Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Hari Pertama di Tokyo dan Festival yang Bersahabat (Jepang 7)

27 Juni 2010   09:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:15 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_178760" align="aligncenter" width="500" caption="Perjalanan dari Narita ke pusat kota Tokyo, melewati jembatan Rainbow di Odaiba yang mirip dengan jembatan Golden Gate (iskandarjet)"][/caption] Hoaaah! Waktu menunjukkan jam enam pagi saat pesawat Malaysia Airlines berhenti sempurna di bandara Narita, Jepang. Orang-orang di kabin mulai menggeliat di tempat duduk masing-masing. Suara dering ponsel saling bersahutan. Layar LCD di beberapa kursi penumpang masih menyala memutar film-film Hollywood atau Mandarin. Tapi lebih banyak yang tidak dihidupkan sama sekali sejak pesawat ini berangkat dari bandara Kuala Lumpur sekitar pukul 21.30 malam. Pagi itu, Sabtu, 15 Agustus 2009, hati saya berulang kali teriak, "Saya di Jepang! Saya sudah ada di Jepaang!!" Saat pintu pesawat dibuka, saya bergegas mengikuti arus kerumunan orang-persis seperti yang diajarkan Bu Nining waktu di Jakarta. "Nanti Mas Is ikuti orang aja. Trus naik monorail, cek bagasi dan langsung beli tiket limousine bus menuju hotel Sheraton Tokyo. Harga tiketnya 3000 Yen." Bimbingan Bu Nining tadi lebih dari sekedar berguna untuk orang yang baru ke Jepang seperti saya. Bahkan sangat penting karena mampu menumbuhkan rasa percaya diri-sehingga tidak terlihat linglung di negeri orang.. Maklum, ini perjalanan pertama saya ke luar negeri. Sendirian lagi. Dan hebatnya, tidak mudah menemukan orang yang gemar berbahasa Inggris di Jepang. Jadi lumrah kalau banyak yang ragu dan tidak percaya dengan rencana saya ke luar negeri. "Emangnye lo berani jalan ke negeri orang sendirian, Dar?" Pertanyaan seperti itu berulang kali diajukan oleh keluarga dan teman menjelang keberangkatan. Terlebih, Bu Nining juga memberi gambaran singkat situasi di Tokyo. Kondisi musim kemarau yang sama panas dan berkeringatnya dengan Jakarta, soal keamanan di jalan Tokyo, dan banyak masukan lain. Rencana perjalanan dan tempat-tempat yang akan saya kunjungi juga dibahas hari per hari bersama Bu Nining via surat elektronik. Semua informasi tersebut menjadi modal sangat penting buat saya. Setelah melewati pemeriksaan yang ketat di Narita, saya mendapat pesan baru dari Bu Nining. Ada perubahan rencana. Saya diminta menunggu di dekat pintu keluar bandara karena kebetulan di hari yang sama Bu Nining juga baru tiba di Jepang setelah beberapa hari sebelumnya berada di Indonesia untuk urusan pekerjaan sekaligus memenuhi undangan menjadi nara sumber dalam sebuah seminar. Setelah menunggu beberapa menit, saya pun bertemu Bu Nining. Ibu dari dua putri dan seorang putra ini menyambut saya dengan hangat. Begitu menjabat tangannya, saya tidak menyangka perjumpaan saya di Kompasiana Blogshop bulan Mei 2009 kembali berulang di Jepang  (dalam pelatihan ini saya rutin mengisi materi pengenalan blog, sedangkan bu Nining jauh-jauh datang dari Jepang untuk belajar ngeblog bersama peserta blogshop pertama lainnya). [caption id="attachment_178765" align="aligncenter" width="500" caption="Perjalanan menuju pusat kota Tokyo dari bandara Narita, 15 Agustus 2009 (iskandarjet)"][/caption] Kesan pertama saya, Bu Nining tidak hanya akrab tapi juga sangat senang berbagi informasi. Cerita pertama yang saya dapat sepanjang jalan menuju tempat parkir adalah soal tarif parkir mobil yang mencapai ratusan ribu rupiah. Dengan tarif semahal itu, wajar orang enggan bermobil ria dan lebih memilih transportasi umum (kereta listrik dan bis AC) sebagai pilihan paling ekonomis dan praktis. Sepanjang perjalanan dari bandara ke pusat kota Tokyo, mata saya menikmati pemandangan sepanjang jalan. Melihat dominasi mobil merek Jepang di negaranya sendiri dan melintasi beberapa jembatan penghubung. Beberapa jam pertama di Jepang, saya melihat sebuah negara yang bersih dan terawat. Juga canggih. Ketika keluar atau masuk jalan tol, misalnya, tidak ada transaksi dengan petugas. Pembayaran tol dilakukan secara otomatis lewat sistem sensor yang terpasang di bawah mobil. Hampir semua mobil di Jepang memiliki alat transaksi jalan tol seperti ini, berikut GPS dengan koneksi satelit yang tidak hanya memberikan rute menuju tempat tujuan, tapi juga memberi perkiraan lama perjalanan, termasuk penambahan jarak tempuh jika lalu lintas sedang macet. [caption id="attachment_178784" align="alignright" width="300" caption="Saya, bu Nining dan putri bungsunya, Heni, dalam perjalanan menuju Yoyogi (iskandarjet)"][/caption] Setelah dua jam di perjalanan, akhirnya saya tiba di Higashi Magome (Magome Timur), tempat Bu Nining tinggal bersama dua orang anaknya, Wing dan Heni. Sebenarnya rumah berbentuk flat yang saya tempati ini tidak berada di komplek perumahan, tapi berlokasi di pinggir jalan suatu gang yang berjarak hampir setengah kilometer dari lampu merah jalan raya. Kalau saya berdiri di bawah lampu merah ini, saya sudah bisa melihat stasiun kereta api bawah tanah Magome yang berjarak beberapa langkah kaki saja. Inilah transportasi utama Tokyo yang menghubungkan penduduknya ke setiap sudut kota dan ke luar kota. Festival Persahabatan Usai melepas lelah dan makan siang bersama keluarga, saya langsung diajak menyaksikan Festival Persahabatan Jepang Indonesia 2 di sebuah tempat terbuka di daerah Yoyogi Koen yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari stasiun Harajuku. Ini adalah festival tahunan yang diadakan oleh perkumpulan masyarakat Indonesia-Jepang bersama Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Tokyo. Acara yang berlangsung selama dua hari itu diisi pertunjukan panggung seperti pentas tari tradisional, fashion show dan musik. Anak-anak murid Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT), satu-satunya sekolah untuk masyarakat Indonesia di Jepang, unjuk kebolehan dengan mementaskan beragam jenis tari. Di sekolah ini, kegiatan kesenian bisa dibilang mewarnai aktifitas murid. Salah satunya adalah tari payung yang dibawakan dengan penuh percaya diri oleh Heni, putri Bu Nining yang masih duduk di kelas dua SMP SRIT. [caption id="attachment_178767" align="aligncenter" width="500" caption="Tarian Saman dibawakan dengan baik oleh murid-murid Sekolah Republik Indonesia Tokyo (iskandarjet)"][/caption] Di atas panggung, saya berkesempatan melihat kepiawaian Desilia Prapdini (mbak Desi), alumnus Universitas Kokusihikan Tokyo yang terpilih menjadi Putri Sakura dari Indonesia pada bulan April 2009. Di areal ini saya juga bertemu dengan mas Rane yang baru beberapa bulan bekerja di NHK Tokyo. Festival juga dilengkapi dengan bazaar yang digelar di dekat panggung. Para pengunjung bisa menikmati aneka masakan Indonesia dan bisa membeli produk tekstil khas Indonesia seperti batik dan baju sutra. Bagi masyarakat Indonesia di Jepang, kegiatan semacam ini tidak hanya menjadi hiburan tapi juga pelepas rindu dan kangen kampung halaman. Dan di antara kerumunan orang yang ada di lokasi festival, tidak sedikit masyarakat Jepang yang terlihat menikmati acara dan memenuhi areal bazaar. Mayoritas mereka adalah para veteran perang Jepang yang ikut bertempur di Indonesia pada masa penjajahan Jepang. Tapi setelah perang usai, mereka terlanjur jatuh hati dengan adat dan kebudayaan Indonesia, bahkan tidak sedikit yang memutuskan menikah dan tinggal di Indonesia setelah perang usai. Di masa pensiunan, mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bernostalgia dengan menyaksikan festival-festival nusantara dan ikut menghadiri upacara kemerdekaan RI. Salah satunya adalah Nobuo Ikegami (80 tahun) yang pernah menjadi leftenan kedua dan berada di Indonesia selama lima tahunpada masa penjajahan Jepang. Di usia senjanya sekarang, Ikegami yang sangat gemar fotografi tapi sungkan untuk difoto ini tak pernah melewatkan perayaan kemerdekaan RI di kedutaan besar Indonesia (KBRI Tokyo). Berikut foto-foto dari Festival Persahabatan Jepang Indonesia 2, Agustus tahun lalu: [caption id="attachment_178769" align="aligncenter" width="500" caption="Masyarakat Tokyo dan Indonesia antusias menyaksikan pertunjukan kesenian Indonesia (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_178770" align="aligncenter" width="500" caption="Warga Indonesia yang sedang bekerja di salah satu bank swasta nasional ini asyik mengabadikan setiap detil pertunjukan (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_178771" align="aligncenter" width="500" caption="Heni, pelajar SMP SRIT, piawai mempertontonkan Tari Payung di hadapan penonton festival (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_178772" align="aligncenter" width="500" caption="Nobuo Ikegami, veteran Jepang yang pernah bertugas di Medan selama lima tahun,  menyempatkan datang ke festival untuk melepas rindu (iskandarjet)"][/caption] [caption id="attachment_178773" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu stand Yayasan Royal Silk pimpinan ibu Fitriyani Kuroda yang menjual aneka kain sutra asli dan pernak-pernik khas nusantara lainnya (iskandarjet)"][/caption] Sebelumnya:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun