Mohon tunggu...
Ismail Alviano
Ismail Alviano Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Fakultas Psikologi

sepenggal tulisan acak dari logika manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perkara Gondrong dan Sejarah Aturan Rambut di Sekolah

3 Desember 2018   11:41 Diperbarui: 3 Desember 2018   20:10 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Civitas Academica diborgol kebebasan mengekspresikan diri lewat pasung aturan "Gondrong tidaklah rapih". Sebuah aturan umum yang diketahui semua pelajar bahkan tanpa harus dipahat kalimatnya di tembok-tembok sekolah. Dinilai tidak rapih dan kurang beretika ketika ada pelajar dengan sengaja membiarkan rambutnya panjang tanpa dipotong. 

Sebuah adat dalam budaya belajar-mengajar yang dapat kita temukan bahkan sebelum hari pertama KBM (kegiatan belajar mengajar) dimulai. Masa orientasi adalah waktu dimana kita diperkenalkan dengan lingkungan belajar dan belum dilaksanakan KBM, sedang dilarang gondrong dan harus rapih sudah ditetapkan.

Sebuah aturan yang tidak memberi kebebasan bagi segelintir pihak. Dengan alasan "rambut gondrong tidak menggangu proses belajar" mereka melempar argumen mereka di pojok-pojok kelas tidak di depan guru tentunya. Berbanding terbalik dari film-film negeri asing yang menampilkan siswa dengan rambut panjang. Pernahkah berpikir darimana aturan rambut gondrong dilarang?

Instruksi  Pangkopkamtib Jendral Soemitro lewat radiogram No. SHK/1046/IX/73. isinya melarang anggota TNI dan karyawan di lingkungan tentara beserta seluruh keluarganya berambut gondrong. Dampaknya adalah munculnya doktrinisasi yang disampaikan lewat media bahwa berambut gondrong adalah negatif dan tidak mencerminkan nilai-nilai kepribadian bangsa.

"Di situ Pangkopkamtib mengatakan bahwa rambut gondrong amat erat hubungannya dengan sikap acuh-tak-acuh angkatan muda terhadap ikatan-ikatan pergaulan dalam masyarakat teratur. Sikap itu meskipun belum tentu negatif, tetapi memang banyak menimbulkan keberatan" kata Jendral Soemitro dalam wawancara televisi terkait gondrong yang dikutip oleh Nurcholish Madjid dalam karyanya "Rambut Gondrong Suatu Kemewahan?"

Rambut gondrong diidentikan dengan kriminalisme, urakan, pengangguran, sulit diatur, dsb. Dampak dari dikeluarkannya aturan itu adalah lahirnya sebuah penjara ekspresi di SMP-SMA se-DIY berupa siswa dilarang gondrong. Inilah yang menjadi ibu bagi anak-anaknya yang kini tersebar di tiap sekolah seluruh tanah air.

Maka argumen "gondrong tidak menggangu proses belajar" tidaklah tepat jika ditabrakan dengan aturan rambut rapih. Karena pada dasarnya aturan ini dibuat karena rambut gondrong dinilai tidak bisa mencerminkan kepribadian bangsa dan tidak menyinggung frasa "menggangu proses belajar". Lantas apakah gaya rambut dapat mencerminkan kepribadian bangsa?

Ketika rambut gondrong selalu diidentikan dengan nilai negatif, maka sesungguhnya ada hal-hal yang kita tolak kebenarannya. Contohnya dalam goresan pena otobiografinya Ali Sastroamidjojo (1974:198) menuliskan bahwa pemuda berambut gondrong dengan gayanya yang urakan sebagai kekuatan revolusi di Yogyakarta pada awal tahun 1946. 

Francisca Fanggidaej dalam tulisannya mengutarakan kota Yogya mendidih dari semangat dan tekad juang pemuda pekik salam merdeka memenuhi ruang udara kota dan kebanyakan dari mereka adalah pemuda gondrong dengan kain merah yang terikat dikepalanya.

Fakta diatas agaknya cukup kuat sekedar untuk menampikan doktrin bahwa rambut gondrong adalah penggambaran sikap apatis (acuh-tak-acuh). Maka perhatian yang diberikan dalam tugas suci merapihkan rambut rakyat agak kurang pas jika didasari sikap acuh-tak-acuh dan image negatif yang kepalang ter-label di masyarakat. Nilai pribadi suatu bangsa seharusnya tidak dilihat dari gaya rambut, penyeragaman ini justru mengekang ekspresi bangsa dan menolak prinsip dasar perbedaan. 

Dalam konteks yang lebih serius aturan ini melahirkan Bakorperagon "Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong". Menjelma menjadi momok yang menakutkan bagi pemuda gondrong 70an. Terlebih  jika ada tato terlukis pada tubuhnya, secara tidak langsung dia akan dicap sebagai hantu masyarakat yang harus dinetralkan oleh cenayang pemerintahan. 

Razia jalanan merupakan hal lazim dan menjadi alasan bagi mereka yang masih mempertahankan idealisme gondrongnya untuk bermain petak umpet. Fenomena serupa kerap kali dijumpai di tiap razia rambut panjang di sekolah-sekolah, hanya beda skalanya saja.

Pasca orde baru gondrong menjadi hidangan utama bagi mereka yang menginginkannya. Aturan razia gondrong dijalan-jalan sudah tidak diberlakukan. Mengekspresikan diri layaknya aktivis nyentrik bukan lagi jadi masalah. Kendati demikian aturan rambut rapih di sekolah-sekolah mengakar dan menjadi culture yang sulit diubah.

Berpenampilan gondrong memang bukan sebuah dosa tetapi sebaiknya tidak diaplikasikan pada siswa. Aturan rambut berubah arah dari cerminan kepribadian bangsa menjadi nilai estetika dan sikap disiplin.Aturan larangan gondrong di sekolah-sekolah bukan merupakan suatu yang negatif pada masa ini.

Karena nilai dasar pelarangannya sudah berbeda pada masa aturan ini dilahirkan. Penikmat gondrong tidak lagi diidentifikasi manusia negatif. Pembatasan siswa dalam memanjangkan rambut merupakan sebuah nilai positif sekarang. menjadi cerminan siswa yang lebih rapih dan mencerminkan sikap disiplin dari siswa itu sendiri. Bukan lagi menjadi persona siswa yang acuh-tak-acuh, melainkan hanya masalah estetika.

Menurut Nurcholis Madjid jika gondrong bertendensi apatis maka gondrong adalah kemewahan. Mewah dalam arti ada konsekuensi dalam pengambilan keputusan sebagai gondrong. Bersikap apatis memiliki konsekuensinya tersendiri pun memilih berambut gondrong sehingga rambut gondrong dapat dinilai mahal  harganya. Lebih dari itu ada nilai eksentrik terkandung pada para penikmat rambut panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun