Mohon tunggu...
Mohammad Ismu
Mohammad Ismu Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang pria yang sangat biasa. klik blog saya www.omsihom.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mainstream Media vs New Media; Netizens sebagai Kontrol Media

10 Mei 2014   13:50 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:39 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dulu, sebelum reformasi,  pers tak bisa sebebas sekarang, ada kontrol ketat dari pemerintah untuk tetap menjaga agar informasi yang disampaikan media sejalan dengan pola pikir pemerintahnya. sekarang  kita bisa menikmati informasi yang jauh lebih baik, jika pun ada yang tidak puas, setidaknya tetaplah relevan untuk mengatakan bahwa kita kini memang lebih leluasa menerima informasi apa saja. Bahkan, berkat kebebasan media informasi ini, kita bisa ikut mengawasi pemerintahan.

Mungkin boleh dibilang situasinya sudah terbalik, dari objek menjadi subjek, dari yang diawasi menjadi yang mengawasi. Ini sejalan dengan dengan salah satu peran  media memenuhi fungsi kontrol sosial, disamping fungsi pendidikan dan hiburan.

Tapi tentu saja kita tidak bisa menutup mata pada persoalan-persoalan pers yang muncul kemudian, yang  mengikuti konteks generasi kita saat ini. Meskipun dalam kegiatan jurnalistiknya media harus tunduk pada kode etik; harus berimbang (cover both side) dan cek ricek data sensitif, tapi kenyataan dilapangan hal itu tak jarang diabaikan, paling tidak itulah yang saya rasakan. Untuk itulah media juga harus diawasi dan diimbangi dari luar, dan wargalah yang harus menjalankan peran itu.

Dengan makin maraknya masyarakat indonesia menggunakan internet, peran itu makin terbuka untuk kita terapkan melalui media sosial, blog, termasuk juga blog keroyokan di kompasiana ini.

Kenapa media (ekstram) harus kita kontrol? Setidaknya ada tiga celah yang membuat media melakukan kesalahan yang memungkinkan terjadinya ketidakadilan dalam pemberitaan; pertama adalah sistem  yang menciptakan perilaku para pembuat berita, baik itu sistem kerja maupun sistem sosial dalam masyarakat. Sistem kerja seperti yang pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya, bahwa awak media selalu dituntut untuk menyetor berita dengan cepat disamping target yang sudah ditetapkan,  ini cenderung membuat wartawan dan editor tidak punya banyak waktu untuk mengecek validitas sebuah informasi. Sedangkan sistem sosial bisa terkait dengan kecenderungan bisnis atau politis. Awak media lebih cenderung  menyukai menulis berita tentang apa yang terjadi di Jakarta misalnya ketimbang yang ada di daerah dengan porsi yang sangat jomplang, atau sebuah isu yang lebih menghebohkan. Kadang media tidak peduli tentang penting  atau tidak penting, baik atau tidak baik, sebuah informasi untuk diberitakan.

Termasuk PLN yang byar-pet di daerah-daerah misalnya, atau keluhan petani di desa-desa yang tidak dilirik oleh media. Di kompasiana, saya kira banyak teman-teman yang mengkritik hal ini secara tidak langsung, dengan menulis apa yang terjadi di daerahnya yang tidak terindeks oleh media nasional bahkan media daerah. Informasi yang tidak menarik secara bisnis dari persektif media ini, akan tetap tidak terekspos jika netizens tidak tergerak untuk berbagi informasi.

Kedua, aturan baku sisi teknis pemberitaan juga tak jarang terabaikan oleh awak media. Kode etik misalnya, kasus socrates award menurut saya adalah salah satu contoh abainya awak media dalam proses cek dan ricek data sensitif terkait sebuah pemberitaan.

Ketiga, paradigma. Ada manusia yang memiliki paradigma dibalik sebuah berita. Paradigma bisa berbentuk perspektif, cara pandang, suka-tak suka, setuju-tak setuju,  yang mengawali dan mengintervensi sebuah pemberitaan yang berujung pada penggiringan opini.  Paradigma siapa yang mempengaruhi sebuah berita? bisa pemilik media (biasanya untuk kepentingan politis), bisa juga  wartawannya. ini sangat umum kita saksikan di media-media kita. media-media tertentu yang mendukung capres tertentu misalnya, hanya mau memberitakan yang baik-baik saja tentang sosok atau partai tertentu,  atau yang paling hangat dibahas dan di kritik secara langsung oleh kompasianer adalah berita kompas.com tentang perempuan aceh yang akan dicambuk, ketara sekali menurut saya ada unsur suka-tak suka atau setuju-tak setuju dalam pemberitaan itu.

Ketiga alasan di atas sudah cukup kiranya untuk menggugah netizens berbagi informasi yang beraneka, perspektif  yang  penuh warna, guna mengimbangi hegemoni media-media.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun