Mohon tunggu...
ISJET @iskandarjet
ISJET @iskandarjet Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Follow @iskandarjet on all social media platform. Learn how to write at www.iskandarjet.com. #katajet. #ayonulis. Anak Betawi. Alumni @PMGontor, @uinjkt dan @StateIVLP. Penjelajah kota-kota dunia: Makkah, Madinah, Tokyo, Hong Kong, Kuala Lumpur, Langkawi, Putrajaya, Washington DC, Alexandria (VA), New York City, Milwaukee, Salt Lake City, San Francisco, Phuket, Singapore, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Dubai, Bangkok.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bedah Fatwa MUI untuk Muamalah di Media Sosial

6 Juni 2017   10:51 Diperbarui: 6 Juni 2017   12:11 2263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Notifikasi pesan masuk yang belum saya baca di grup WhatsApp itu sudah mencapai 200 lebih. Banyak juga. Padahal biasanya saya selalu menyempatkan diri menyimak isi percakapan di dalamnya.

Grup itu berisi kumpulan pegiat, akademisi, profesional dan pemerhati lintas bidang. Dalam perjalanan pulang ke rumah semalam, saya menyempatkan diri membaca-acak isi pesan yang mengalir di linimasa grup sambil menyapukan jempol ke bawah dan sesekali berhenti di pesan yang menarik perhatian.

Salah satu yang menarik perhatian adalah berkas pdf berjudul lampiran surat fatwa. Wah, ada fatwa MUI baru, nih. Gumam saya dalam hati. Dan benar saja. File itu berisi salinan digital “Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial”. Saya membayangkan, proses penyusunan poin-poin di dalamnya melibatkan para praktisi media sosial dan komunikasi digital yang paham kondisi dan peta interaksi di dunia maya.

Pikiran saya langsung terbang ke fatwa terheboh MUI yang menyebut Gubernur Ahok telah menghina al Quran dan atau menghina ulama saat menyitir surat al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Kita semua tahu drama panjang yang berlangsung sebelum dan setelah fatwa itu keluar.

MUI pun dituduh jadi dalang instabilitas. Namun MUI, lewat pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, yakin sumber instabilitas nasional adalah kejadian di Kepulauan Seribu.

Setelah selesai membaca-cepat isi fatwa bermedsos setebal 20 halaman, saya langsung menangkap kesan istimewa dari fatwa termutakhir itu. Fatwa ini masih satu nafas dengan Surat Edaran Kebencian yang pernah diterbitkan pemerintah. Juga sejalan dengan gerakan #TurnbackHoax yang sampai saat ini masih bergulir di mana-mana.


Selain soal momen yang pas, isi fatwa tertanggal 13 Mei 2017 itu juga terbilang istimewa, karena disertai dengan pedoman bermedia sosial buat netizen muslim.

Nampaknya, fatwa ini akan mendapat sambutan positif dari para pengguna media sosial, tak terkecuali para penggiat medsos, akademisi, pendidik, orang tua dan pemerintah. Bukan hanya dari kalangan muslim, tapi juga dari netizen beragama lain yang melihat isi ketentuan dan panduan di dalamnya memang dibutuhkan sebagai panduan ummat beragama dalam berinteraksi secara digital.

Fatwa ini mengatur kegiatan bermuamalah (interaksi antar-manusia) umat Islam di ranah digital yang sebagian besar cakupannya masuk ke wilayah publik. Tidak hanya antar-muslim, tapi juga antar-umat beragama lainnya, plus antara muslim dan pemerintah.

Penekanannya ada pada sebaran konten tidak sehat dan merusak. Tidak hanya konten tipuan (hoax) dan informasi yang salah (miss-leading dan miss-context), tapi juga fitnah, gosip, ghibah, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, serta konten permusuhan.

[caption caption="Infografis Fatwa MUI Bermedia sosial (MUI)"]

[/caption]

Sebenarnya, tidak ada yang baru dari fatwa dan pedoman yang dikeluarkan Komisi Fatwa MUI tersebut. Isinya sudah banyak dirancang, diatur dan diberlakukan ketentuannya oleh banyak pihak dengan banyak kepentingan. Yang diharamkan tidak jauh dari kata kunci hoak dan fitnah.

Pemerintah sendiri sudah membuat Undang-Undang ITE yang dalam versi revisinya lebih banyak menguatkan aspek sebaran informasi dan interaksi antar-pengguna internet.

Produk digital, perusahaan dan komunitas pun sudah banyak membuat aturan main yang menjaga hubungan harmonis antar-pengguna, antar-karyawan dan antar-anggota saat mereka bertemu secara digital. Termasuk Kompasiana yang aturan mainnya tergolong ketat untuk ukuran sebuah platform blog.

Saya tertarik membedah fatwa ini karena pernah membuat pedoman bermedia sosial untuk sebuah perusahaan energi terkemuka di Indonesia. Juga terlibat dalam penyusunan buku bertema sama untuk sebuah kementerian. Dan setelah membaca fatwa MUI, semangatnya sama: menjadikan media sosial tempat yang baik untuk berinteraksi antar-manusia.

Prinsip dasarnya sama: interaksi sosial tatap-muka sama dengan interaksi sosial tatap-layar. Apa yang boleh dilakukan di dunia nyata, boleh dilakukan di dunia maya, begitu pun berlaku sebaliknya.

Antara undang-undang, peraturan perusahaan dan fatwa MUI ini sama-sama berisi aturan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Perbedaan ketiganya terletak pada sanksinya saat salah satu aturannya dilanggar: Kalau undang-undang bisa berujung ke penjara, peraturan perusahaan berdampak pada pemecatan, sedangkan fatwa MUI berbuah dosa.

Fatwa MUI, demikian Din Syamsuddin, merupakan instrumen untuk mengarahkan cara pandang umat Islam terhadap sebuah persoalan. Tapi perlu dicatat, fatwa bukanlah hukum positif layaknya undang-undang.

Namun dalam prakteknya, dapat saya katakan bahwa dampak psikologis sebuah fatwa lebih besar dari produk hukum, apalagi sekedar Surat Edaran Menteri. Fatwa punya kekuatan untuk dipatuhi oleh umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini.

Bedah Fatwa

Yang menggembirakan dari lahirnya fatwa ini adalah dikumpulkannya semua dalil naqli seputar komunikasi antar-manusia dan penyebaran informasi, baik yang bersumber dari al Quran, al Hadits maupun kesepakatan ulama.

[caption caption="Infografis Fatwa MUI Bermedia sosial (MUI)"]

[/caption]

 

Namun demikian, fatwa ini terkesan aneh karena dalam pertimbangannya, MUI tidak menyertakan fatwa bermuamalah di dunia nyata yang mestinya sudah ada jauh tahun sebelumnya.

Di bagian awal fatwa ini, MUI menyantumkan dalil-dalil seputar kewajiban cek dan ricek informasi, larangan buru-buru klik tombol share, larangan menyebarkan kecurigaan dan prasangka buruk, menggunjing, mengumpat, menghina dan  memfitnah.

Allah swt memerintahkan orang-orang beriman untuk selalu berbuat adil, sekalipun terhadap orang yang dibenci. Rasulullah juga mewajibkan umatnya untuk menjaga lisannya, selalu jujur dan tidak boleh bohong. Bahkan menceritakan keburukan orang lain, sekalipun itu fakta, juga dilarang, dan itulah yang disebut dengan ghibah.

Lebih lanjut, fatwa ini menyertakan Hadits Nabi yang memerintahkan kita untuk bertutur kata yang baik dan menutupi aib orang lain. Bahkan saat Anda punya kebiasaan menyampaikan semua hal yang didengar tanpa saringan informasi yang memadai, Anda layak dicap sebagai pembohong. Dan mereka yang suka mencela dan menuduh orang lain termasuk orang-orang yang muflis alias bangkrut—pahalanya habis dimakan dosa mencela dan menuduh orang serta dosa-dosa lainnya.

MUI juga mengingatkan umat Islam terhadap kaidah fikih yang berlaku dalam bermuamalah. Di antaranya:

  • Bermuamalah pada dasarnya boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya
  • Tulisan itu punya kedudukan hukum yang sama dengan ucapan
  • Hipotesis (anggapan dasar) tidak bisa dijadikan pegangan
  • Perbuatan untuk menghindarkan diri dari kerusakan didahulukan dari perbuatan yang mendatangkan kebaikan.

Yang Diharamkan

Dari sekian banyak ketentuan dalam fatwa ini, yang paling menarik tentunya bagian yang diharamkan. Karena kalau dilanggar, pelakunya akan mendapatkan dosa. 

Poin-poin yang diharamkan dalam interaksi digital adalah:

  • Ghibah. Yaitu menyampaikan informasi faktual dan valid tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya.
  • Namimah. Ini adalah tindakan adu-domba yang outcome-nya adalah rasa saling benci dan permusuhan sampai peperangan di kedua belah pihak. Sampai saat ini, saya belum menemukan satu merek mesin politik yang menggunakan instrumen ini dalam gerilya digitalnya.
  • Gosip. Media massa sudah memproduksi, masyarakat awam pun lebih sering mengunyahnya, dari zaman arisan beneran sampai terbentuknya grup-grup WhatsApp. Aib orang tidak boleh dicari-cari, kecuali untuk kepentingan yang dibenarkan secara syar’i.
  • Konten Negatif. Haram hukumnya memproduksi konten yang merusak, termasuk fitnah, konten tipuan, kabar bohong, konten untuk merisak orang lain, ujaran kebencian dan permusuhan.
  • Konten Maksiat. Pornografi, konten judi, kemaksiatan dan segala hal yang terlarang oleh syar’i, haram dikonsumsi dalam interaksi digital.
  • Konten Pribadi. Menyebarkan konten yang bersifat pribadi yang tidak patut disebarkan ke publik, haram hukumnya. Misalnya gambar porno dan informasi rahasia seseorang.
  • Konten Tidak Sesuai. Bahkan menyebarkan konten yang benar namun tidak sesuai tempat dan waktunya pun tidak dibolehkan dalam Islam.
  • Opini Sesat. Opini yang membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar, atau membangun persepsi adanya kesukseskan dan keberhasilan, atau memanipulasi fakta dan menyembunyikan kebenaran, atau menipu khalayak adalah haram.
  • Produksi dan Sebaran Konten Batil. Menyebarkan konten dan informasi yang tidak benar dan tidak baik sama haramnya dengan memproduksi konten-konten tersebut.
  • Dosa Buzzer. Semua buzzer atau cyber army, termasuk orang yang merekrut dan menyewanya,  sudah sedang dan akan selalu berdosa, karena secara etis mereka bertugas menyerang lawan politiknya dengan informasi faktual dan valid (ingat, ghibah dilarang). Apalagi kalau si buzzer memproduksi konten yang belum tentu benar dan konten palsu. Dosa dan apes Anda akan berlipat saat Anda melakukan ghibah, tapi ternyata gak ada yang bayar alias cuma dapat jempol dan taburan pujian dan cacian di kolom komentar.

[caption caption="Infografis Fatwa MUI Bermedia sosial (MUI)"]

[/caption]

Tapi dalam fatwa ini saya tidak menemukan larangan menyebarkan informasi yang belum tentu benar atau meragukan. Masalah tersebut diatur dalam Pedoman Verifikasi Konten/Informasi, satu dari empat pedoman yang masing-masing dirinci ketentuan dan arahannya.

Keempat pedoman yang termaktub dalam fatwa ini adalah:

  1. Pedoman Umum
  2. Pedoman Verifikasi Konten/Informasi
  3. Pedoman Pembuatan Konten/Informasi
  4. Pedoman Penyebaran Konten/Informasi

Semangat dicantumkannya panduan teknis bermuamalah ini bagus, tapi sebagian orang mungkin akan menganggapnya berlebihan karena isinya begitu rinci dan detil, seakan yang merilis poin-poin pedoman itu adalah Kominfo.

[caption caption="Infografis Fatwa MUI Bermedia sosial (MUI)"]

[/caption]

Sebelum menutup fatwanya, MUI seperti biasa menyampaikan rekomendasi terkait muamalah digital ini. Rekomedasi disampaikan untuk pemerintah, ulama, pemangku kebijakan dan masyarakat luas:

  1. Pemerintah dan DPR RI perlu merumuskan peraturan perundang-undangan untuk mencegah konten informasi yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan, semangat persatuan dan nilai luhur kemanusiaan.
  2. Masyarakat dan pemangku kebijakan harus memastikan bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi didayagunakan untuk kepentingan kemaslahatan (kebaikan, ed.) dan mencegah kemafsadatan (kerusakan, ed.).
  3. Pemerintah perlu meningkatakn upaya mengedukasi masyrakat untuk membangun literasi penggunaan media digital, khususnya media sosial dan membangun kesadaran serta tanggung jawab dalam mewujudkan masyarakt berperadaban (mutamaddin).
  4. Para ulama dan tokoh agama harus terus mensosialisasikan penggunaan media soial secara bertanggung jawab dengan mendorong pemanfaatannya untuk kemaslahatan umat dan mencegah mafsadat yang ditimbulkan.
  5. Masyarakat perlu terlibat secara lebih luas dalam memanfaatkan media sosial untuk kemaslahatan umum.
  6. Pemerintah perlu memberikan teladan untuk menyampaikan informasi yang benar, bermanfaat, dan jujur kepada masyarakat agar melahirkan kepercayaan dari publik.

Catatan saya untuk rekomendasi terakhir, mustinya MUI juga menyertakan ulama dan pemuka agama sebagai teladan dalam menjalankan fatwa dan pedoman bermedia sosial ini.

Bundel fatwa plus panduan ini cukup lengkap. Layak dibaca dan patut jadi pegangan untuk para netizen. Mustinya, sekalipun akan menimbulkan percakapan hangat di kalangan netizen, fatwa ini tidak lagi menempatkan MUI sebagai sasaran tembak oleh para perisak. 

Ikuti iskandarjet di Twitter, Instagram, dan Facebook.

Baca juga:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun