Mohon tunggu...
Ismetri Rajab
Ismetri Rajab Mohon Tunggu... -

Hamba Allah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pengalaman Pertama Ikut Politik Praktis

5 April 2019   15:20 Diperbarui: 5 April 2019   15:39 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya bersentuhan langsung dengan politik praktis tahun 1982. Masih muda. Usia 16 tahun. Kelas 3 SMP.

Ceritanya, tahun 1982 itu kan tahun Pemilihan Umum. Untuk memilih anggota DPR (DPR RI, DPRD Tk I dan DPRD Tk II). Yang dipilih waktu itu partai saja. Yang dicoblos lambang partai. Peserta Pemilu cuma tiga, PPP, Golkar dan PDI. PPP lambangnya : kakbah, Golkar : Pohon Beringin dan PDI Kepala Banteng.

Pertarungan dalam Pemilu 1982 itu terasa tidak imbang. Tidak adil. Dan tidak jujur. Walau azas Pemilu adalah Jurdil Bebas Rahasia. Jurdil singkatan jujur dan adil.

Tidak adilnya, karena penyelenggara pemerintah, wasit pemerintah, pengamanan TNI/Polri (pemerintah). Salah satu pihak yang bertarung punya pemerintah: yaitu Golkar.

Jadi peraturan dibuat seakan-akan adil, dan pelaksanaan juga seakan-akan adil, tapi kenyataan tetap berpihak kepada Golkar. PPP dan PDI dianggap penyakit kusta. Orang jadi takut mengaku sebagai anggota PPP apalagi PDI.

Salah satu yang saya rasakan dan alamai sendiri adalah ketidakadilan dalam kampanye. Seorang guru saya di SMP menjadi fungsionaris Golkar. Sebagai pengurus Golkar, tiap ada kampanye besar di kecamatan, dia kirim kawan-kawan saya untuk memeriahkan kampanye itu. Tampil menari dan menyanyi.

Lucunya, dia sangat berang dan marah sekali kepada saya, karena saya memasang emblem logo kakbah dibaju saya. Saya dipanggil. Dinasehati. Bahkan diancam tidak akan diluluskan.

"Waang tau kan, aden guru PMP. Kalau PMP ang den agiah nilai limo, ndak ka lulus waang doh,"  kata bapak itu.

Dia marah benar bukan saja karena saya pakai lambang kakbah dari kertas di baju, juga karena dapat laporan dari orangtua kawan saya satu sekolah.

Kelas tiga saya tinggal menyewa di rumah kawan tadi. Dalam sebuah perbincangan saya bilang, ndak benar Golkar itu. Partai kok bohong, kata saya. Sebab saya mengatakan demikian karena sudah dikampanyekan akan mendatangkan Elvi Sukaesih tampil dalam kampanye di Batusangkar. Pas hari "H" tak ada penyanyi dangdut itu tampil, tapi promosinya sudah mendatangkan ribuan orang dari kampung-kampung.

Rupanya kalimat "Golkar Bohong" tadi dilaporkan oleh ibu kawan saya kepada guru yang fungsionaris Golkar kecamatan. Ibu itu seorang pns di kecamatan. Maka saya dipanggil bapak itu. Dan keluarlah kalimat ancaman itu.

Tapi Bapak tadi tak melanjutkan ancamannya, karena ayah saya yang seorang PNS, balik mengancam si bapak dengan mengatakan akan memberitakan melalui wartawan, kalau benar-benar anaknya yaitu : saya, tidak diluluskan.

Lucu juga sebenarnya hubungan saya dengan bapak guru yang juga mengajar bahasa inggris itu. Kelas satu karena kenakalan saya, dia mengajak saya perang. Dia tidak mau melihat wajah saya di kelas. Dia bilang, "saya yang tidak masuk kelas, atau kamu!" Jelas sayalah yang tidak masuk kelas ketika dia mengajar. Masa mengorbankan, 39 siswa lainnya.

Tapi setelah dua bulan dia memaafkan kesalahan saya. Boleh lagi belajar bahasa inggris dengan dirinya. Dan dia baik juga. Tak mengaitkan kemarahan dengan nilai ujian.

Buktinya nilai bahasa inggris saya rata-rata fairlah dengan kawan lain. Tidak angka lima tidak pula angka sembilan. Waktu sekolah smp itu nilai saya lumayanlah. Selalu juara pertama di kelas, dan pernah pula sekali menjadi juara umum pertama.

Dan hubungan saya dengan Pak Guru saya, yang bernama Darnis Dahan itu makin intens pas saya kelas dua smp. Karena dia wali kelas saya. (Sekarang beliau sudah Almarhum, saya doakan semoga beliau diterima disisi Allah. Apa yang terjadi antara kami saya anggap sebagai pengalaman yang mengesankan dalam hidup, dulu mungkin saya sakit hati sedikit, tapi kini tidak lagi).

Kembali ke soal politik praktis. Kenapa saya jadi simpatisan PPP, dengan memasang logo partai itu di baju smp? Saya kira salah satunya saya dari bacaan. Ayah saya berlangganan Majalah Panji Masyarakat yang diasuh oleh Buya Hamka. Tulisan-tulisan di majalah itu bikin rasa keislaman kita timbul. Dan partai PPP dengan lambang kakbah adalah saluran politik kaum islam, klaim PPP. Walau sebenarnya Golkar dan PDI juga dikelola oleh orang-orang islam, dan menyuarakan juga aspirasi islam.

Soal logo kakbah tadi, kebetulan pengurus PPP di kecamatan saya kenal, dan dia memberikan saya segepok logo dari kertas untuk dibagi-bagikan. Sebenarnya dia minta tolong. Dan lucunya saya bangga memakainya. Itu saja.

Itulah pengalaman awal saya terlibat politik praktis.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun