Hamsun memang sengaja saya beli karena temanya berkaitan dengan buku yang sedang saya tulis. Saya tertarik meramu buku berisi kisah orang-orang kelaparan yang dipicu oleh sepenggal pengalaman saya pribadi sewaktu di Bogor dulu.

Judul yang sementara terbayang adalah Hikayat Cangkem: Kisah-kisah Kelaparan. Mengapa menggunakan istilah cangkem yang berasal dari bahasa Jawa? Tentu ada alasan, yang insyaallah nanti saya elaborasi pada wal buku tersebut. Menurut hemat saya, kelaparan itu berbahaya sebab bisa menggerakkan orang untuk berbuat hal-hal nekat.

Kalau punya uang, kelaparan mungkin mudah ditaklukkan. Namun di tengah dunia yang serbacepat dan konon maju ini, rupanya problem kelaparan masih eksis. Di satu sisi, orang membuang-buang makanan (food waste) dan di sisi lain tak sedikit orang yang didera rasa lapar akut hingga berakhir dengan kematian.

Perjuangan seorang penulis miskin di kota Kristinia (sekarang Oslo) bisa menjadi pijakan untuk berpikir bahwa memang dunia tak luput dari cacat atau anomali. Kekacauan yang terjadi bisa jadi disengaja atau diorkestrasi oleh sejumlah pihak lewat monopoli. Dalam  kondisi demikian, bisakah manusia dimaklumi ketika mereka mengutuk Tuhan atas "ketidakadilan" tetapi pada saat yang sama terus berdoa demi perubahan?

Saya pikir itulah esensi Ramadan, merawat keimanan dengan optimisme, menjalani peran dengan ketulusan meskipun masih banyak hal yang belum ideal: termasuk kelaparan di muka bumi baik yang kita alami langsung atau kita sekadar amati.  

4 | Blessing in Disguise

Buku keempat ini boleh dibilang buku favorit. Dulu saya beli di sebuah pameran buku dengan harga diskon. Sesuai judulnya, Blessing in Disguise menghimpun kisah-kisah penguat hati yang ditulis dalam perspektif islami. Buku karangan Dr. Khalid 'Umar al-Disuqi ini bisa dibaca secara acak tanpa mengikuti urutan di daftar isi.

Saya suka mengulang-ulang pembacaan buku ini sebab disajikan dalam penyajian yang beragam. Ada kisah inspiratif, kisah heroik dalam tarikh, juga syair yang diterjemahkan dengan apik dari bahasa Arab. 

Kisah paling menonjol dan pernah saya tulis di blog pribadi adalah fragmen Umar ibn al-Khattab saat dirundung musibah. Alih-alih berucap istirja pada umumnya, Sang Khalifah malah berujar hamdalah sebanyak empat kali. Ketika membaca alasannya, saya tak bisa tidak cuma mengangguk dalam persetujuan.

Buku keren untuk bacaan sepanjang zaman selain La Tahzan! karya Aidh al-Qarni. Buku yang bisa dibaca lagi dan lagi saat kita merasa tersesat dan butuh pegangan atau penguatan. Tentu saja sebagai penambah asupan selain konsumsi utama dari tilawah Al-Quran selama bulan Ramadan.

Baca buku menyejukkan kalbu (Dokmentasi pribadi) 
Baca buku menyejukkan kalbu (Dokmentasi pribadi) 

Itu buku-buku yang saya baca, bagaimana dengan Sobat Kompasianer? Apa pun pilihanmu, saya yakin bahwa memutuskan tenggelam dalam buku berarti kesudian untuk menemukan ilmu dan penyegaran dari laju waktu yang mungkin kita ingin hentikan tapi tak mampu. Hidup terus berjalan dengan atau tanpa kita sepakati. 

Namun, percayalah bahwa menjadi manusia merdeka lebih membanggakan dan membahagiakan ketimbang ikut selera orang. Ikut arus tren dan viralitas mungkin bikin senang tapi cuma sesaat. Mengikuti kata hati dengan membaca buku yang mendefinisikan diri sendiri adalah salah satu keputusan terbaik yang bisa kita ambil. Bisa dimulai dari Ramadan tahun ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun