Di balik gemerlap panggung, dan tepuk tangan penonton yang menyaksikan pertunjukan sirkus, tersimpan kenyataan kelam yang selama ini mengejutkan publik. Baru-baru ini, pengakuan mengejutkan datang dari seorang mantan pemain sirkus yang membuka tabir penyiksaan sistematis yang dialaminya selama puluhan tahun yang lalu saat berada di bawah naungan Oriental Sirkus Indonesia, atau yang kini lebih dikenal dengan nama Taman Safari Indonesia.
Kisah kelam ini bermula dari sebuah keberanian yang muncul setelah bertahun-tahun bungkam. Seorang mantan pemain sirkus berinisial F, muncul di hadapan publik melalui media sosial dan menghadiri berbagai podcast untuk menyuarakan pengalaman pahitnya dengan tujuan menuntut keadilan. Ia mengaku bahwa selama menjadi pemain sirkus di Oriental Sirkus, ia mengalami berbagai penyiksaan fisik dan psikis yang dilakukan oleh bos mereka.
Menurut pengakuannya, para pemain sirkus yang sebagian besar masih anak-anak, dipaksa berlatih hingga larut malam tanpa mengenal lelah. Kesalahan sekecil apapun, seperti tidak sempurnanya gerakan, mengeluh kelelahan, atau sekedar tidak senyum saat pertunjukan, pasti akan langsung mendapat kekerasan dari bos mereka. F mengatakan bahwa dirinya sering kali dipukul, dicambuk, bahkan disetrum oleh bos mereka saat mencoba untuk kabur dari tempat tersebut. Ketika dirinya ketahuan saat mencoba melarikan diri,, ia harus menanggung siksaan yang lebih  parah lagi sperti penyanderaan hingga berbulan-bulan.
Lebih memilukan lagi, kekejaman yang terjadi di balik panggung hiburan ini ternyata sudah tercium sejak lama. Pada tahun 1997, salah satu pemain (F) akhirnya berhasil melarikan diri dan mengadukan kejadian tersebut kepada Komnas HAM. Investigasi pun dilakukan, dan hasilnya menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Komnas HAM menemukan adanya eksploitasi anak, tidak adanya akses pendidikan formal, pendidikan hanya dengan karyawan dan hanya diajarkan baca, tulis, dan berhitung saja, penyiksaan fisik dan mental, serta tidak adanya pembayaran gaji kepada para pemain selama puluhan tahun bekerja bahkan ada yang sejak balita sudah dilatih. Namun sayangnya, rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM pada saat itu tidak ditindaklanjuti dan kasus ini pun menghilang dari sorotan dan terlupakan begitu saja.
Cerita memilukan lainnya datang dari mantan pemain berinisial B. Ia mengisahkan kejadian tragis yang dialami olehnya saat masih berusia 10 tahun. Ia mendapatkan perlakuan tidak manusiawi hanya karena ketahuan mengambil sedikit daging untuk dimakan, kejadian tersebut diketahui oleh bos mereka dan ia dipaksa menelan kotoran gajah oleh salah satu bos mereka. Perlakuan tersebut sangatlah tidak manusiawi dan kejadian ini disaksikan oleh karyawan atau pembantu yang bekerja di tempat itu juga. Perlakuan tidak manusiawi tersebut dilakukan sebagai bentuk hukuman sekaligus teror psikologis.
Kini, setelah semakin terangkat kasus ini, semakin banyak korban yang ikut memberanikan diri untuk angkat bicara dan menuntut keadilan. Didukung oleh publik yang geram atas perlakuan tidak manusiawi tersebut. Sejumlah pengacara mulai terlibat dan tekanan terhadap pihak berwenang untuk membuka kembali penyelidikan yang semakin besar. masyarakat pun mulai mempertanyakan bagaimana praktik seperti ini bisa terjadi di institusi yang selama ini dikenal sebagai tempat hiburan dan edukasi satwa.
Pengakuan dan kesaksian dari para korban ini menjadi cermin buram dari industri hiburan yang kadang menutupi kekejaman dengan senyuman. Kasus ini tidak hanya membuka luka lama, tetapi juga menjadi momentum penting untuk menuntut keadilan dan mematikan tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban eksploitasi dalam industri hiburan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI