Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Duniaku, Ibuku

2 Mei 2021   15:58 Diperbarui: 2 Mei 2021   16:04 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku kesal. Dongkol sekali. Betapa tidak.
Memiliki ibu dengan sifat keras kepala yang tinggi. Tidak mau mengalah meski jelas salah. Juga cerewet. Sangat. Ya Tuhan, rasanya ingin pergi jauh dari rumah. 

"Rena! Kamu itu anak gadis. Kamar berantakan sekali. Pakaian kotor, bersih jadi satu. Jorok. Belajar rapi dong!" Ibu memunguti baju-bajuku yang berserakan di atas kasur. Duh! Ibu ngak tahu kah anak gadisnya ini tadi buru-buru karena sudah telat. Toh biasanya juga aku selalu merapikan kamarku. Hanya hari ini, lalu ibu mengatakan seolah tempat tidurku selalu tidak karuan. 

Diam. Cukup itu yang aku lakukan. Membela diri juga percuma. Yang ada kalimat yang keluar dari bibirku akan menyakiti hati wanita yang telah melahirkanku. Sungguh buruk aku ketika marah. 

"Pakaian kotor langsung taruh di tempatnya. Jangan apa-apa tinggal lempar sembarangan. Kamar sudah seperti kapal pecah!" Ibu terus saja mengomel. Beruntung rasa sabarku masih penuh. 

"Kamu ngak merasa risih? Tidur di tempat sudah mirip kandang ayam." Lagi. Aku mengunyah kasar kripik singkong. Rasa gurih segera berganti pahit. Beberapa hari ini ada saja tingkahku yang Ibu tegur. 

"Sudah dewasa juga. Jangan malas-malasan. Belajar masak. Terus bagaimana nanti dirumah mertua kalau kamu tidak bisa apa-apa. Ibu kan malu! Dikira ngak ngajarin kamu!" Kalimat panjang keluar masuk telingaku. Pening. Mengapa Ibu tidak juga mengerti. Putrinya ini sungguh benci mendengar segala hal tentang pernikahan. 

Semua berawal dari keretakan rumah tangga orang tuaku. Saat itu aku masih duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar. Bapak dan Ibu bertengkar hebat. Teriakan mereka saling sahut-menyahut. Aku duduk meringkuk memeluk lutut. Tanpa air mata. Ketakutan merajai hatiku. 

"Dengar! Kamu itu tidak becus jadi seorang istri! Bisamu cuma menyusahkan saja!" Suara Bapak kian meninggi. Tak pernah aku mendengar ia mengeluarkan suara sekeras kala itu. Reflek aku menutup telinga. 

"Mas! Jangan tinggalin aku dan Rena! Cobalah mengerti, lihat anak kita Mas! Kamu boleh benci aku tapi pikirkan Rena Mas, anak kita!" Tangisan Ibu pecah. Pilu sekali. Hatiku merasa sesak. Bulir bening merosot jatuh dari sudut mataku. Kuusap kasar. 

"Aku tidak peduli. Dia anakmu. Aku hanya ingin anak laki-laki. Yang bisa aku banggakan. Bukan perempuan. Yang bisanya menambah beban hidupku. Kheh...dia mungkin akan tumbuh persis seperti ibunya. Lemah." Bapak terus melancarkan kalimat menyakitkan. Jantungku berderu lebih kencang. Kala itu aku tak dapat lagi membendung air mata. Sakit sekali. Jantungku serasa ditusuk ribuan pedang. Sesenggukan. 

"Mas! Anak itu anugerah Tuhan. Laki-laki atau perempuan sama saja. Rena anak yang pintar. Kita berdua tahu itu. Kasihan dia masih kecil Mas. Dia butuh sosok Bapak. Jangan tinggalin kami Mas!" Suara pecahan kaca mengiringi teriakan Ibu malam itu. Entah piring, gelas atau vas bunga atau apa pun, tak berani sedikitpun aku menengok keluar kamar. 

"Minggir. Jangan halangi jalanku. Aku sudah muak. Cukup. Aku sudah tidak tahan hidup satu atap denganmu!" Ibu mengaduh. Aku yakin Bapak sudah kelewatan. Berani main tangan. 

"Lima belas tahun. Lima belas tahun aku menemanimu Mas. Suka dan duka. Aku bersabar bahkan saat kamu tidak bisa melakukan apa pun bahkan untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Tujuh tahun kita menunggu hadirnya buah hati. Sekarang Rena hadir ditengah-tengah kita dan kamu melupakan semuanya dengan mudah! Mas, dia darah dagingmu. Tolong jangan tinggalkan kami! Meski bukan untukku tolong demi anak kita." Miris mendengar Ibu mengatakan semua itu hanya agar Bapak tidak pergi. Terlebih demi aku. 

Kuberanikan diri mendekati pintu. Ingin sekali tahu keadaan wanita yang telah menghadirkanku ke dunia ini. Kubuka perlahan pintu kamar. Kudapati Dia memeluk kaki jenjang Bapak. Ibu bersimpuh. Air mataku kembali tumpah. Kali ini lebih deras. Dengan kasar Bapak menyingkirkan tangan lembut Ibuku. Berlalu pergi membanting pintu dengan keras teriakan Ibu tak pernah bisa menghentikannya. Seketika perasaan benci menguar. Aku masih teramat muda untuk menyaksikan kekejaman seorang manusia, terlebih pelakunya adalah Bapak kandungku. Aku berjanji tidak akan pernah mengingat bahwa aku memiliki seorang Bapak, bagiku dia telah mati. 

Kilasan memori dari potongan kisah masa lalu muncul ke permukaan. Banyak pernyataan sepihak yang akhirnya mulai membuatku memikirkan tentang alasan sebenarnya Bapak meninggalkan kami. Mungkinkah salah satunya adalah karena sifat Ibu yang terlalu banyak bicara. Bahkan untuk masalah sepele pun Ibu tak pernah berhenti mengulang kalimat seraya marah-marah. Bapak. Dimanakah dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Bodohnya aku.

"Rena ayo sini bantuin Ibu! Jangan nonton TV saja!" Oh ibu. Aku baru saja menghenyakkan diri setelah seharian bekerja. Apa boleh buat daripada Ibu semakin mengoceh lebih baik aku turuti saja perintahnya. 

"Ayo kemari Nak! Potong dadu kentang itu. Juga jangan lupa bumbunya dihaluskan. Kamu ini anak gadis. Usiamu sudah layak menikah. Tapi lihat, sampai sekarang tidak satu pun lelaki kamu kenalkan pada Ibumu. Beberapa tawaran datang kamu pun menolak. Apa sih yang kamu mau?" Bahasan yang paling aku benci. Menikah. Moodku hancur apalagi atasanku tadi uring-uringan tidak jelas. Pulang berharap mendapat ketenangan malah sekarang dihadapkan dengan rentetan kalimat Ibu yang beruntun. Duh kenapa tidak Ibu saja yang menikah. 

Aku menumbuk bumbu dengan perasaan kesal yang bertumpuk. Setiap Ibu melontarkan berbagai macam kalimat nasehat yang terus mengingatkanku perihal usia yang tak lagi muda menurutnya. Tidak bagiku yang masih menghendaki kebebasan. Ibu tetap saja bicara. Mungkin
Jika ditulis, akan menjadi satu novel. Sabarku harus lebih besar. Acara memasak bersama yang justru lebih pantas disebut sesi teguran berjam-jam. 

****

Seminggu ini suasana rumah mendadak sepi. Ada perasaan senang tidak ada lagi suara Ibu yang terus memberondong dengan kalimat yang membuat telinga menjadi panas. Ibu menginap di rumah nenek untuk beberapa waktu kedepan karena beliau sedang sakit. Jadilah aku melakukan semua pekerjaan rumah sendirian. Terlihat mudah namun cukup menguras tenaga.

Hari libur aku habiskan waktu berdiam diri di kamar. Sekaligus bisa sejenak fokus pada toko online yang baru saja aku rintis. Tiga jam berlalu tubuhku terasa pegal. Aku baru saja hendak berdiri, kuurungkan karena suara dering telepon genggam. Kepanikan tergambar jelas dari suara diujung sana. Tanganku lemas aku tak pernah setakut ini sebelumnya. Bayangan kehilangan terus mengganggu. Aku bergegas cepat. Air mata siap turun. 

Ibu mengalami kecelakaan. Jantungku berpacu seperti habis lari marathon. Tolong jangan ambil Ibuku. Dalam hati terus kuulang kalimat tersebut. Sepanjang perjalanan aku lebih banyak mengingat kesedihan Ibu selama ini. Ditinggal pergi suami, membesarkan buah hati sendirian, berjuang keras mencari nafkah agar dapur tetap mengepul juga demi aku bisa sekolah tinggi. Semua pekerjaan Ibu lakukan selama halal. Menjadi buruh cuci, tukang masak, tukang sapu bekerja di penjahit, jualan keliling, hingga dua tahun terakhir dan aku juga telah bekerja kami mampu menyewa tempat untuk jualan. Hanya warung nasi sederhana. 

Ibu tak pernah ingin menikah lagi walau sebenarnya ada saja lelaki yang datang ingin meminang beliau. Tetapi Ibu menolak setiap kali melihat kearahku yang memasang tatapan tak suka ketika ada orang yang mendekati Ibu. 

"Kamu adalah nafas Ibu. Rena tak suka jika punya Bapak baru?" Ibu mengelus sayang pucuk kepalaku. Aku menggeleng keras. Takut sekali jika memiliki Bapak tiri, baik aku maupun Ibu akan tersakiti. 

"Ibu janji tidak akan ada orang lain dalam rumah kita. Cukup kamu dan ibu. Tidak ada niatan sedikitpun untuk menikah lagi. Ibu punya Rena, dan itu lebih dari cukup." Kami berpelukan erat. Aku terisak dalam dekapan hangatnya. Ya Tuhan bagaimana aku bisa melupakan saat dimana aku merasa memiliki seluruh dunia hanya karena kasih sayang Ibuku. 

Bahuku bergetar. Tangisku tak lagi dapat kubendung. Tak peduli tatapan aneh orang-orang yang berlalu lalang. Dua kali melewati lampu merah, kali ketiga terasa sangat lama. Aku ingin segera bertemu Ibu. Mencium wajah wanita yang telah rela menggadaikan segala kebahagiaannya hanya untuk diriku. Ibu aku rindu.  

****
Kuparkir asal kendaraan beroda dua. Berlari sekencang mungkin. Sampai di meja resepsionis rumah sakit aku bertanya dimana Ibuku. 

Ruang melati nomer II. Ada beberapa orang akan tetapi tak kunjung ke temui wajah Ibuku. Sungguh aku panik hingga tanpa sadar sandal jepitku beda warna. Sedikit malu tapi rasa khawatirku tentang keadaan Ibu lebih menguasai hati dan pikiran. Apa aku salah dengar tadi bukan ruangan ini?

Aku memutuskan keluar ruangan. Menengok kanan kiri diujung kudapati bibi sedang mondar-mandir. Aku berlari menghampiri. 

"Syukurlah kamu datang!" Bibi memelukku menangis. Ibu harus dioperasi. Benturan dikepalanya menyebabkan pendarahan. Kakiku mendadak seperti tak bertulang. Ujian apalagi ini. Ataukah karena dosa-dosaku. Ya Tuhan, aku tak ingin kehilangan Ibu. 

Kami menunggu harap-harap cemas. Satu jam berlalu kondisi Ibu belum juga kami ketahui. Sejak tadi kegelisahanku belum mereda. Setelah membelikan bibi air mineral, aku memilih pamit menuju mushola. 

Kuambil air wudhu. Baru seujung kuku air menyentuh bagian tubuhku air mataku menganak. Senyum Ibu merekah saat bermain bersamaku. Aku yang tertawa bahagia dalam gendongannya. Membasuh wajah kini aku mengingat dengan jujur betapa sepi hari-hariku di rumah tanpa Ibu. Yang setiap saat selalu menyiapkan segala keperluanku sebelum berangkat bekerja. Ya Tuhan, tolong jangan kau ambil Ibuku. 

Tidak akan sanggup aku tanpanya. Tidak ada orang tua yang sempurna pun begitu dengan seorang anak. Janjiku dalam hati aku tak akan pernah kesal lagi dengan berbagai macam omelan Ibu. Aku tahu niat beliau tentu demi kebaikanku. 

Kubentangkan sajadah panjang. Kukenakan mukena. Aku terisak tanpa henti. Dalam sujud terakhir ku ucap pinta kembalikan Ibu seperti sedia kala. Aku akan merawatnya penuh kasih. Akan kuterima semua keluhnya. Segala yang Ibu minta akan kuturuti. Semoga aku belum terlambat, Ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun