Mohon tunggu...
Isma Soekoto
Isma Soekoto Mohon Tunggu... Penulis - penulis, penerjemah

Saya penggemar jalan kaki pagi sambil mengkhayal dan mendengarkan musik. Bagi saya menulis adalah menciptakan dunia baru yang berbeda dari yang pernah saya alami. Nama pena saya: Imma Soekoto. Saya baru punya 2 buku solo: Antologi Cerpen: Gandrung dan Antologi Puisi: Senandika. Buku-buku keroyokan sudah cukup banyak juga sih.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Camer

27 Februari 2024   10:07 Diperbarui: 27 Februari 2024   10:42 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Camer

                                     

          Memang susah kalau punya pacar berstatus sosial lebih tinggi. Tapi kalau cinta sudah melekat, naik beca pun berasa naik mercy.

          Aku ngga heran kalau banyak orang berkomentar miring jika melihat seorang model yang wangi berjalan menempel lengket dengan seorang kuli tinta dengan jaket kulit bau keringat jin dan topi baseball lusuh. "Gila ! Apa sih yang dilihat Chacha pada dirimu, Mo ?" Itu adalah lagu yang paling sering kudengar. Tapi ada loh, yang lebih sadis lagi. "Moga-moga anak kalian secantik ibunya dan sepintar kamu, jangan sampai sebaliknya !! Aduuu ...h, God forbids, amit-amit!"  Paling-paling aku hanya bisa nyengir monyet mendengar itu semua.

          Aku sih tetap merasa nyaman-nyaman saja . Yang penting, Chacha senang bersamaku. Si Jelita itu ngga masalah kuantar ke malam gala naik jeep Rusia tuaku. Divaku itu juga ngga protes dengan baju 'dinas'ku. Bahkan katanya, aku bukanlah Bimo pacarnya, jika tidak seperti ini. Pokoknya aku yakin, Chacha bangga berjalan sambil bergelayutan aleman pada lenganku.

          Sampai pada suatu malam, di depan dua batang lilin yang menyala di atas meja makan, Chacha mengucapkan kata-kata lembut tapi terdengar menggelegar di telingaku.

          "Mas Bimo, Mama sama Papa mau ketemu ....."

          Aku seperti tercekik. Pasti sekerat daging ikan tuna yang lembut itu menyangkut di tenggorokanku yang tiba-tiba menyempit saking shocknya.

          Mereka, camerku itu, tentu saja bukanlah monster. Aku sudah pernah melihat foto mereka. Aku juga sudah pernah bicara lewat telepon dengan mamanya Chacha ketika aku menelepon ke rumahnya. Suara mamanya lembut seperti suara Chacha, jadi aku membayangkan kelembutan hatinya juga. Moga-moga. Tetapi dari foto papanya, beliau ini tampak streng. Apa lagi dengan kumis jampangnya. Maklumlah oom ini seorang pati ! Moga-moga (lagi) beliau ngga segarang kumis baplangnya.

          "Bisa, Mas ?" tambah Chacha dengan manis sambil menyentuh tanganku di atas meja.

          Aku hanya bisa mengangguk. Siapa takut ?! kataku dalam hati walau dengan agak gemetar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun