Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mimpi-mimpi itu Benar Menusuk Kalbu

22 Februari 2021   21:26 Diperbarui: 22 Februari 2021   21:56 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.

Kini, mimpi-mimpi itu benar menusuk kalbu.
Merupa luka nganga sepanjang waktu.
Melukis lara mengabadi bersama pilu.
Tak lagi ia jumpai cita dan cinta, seperti dulu.


Di gelap pekat jalan laku hati yang berliku-liku ia tetap jumpai bias rindu. Rindu yang tersisa seperti nyala lilin kecil terkoyak kencang embus sang angin. Bukankah, pernah ia luruhkan atma pun daksa di haribaanmu? Mengharap secuil sapa berbalas congkak egoisme jiwa.

Tak ingin kah kau sekali menjadi ia yang dirundung nestapa berbalut derita? Atau, cukup kau sedikit peka tentang sebuah rasa atas nama sesama ... manusia? Namun, kau tetap bergeming dalam hening mengunci mulut dan lisan batin.

Kepada siapa ia curahkan segala gundah gulana? Sedang sang payoda semesta pun khusuk mentahbiskan derai malamnya. Atau ia kan tuliskan dengan pena kelembutan rasa tentang citranya seperti catatan si Rumi bahwa cinta adalah penyesuaian dengan sang kekasih. Tapi, ia telah lama tersisih.

Serasa sia-sia meyakinkan tentang malam bukanlah mutlak sebuah kegelapan pada mereka yang hanyut terpejam. Ah, ia yang telah menjadi malam kini hanya memeluk sepi, merangkul sunyi dan berselimut sendiri. Tak ada lagi pasang netra yang sudi menatap gelap malam yang pekat, malam pun tercampak.

Di bawah remang kala senja itu, ia terlihat duduk dengan wajah yang terus tertununduk. Rintik titik gerimis yang menampar kering tubuhnya tak membuatnya terusik, ia terdiam dalam balik bilik kesunyian. Sesekali wajahnya mendongak ke atas, tampak jelas tangis yang masih membekas.

"Apa yang engkau tunggu, Tuan?" Tanyaku padanya. Namun, ia tetap terdiam dalam kebisuan. Beberapa kali pertanyaan terulang, tak ada jawaban. Ku pegang tangan pucatnya yang lemas dan dingin. Perlahan ia menatapku, pelan bibirnya merangkai kata lirih tanpa suara bak rangkaian akasara swalalita.

"Aku ... menunggumu."

Ia kembali bermesraan dengan diam. Dan, kini gerimis tadi mulai menjadi-jadi mewujud hujan membasahi kerontang bumi. Pekat selimut mendung semakin menjadi pelengkap, tentang; tak ada keindahan dalam malam yang tampak. Malam semakin mencekam, merupa monster yang menakutkan. Pasang netra-netra pun jelas memilih terpejam menikmati mayapada ilusi.

Aku akan tetap di sisinya, seperti nyala lentera yang abai walau dipecundangi oleh dunia, atau seperti kukuh karang tertampar ombak sepanjang masa. Suatu saat, saat hujan ini reda ia akan kembali menampakkan dirinya bersama nyala kecil titik-titik bintang gemintang menghiasi kanvas mayapada. Dan sesekali ia sang malam akan sempurna dengan hias purnama.

Cilacap: 22-Februari-2k21

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun