Mohon tunggu...
Ismi Mia
Ismi Mia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Book Review Hukum Orang dan Keluarga

7 Maret 2023   04:54 Diperbarui: 7 Maret 2023   04:59 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Nama: Ismia Hanny Kharomah
Nim: 212121153
Kelas: HKI 4E
Mata kuliah: Hukum Perdata Islam di Indonesia
Dosen: Muhammad Julijanto, S.Ag.M.Ag.

Judul: Hukum Orang dan Keluarga
  (perspektif hukum perdata barat/BW, Hukum islam, dan hukum adat)
Penulis: Soedharyo Soimin, S.H.
Penerbit: Sinar Grafika
Terbit: 2010
Cetakan: Ketiga, Agustus 2010
ISBN: 979-8767-86-1
Halaman: 117 hlm

Buku tulisan Soedharyo Soimin, S.H., yang berjudul "HUKUM ORANG DAN KELUARGA (perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat)". Yang merupakan rangkuman berbagai masalah hukum tentang orang yang dipandang dari aspek-aspek hukum yang berlaku, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam, maupun Hukum Perdata/BW serta aspek perkembangannya dalam Yurisprudensi. Dalam buku ini mendeskripsikan dengan jelas mengenai perkembangan hukum di Indonesia yang membahas dari segi perkawinan, anak, perceraian, waris dan hibah dari kacamata hukum islam.

Dalam buku ini dibagi beberapa bab, dalam Bab I pendahuluan. Bab 2 membahas tentang perkawinan yang dibagi beberapa subbab, dengan pembahasan asas monogami yang dijelaskan bahwa monogami adalah suatu asas dalam undang-undang perkawinan, dengan suatu pengecualian yang ditujukan kepada mereka yang menurut agama dan hukumnya mengizinkan seorang boleh beristri lebih dari seorang.

Dalam pengecualian ini undang-undang memberikan syarat atau pembatasan yang cukup berat yaitu berupa pemenuhan dan syarat tertentu serta izin pengadilan, seperti yang disyaratkan dalam pasal 3 undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi : Ayat (1) pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ayat (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dan dijelaskan juga dalam pasal 4 undang-undang No.1 Tahun 1974 : Ayat (1) dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Asas monogami yang dianut undang-undang perkawinan ini di dalam praktek, menurut pengamatan penulis, syarat-syarat untuk memungkinkan beristri lebih seorang ini banyak tidak dipenuhi, yang kadang-kadang perkawinan yang kedua tersebut karna terpaksa harus dilakukan, karena hubungan laki-laki yang telah beristri dengan perempuan lain sudah terlalu jauh dan kadang-kadang malah sudah mengandung, yang bagaimana syarat harus dipenuhi, perkawinan baru dapat dilaksanakan. Dan sedangkan benih sudah ada pada perempuan calon kedua tadi. Tentunya pejabat KUA melegalisir perkawinan tadi dengan menyampaikan syarat-syarat yang begitu berat.


Memang timbul pertanyaan, kalau undang-undang perkawinan tidak dilaksanakan dengan konsekuen, akan timbul dugaan bahwa undang-undang ini akan berlaku sebagai pedoman saja. Akan tetapi kalau dilaksanakan dengan konsekuen akan menimbulkan hubungan luar nikah yang diharamkan bagi semua pemeluk agama. Memang Islam membolehkan beristri lebih dari seorang, akan tetapi dengan persyaratan yang ketat pula, hal ini kita lihat dalam Al-Qur'an surah An-Nissa' ayat 3 yang pada akhir ayat tersebut diterangkan kalau kamu tidak akan adil di antara istri-istri kamu, lebih baik kamu mengawini seorang perempuan saja..., kawin dengan seorang perempuan itulah yang paling dekat bagimu untuk tidak berbuat aniaya.

Dengan demikian asas monogami yang dianut dalam undang-undang perkawinan masih banyak tantangan dalam pelaksanaannya, tentunya ini tugas kita semua untuk melaksakan dengan baik untuk kesejahteraan keluarga,kemudian dibahas juga larangan, pencegahan, perjanjian perkawinan. Dijelaskan bahwa larangan untuk melakukan perkawinan, dalam undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 disebutkan perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a. Berhubungan dengan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis besar keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri.

d. Berhubunngan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri atau seorang bibi atau kepnakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang.

f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin.

Dalam Surah An-Nissa' ayat 23, dapat ditarik kesimpulan, bahwa larangan kawin itu adalah diharamkan bagi kamu mengawini: Ibu kamu, Anak perempuan kamu, Saudara perempuan kamu, Saudara perempuan ibu kamu, Saudara perempuan bapak kamu, Anak perempuan saudara laki-laki kamu, Anak perempuan saudara perempuan kamu, ibu susu kamu, saudara perempuan sesusuan kamu.

Pencegahan maupun pembatalan di dalam undang-undang perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 ayat (1): yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Ayat (2): Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsunngnya  perkawinan, apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampunan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagii calon mempelai yang lainnya. Untuk mencegah perkawinan, harus diajukan kepada pengadilan didaerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan, hal ini diatur dalam pasal 17 ayat (1) undang-undang perkawinan.

Mengenai perjanjian perkawinan, dari berbagai asas hukum juga mengaturnya, khususnya di dalam undang-undang perkawinan, perjanjian perkawinan diatur dalam pasalk 29 yang mengatur antara lain :
Ayat (1): pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Ayat (2): perjanjian tersebut tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Ayat (3): perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Ayat (4): selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah. Kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Bab 3 membahas anak, dalam bab ini juga dibahas berbagai aspek hukum dari anak, seperti kedudukan anak angkat bahwa dalam buku ini menjelaskan bahwa, tentang kedudukan hukum anak angkat di dalam hukum adat, ada beberapa

Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai status dan kedudukan hukumnya di dalam hal mewaris dari kedua orang tua yang mengangkatnya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 182 K/Sip/1959 tanggal 15 Juli 1959 menyebutkan: Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 27 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959 menyebutkan: Menurut hukum yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadapa barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 516 K/Sip/1968 tanggal 4 Januari 1969, menurut Hukum Adat yang berlaku di Sumatera Timur, anak angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. La hanya dapat memperoleh atau hadiah (hibah) dan orang tua anngkat selagi hidup.

Dari contoh yurisprudensi ini, kedudukan anak angkat dari berbagai daerah mencerminkan bagaimana adat istiadat masyarakat adat setempat memberikan status hukum kepada anak yang diangkat.

Dalam pandangan Hukum Islam dalam lembaga pengangkatan anak. Penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang menjadi mempunyai hubungan yang terdapat dalam darah. Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam Hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip dasar sebab mewaris dan prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau urhaam.

Yang dalam subbab ini dibahas pula status hukum anak luar kawin, dijelaskan bahwa menurut Hukum Islam anak luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh bapaknya. Ank-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Tetapi si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama seperti halnya dengan anak ah yang mempunyai bapak. Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan di dalam undng-undang No. 1 Tahun 1974, yang dinyatakan di dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

sahnnya kedudukan hukum seorang anak, dijelaskan bahwa menurut Hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177 hari) semenjak pernikahan orang tuanya, tidak peduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah berpisah karna wafatnya si suami, atau karna perceraian di masa hidupnya, dalam hal masa iddah bagi si istri adalah selama masih mengandung anaknya di tambah 40 hari sesudah lahirnya, jika anak itu lahir sebelum genab jangka waktu 177 hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya dan si suami dapat memungkiri bahwa ia adalah anak yang sah.

Pembuktian kedudukan hukum anak bahwa anak dalam suatu keluarga passti menjadi satu idaman sebagai penerus generasi, akan tetapi bagaimana kedudukan anak dalam kaitannya dengan keluarga itu, karena anak mempunyai ibu. Hal itu secara yuridis maupun biologis untuk membuktikannya tidaklah begitu sulit. dan subbab berikutnya dibahas pula kekuasaan orang tua serta perwalian kedudukan anak, seorang anak yang sah berada sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, di bawah kwkuasaan orang tua(ander-lijkemacht), selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.

Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974, perwalian diatur dalam pasal 50 ayat (1): anak yang belom mencapai 18 tahun atau belom pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan wali; ayat (2): perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Kedudukan Anak Luar Kawin yang Diakui di dalam Perwalian Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada, bilamana ada perkawinan , maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya. Dapat dikecualikan untuk menjadi wali atau kehilangan untuk menjadi wali, Pasal 353 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan, seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian bapaknya atau ibunya yang telah dewasa dan yang masing-masing telah mengakuinya, kecuali si bapak atau ibunya yang telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan hak mereka menjadi wali atau perwalian itu sudah ditugaskan kepada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa, atau wali mendapat tugas itu sebelum anak diakui.

Dalam Bab 4 hanya membahas perceraian dengan berbagai malahnya. Dijelaskan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab bubarnya suatu perkawinan, yang di dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 di samping asas monogami, perceraian mendapat tempat tersendiri, karena kenyataannya, didalam masyarakat, perkwinan sering kali terjadi berakhir dengan perceraian yang begitu mudah.

Alasan-alasan untuk bercerai secara tegas telah diatur dalam pasal 39 undang-undang No. 1 Tahun 1974, ayat (1): perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ayat (2): untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri lagi.

Di dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, antara lain diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 dan dalam PP No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, perceraian diatur dengan cara cerai gugat dan cerai talak. 

Perceraian dapat terjadi atas dasar cara-cara tersebut, yang pelaksanaannya diatur dalam perkawinan menurut agama Islam akan menceraikan istrinya , mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan itu. serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan Pasal ini adalah dimaksud cara cerai talak untuk mereka yang beragama Islam. Sedangkan cara selanjutnya diatur di dalam Pasal 14 tersebut di atas sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975, yang di dalam ketentuan pelaksanaannya harus mengajukan pemberitahuan secara tertulis, yang isinya ia memberitahukan bahwa akan menceraikan istrinya. Dan untuk itu meminta kepada pengadilan agar mengadakan sidang menyaksikan perceraian tersebut. Maka selanjutnya ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

Cerai gugat terjadi disebabkan oleh adanya suatu gugatan oleh salah satu pihak dahulu kepada pengadilan dan dengan putusan pengadilan. Sebenarnya istilah cerai gugat ini tidak ada, akan tetapi di dalam PP No. 9 Tahun 1975 hanya disebutkan, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Selanjutnya cara gugatan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

Akibat Perceraian Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) tidak disebutkan atau tidak diatur tentang akibat perceraian ini. Hanya dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 disebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak - anak, pengadilan memberikan keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberikan kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri

Bab 5 khusus membahas masalah waris, yang dimaksud dengan para ahli waris adalah mereka yang mempunyai ha katas harta untuk sebagian dari si peninggal warisan. Dengan demikian para ahli waris merupakan kerabat si mati yang menurut hukum ada bagian sebagai ahli waris, di samping anak-anak yang di dalam hukum kewarisan merupakan golongan yang utama, baik itu di dalam hukum adat, hukum islam maupun dalam burgerlijk wetboek (untuk hukum kewarisan bagi anak-anak si peninggal warisan).Dalam Hukum Islam di samping anak-anak yang merupakan ahli waris yang utama, masih ada ahli waris lain yang menurut saya  di dalam hukum islam berlaku secara demokratis yang artinya hak mewaris ini merata untuk kerabat si mati, dengan ketentuan-ketentuan yang ketat yang artinya bahwa bagian-bagian si ahli waris itu yang menentukan berapa banyak uang ia haru terima dari si mati (si pewaris).

Bab 6 membahas tentang Hibah, perkataan hibah atau memberikan sesuatu kepada orang lain sebagai perbuatan hukum itu dikenal baik di dalam masyarakat Hukum Adat, hukum islam maupun dalam Burgerlijk wetboek. Hibah itu sendiri harus ada persetujuan. Dilakukan sewaktu pemberi hibah masih hidup, dan harus diberi secara Cuma-Cuma. Hal ini dirumuskn dalam pasal 1666 BW yang menyatakan bahwa, hibah adalah suatu persetujuan dimana si penghibah di waktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak ditarik kembali menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui hibah yang lain selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.

Hal ini harus dibedakan dengan hibah wasiat. Di dalam masyarakat Hukum Adat, hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuatkan rumah, memberikan pekarangan untuk pertanian, ini harus dibedakan dengan weling (Jawa) yang bersifat semacam wasiat. Yaitu sebelum seorang meninggal, maka ia mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau istrinya Pertama, ia semasa hidupnya memberi petunjuk-petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris kalau ia meninggal. Jadi barang- barangnya itu belum dibagi-bagikannya kepada ahli warisnya, melainkan masih dipegangnya hanya kalau ia meninggal maka pembagian harta peninggalan harus dilakukan menurut petunjuk tersebut.

Undang-undang telah menetapkan cara penghibahan ini. Penghibahan ini diatur dalam Pasal 1882 KUH Perdata yang menyebutkan antara lain, bahwa penghibahan itu harus dilakukan dengan akta notaris terutama untuk barang tak bergerak, sedangkan untuk barang bergerak dapat dihibahkan begitu saja maka suatu penghibahan yang dilakukan di luar dari itu adalah batal. Akta notaris ini merupakan suatu syarat mutlak dari sahnya suatu hibah, dengan sendirinya kalau hibah dibuat dengan cara di bawah tangan adalah batal. Demikian juga hibah itu tidak dapat dibuat suatu pembaruan, biarpun hal ini dibuat dengan akta notaris yang artinya bahwa pembaruan tentang hibah atau dengan mengadakan perubahan atau penambahan sejak semula hibah itu dibuat tidak diperbolehkan.

Bab 7 membahas permasalahan hukum dalam perkawinan. Perkawinan campuran yang dikenal dalam Undang-Undang Perkawinan, pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan arti  perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijken yang termuat di dalam Staatsblad 1898-158. Perkawinan campuran ini dirumuskan dalam Pasal 57 Undang Undang Perkawinan. Dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini, disebutkan; perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang, yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, di mana salah satu pihak berkewarganegaraan Indo Dengan demikian, perkawinan campuran yang dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan adalah seorang warga negara Indonesia (WNI) laki-laki kawin dengan seorang wanita warga negara asing, atau seorang wanita negara Indonesia kawin dengan seorang laki-laki warga negara asing (WNA).

Terkesan dalam pemaparan mengenai beberapa aspek hukum yang terkait dalam masalah orang pribadi, yang dipandang dari aspek hukum adat, hukum islam, maupun dipandang dari hukum dari hukum perdata barat (BW), sehingga dapat dibagi sejauh mana peranan hukum itu tersangkut terhadap pribadi orang dalam kehidupannya dalam masyarakat hukum.

Dalam buku ini penulis menyampaikan secara jelas, tuntas dan rinci. Hal ini dapat dilihat dari daftar isinya yang jelas. Dan para pembaca akan mendapatkan informasi yang sangat jelas dan mudah untuk dipelajari.

Kelebihan dalam buku hukum orang dan keluarga ini: dalam buku ini mengenai susunan daftar isinya sangat jelas sehingga pembaca tidak binggung dan mudah untuk dicari dengan penataan yang pas. Dan buku ini dikemas dengan Bahasa yang mudah difahami, bagi mereka yang awam hukum atau mereka yang ingin memahami hukum. Dan buku ini isinya sangat sesuai dengan judulnya, dan mudah juga untuk pelajari. 

Kekurangan dari buku ini masih tedapat kalimat yang tidak bisa dipecahkan banyaknya kesalahan dalam menyusun kalimat sehingga pembaca harus menebak-nebak, dan tidak dibuat catatan kakinya. pada sampul buku terlihat sederhana sehingga kurang memikat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun