Mohon tunggu...
Mimi
Mimi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hamba Allah

Bukan orang yang sempurna, tapi gw lagi mencoba

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyelenggara KPU yang Independensi dan Mandiri demi Terciptanya Indonesia Maju

15 April 2023   02:13 Diperbarui: 15 April 2023   02:22 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Asep Warlan Yusuf ahli Hukum Tata Negara mengatakan bahwa, istilah kemandirian KPU menyiratkan tiga hal esensial, yaitu:

  • KPU tidak berada di bawah pegaruh atau perintah pihak yang mengintervensi atau mempengaruhi anggota KPU untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu;
  • Tidak boleh ada penyalahgunaan jabatan dan wewenang untuk kepentingan pihak-pihak yang mengintervensi atau yang mempengaruhi KPU;
  • Harus menjalankan dan memegang teguh hukum, keadilan, kebenaran, etika, dan moral.

Independensi KPU juga ditegaskan dalam subtansi UU No. 22 Tahun 2007 yang secara jelas dan tegas mengamanatkan independensi KPU. Hal ini tercermin dari ketentuan bahwa KPU, KPU Privinsi, dan KPU Kabupaten/Kota bersifat hirarkhis. Independensi KPU juga tercermin dalam hal dukungan sekretariat KPU sebagai supporting system yang bertanggung jawab kepada KPU.

Menurut Mahkamah, UU harus membangun sistem rekrutmen yang menuju pada upaya memandirikan komisi pemilihan umum. Sistem rekrutmen ini haruslah meminimalkan komposisi keanggotaan dalam komisi pemilihan umum yang memiliki potensi keberpihakan, Karena peserta pemilihan umum adalah partai politik, maka undang-undang harus membatasi atau melepaskan hak partai politik peserta pemilu untuk sekaligus bertindak sebagai penyelenggara pemilihan umum.

Partai politik dimaksud meliputi anggota partai politik yang masih aktif atau mantan anggota partai politik yang masih memiliki keberpihakan kepada partai politik asalnya, atau masih memiliki pengaruh dalam penentuan kebijakan partai politik dimaksud, pelepasan hak anggota partai politik untuk menjadi anggota komisi pemilihan umum bukan sesuatu hal yang bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia, karena justru hal tersebut diperlukan untuk menjamin fairness dalam pemilihan umum, yang artinya memenuhi atau melindungi hak-hak peserta lain dalam pemilihan umum, dari kedua perspektif di atas, baik yang berorientasi pada tujuan (teleologis) maupun yang berorientasi pada proses atau cara (deontologis), kata "mandiri" yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 dalam kaitannya dengan rekrutmen atau pendaftaran calon anggota KPU dan Bawaslu, haruslah dihindari penerimaan calon anggota komisi pemilihan umum yang berasal dari unsur partai politik, menurut Mahkamah, pandangan tentang adanya pemisahan antara kemandirian institusi dan kemandirian anggota merupakan pandangan yang kurang tepat, sebab keduanya akan saling mempengaruhi.

 Artinya, kemandirian anggota akan mempengaruhi kemandirian institusi, dan sebaliknya, kemandirian institusi akan mempengaruhi kemandirian anggota. UU No. 15 Tahun 2011 telah membangun sistem rekrutmen yang dimaksudkan untuk menjaga agar komisi pemilihan umum dapat mandiri dan steril dari kepentingan partai politik peserta pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU No. 15 Tahun 2011, sepanjang frasa "mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik ... pada saat mendaftar sebagai calon".

 Secara sosiologis, untuk memutus hubungan antara anggota partai politik yang mencalonkan diri dengan partai politik yang diikutinya, perlu ditetapkan tenggang waktu yang patut dan layak, sesuai dengan prinsip-prinsip kemandirian organisasi penyelenggara pemilihan umum. Tenggang waktu pengunduran diri dari partai politik, menurut Mahkamah adalah patut dan layak jika ditentukan sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebelum yang bersangkutan mengajukan diri sebagai calon anggota komisi pemilihan umum. Lima tahun dinilai patut dan layak oleh Mahkamah karena bertepatan dengan periodisasi tahapan pemilihan umum. Ketentuan 5 (lima) tahun juga diakomodasi oleh Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, Pasal 11 huruf i dan Pasal 85 huruf i UU 15/2011, sepanjang frasa "mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik ... pada saat mendaftar sebagai calon" bertentangan dengan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai "sekurang-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun telah mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik pada saat mendaftar sebagai calon".


Menurut Mahfud MD, pada pokoknya terdapat dua alasan mengapa anggota partai politik tidak boleh menjadi penyelenggara Pemilu kecuali sudah berhenti lima tahun. Pertama, melalui putusan tersebut MK ingin menjaga kemandirian penyelenggara Pemilu, baik pada Komisi Pemilihan Umum maupaun Badan Pengawas Pemilu. Kedua, agar politik hukum kita konsisten.

 Dari penjelasan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa jika Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh KPU dengan independen, terbuka dan mandiri maka negara akan mendapat hal positifnya yaitu:

  • Tidak ada kecurigaan dari masyarakat terhadap para paslon
  • Dari ketidakcurigaan itu maka otomatis akan mengurangi jumlah orang yang golput
  • Bangsa Indonesia akan maju dari segi apapun karena berkurangnya orang yang tidak jujur akan pemerintahan sendiri dan mengurangi populasi koruptor
  • Bangsa Indonesia akan mendapati pemimpin yang jujur tidak menyogok hanya karena jabatan
  • Kepercayaan masyarakat akan pemerintahan Indonesia meningkat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun