Siapa yang berhak menentukan masa depan suatu wilayah? Ketika pembangunan datang, apakah masyarakat lokal benar-benar dianggap sebagai pemilik ruang hidup, atau hanya sebagai objek yang harus menyesuaikan diri?
Di Indonesia, dinamika pembangunan masih memperlihatkan dominasi pendekatan top-down. Kajian Endah (2020), Nurhasanah et al. (2017), dan Sukiyah et al. (2018) menunjukkan bahwa masyarakat lokal sering kali hanya dilibatkan dalam kerangka "pemberdayaan" yang dangkal---bukan sebagai pengambil keputusan utama. Dalam sektor perkebunan, hasil analisa UU No. 18 Tahun 2004 justru menunjukkan betapa lemahnya jaminan hukum bagi masyarakat lokal untuk menolak proyek yang merugikan mereka (Nurhasan Ismail et al., 2011). Padahal, pengelolaan berbasis kearifan lokal seperti yang diteliti oleh Aulia dan Dharmawan (2010) di Kampung Kuta membuktikan kapasitas masyarakat dalam menjaga ekosistem secara berkelanjutan.
Masalah mendasarnya terletak pada posisi hukum masyarakat lokal yang subordinat dalam sistem pengambilan keputusan. Konsep Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), yang telah banyak dibahas oleh Hanna & Vanclay (2013), Fredericks (2016), serta Ward (2011), menekankan bahwa masyarakat lokal---terutama masyarakat adat---memiliki hak untuk menyetujui atau menolak pembangunan yang memengaruhi tanah dan kehidupan mereka. Namun, sebagaimana dicatat oleh Richardson & Razzaque (2011) dan McGee (2009), prinsip ini sering kali diabaikan atau dikerdilkan dalam praktik administratif.
Di sinilah relevansi pendekatan Environmental Justice menjadi sentral. Schlosberg (2007; 2004), Sze dan London (2008), serta Pellow et al. (2001) menjelaskan bahwa ketimpangan dalam distribusi risiko dan manfaat lingkungan seringkali menimpa kelompok yang secara sosial dan politik termarjinalkan. Pendekatan ini tidak hanya menuntut keadilan ekologis, tetapi juga menyoroti aspek representasi politik dan redistribusi kekuasaan. Bahkan, Hendlin (2019) menunjukkan bagaimana dalam kasus Brazil, gerakan petani (MST) dan masyarakat adat bisa saling bersaing atas nama keadilan lingkungan---menunjukkan bahwa keadilan itu sendiri harus dikontekstualisasi secara sosial dan historis.
Gagasan Henri Lefebvre tentang Right to the City menawarkan kerangka yang lebih radikal. Dalam Writings on Cities (Kofman & Lebas, 1996), Lefebvre menegaskan bahwa kota dan ruang tidak boleh dikendalikan oleh logika kapital, melainkan harus menjadi ruang demokrasi yang hidup---dihasilkan dari bawah melalui dialectics, municipalism, dan grassroots organizing. Meskipun tidak sepenuhnya anarkis, pandangannya bercorak libertarian-Marxis, dan kuat dipengaruhi oleh gelombang revolusi sosial 1968. Dalam konteks pembangunan desa dan lingkungan, hak atas ruang hidup bukan hanya soal keterlibatan administratif, tetapi tentang kuasa untuk mengarahkan pembangunan sesuai nilai lokal.
Brazil memberikan contoh di mana konstitusi 1988 menjamin hak masyarakat adat atas tanah dan lingkungan. Porto (2012) serta Dawson et al. (2023) mencatat bahwa gerakan keadilan lingkungan dan peran komunitas adat di kawasan seperti Caatinga justru menjaga keberlanjutan ekosistem lebih baik dibandingkan pendekatan negara atau pasar. Bahkan keputusan Mahkamah Agung Brazil beberapa kali menolak proyek ekstraktif karena tidak mematuhi prinsip FPIC.
Bolivia membawa pendekatan yang lebih progresif secara konstitusional. Dalam kerangka buen vivir yang didalami oleh Schavelzon (2015) dan Bonilla-Maldonado (2019), pembangunan dimaknai sebagai proses selaras antara manusia, komunitas, dan alam. Konsep ini tertanam dalam konstitusi dan memengaruhi cara negara mengatur izin eksploitasi sumber daya alam. Pendekatan ini bukan hanya ekologis, tetapi juga kosmologis, dengan muatan filosofis dan kultural yang kuat.
Sementara itu, Chile sedang menapaki jalan perubahan. Proses penyusunan konstitusi baru pasca-krisis sosial menempatkan hak atas lingkungan sebagai bagian dari hak dasar. Seperti ditunjukkan oleh Berasaluce et al. (2021), konflik sosial-lingkungan telah mendorong agenda konstitusional yang ekologis. Landau dan Dixon (2024) menyebut proses ini sebagai "utopian constitutionalism"---yakni upaya membayangkan negara yang tidak hanya menjamin kebebasan individual, tetapi juga hubungan yang sehat antara manusia dan alam.
Pelajaran untuk Indonesia jelas: pembangunan berkeadilan tidak dapat lahir dari kerangka teknokratik semata. Seperti dicatat oleh Black dan McBean (2016), partisipasi yang sejati dari komunitas---bukan hanya representasi administratif---adalah kunci keberhasilan kebijakan lingkungan. Foster (2018) menekankan pentingnya partisipasi substansial, bukan simbolik, dalam pembangunan. Boyle (2007) bahkan menantang garis pemisah antara hak lingkungan dan hak asasi manusia---keduanya saling mengandaikan dan memperkuat.
Sudah saatnya hukum dan kebijakan publik di Indonesia memfasilitasi pembalikan logika pembangunan: bukan masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan proyek, tetapi proyek yang harus tunduk pada nilai, hak, dan aspirasi masyarakat lokal. Melalui penguatan regulasi FPIC, reformasi tata kelola partisipatif, dan penghormatan terhadap kearifan lokal, Indonesia dapat bergerak menuju pembangunan yang tidak hanya legal, tetapi juga adil secara sosial dan ekologis.
Daftar Pustaka
Aulia, T. O. S., & Dharmawan, A. H. (2010). Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air di Kampung Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 4(3), 345--355.
Berasaluce, M., Daz-Siefer, P., Rodrguez-Daz, P., Mena-Carrasco, M., Ibarra, J. T., Celis-Diez, J. L., & Mondaca, P. (2021). Social-environmental conflicts in Chile: is there any potential for an ecological constitution? Sustainability, 13(22), 12701.
Black, K., & McBean, E. (2016). Increased Indigenous Participation in Environmental Decision-Making. International Indigenous Policy Journal, 7(4), 1--24.
Bonilla-Maldonado, D. (2019). El constitucionalismo radical ambiental y la diversidad cultural en Amrica Latina. Los derechos de la naturaleza y el buen vivir en Ecuador y Bolivia. Revista Derecho del Estado, (42), 3--23.
Boyle, A. (2007). Human rights or environmental rights? A reassessment. Fordham Environmental Law Review, 18(3), 471--511.
Dawson, N., Carvalho, W. D., Bezerra, J. S., Todeschini, F., Tabarelli, M., & Mustin, K. (2023). Protected areas and the neglected contribution of Indigenous Peoples and local communities: Struggles for environmental justice in the Caatinga dry forest. People and Nature, 5(6), 1739--1755.
Endah, K. (2020). Pemberdayaan masyarakat: Menggali potensi lokal desa. Moderat: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 6(1), 135--143.
Foster, G. K. (2018). Community Participation in Development. Vanderbilt Journal of Transnational Law, 51, 39--103.
Fredericks, C. F. (2016). Operationalizing Free, Prior, and Informed Consent. Albany Law Review, 80(2), 429--477.
Hanna, P., & Vanclay, F. (2013). Human rights, Indigenous peoples and the concept of Free, Prior and Informed Consent. Impact Assessment and Project Appraisal, 31(2), 146--157.
Hendlin, Y. H. (2019). Environmental justice as a (potentially) hegemonic concept: A historical look at competing interests between the MST and indigenous people in Brazil. Local Environment, 24(2), 113--128.
Kofman, E., & Lebas, E. (Eds.). (1996). Writings on Cities (by Henri Lefebvre). Oxford: Blackwell Publishing.
Landau, D., & Dixon, R. (2024). Utopian constitutionalism in Chile. Global Constitutionalism, 13(1), 228--238.
McGee, B. (2009). The community referendum: Participatory democracy and the right to free, prior and informed consent to development. Berkeley Journal of International Law, 27(2), 570--635.
Nurhasan Ismail, I. M. S., Ramlan, P., Atang, Tresya, D., Mulyani, S., Junef, M., & Iskandar, D. (2011). Analisa dan Evaluasi Hukum atas Undang-Undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Jakarta: Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, Kemenkumham RI.
Nurhasanah, I. S., Alvi, N. N., & Persada, C. (2017). Perwujudan pariwisata berkelanjutan melalui pemberdayaan masyarakat lokal di Pulau Pahawang, Pesawaran, Provinsi Lampung. Tata Loka, 19(2), 117--128.
Pellow, D. N., Weinberg, A., & Schnaiberg, A. (2001). The environmental justice movement: Equitable allocation of the costs and benefits of environmental management outcomes. Social Justice Research, 14(4), 423--439.
Porto, M. F. (2012). Movements and the network of environmental justice in Brazil. Environmental Justice, 5(2), 100--104.
Richardson, B. J., & Razzaque, J. (2011). Public Participation in Environmental Decision Making. SSRN Working Paper.
Schavelzon, S. (2015). Plurinacionalidad y Vivir Bien/Buen Vivir: dos conceptos ledos desde Bolivia y Ecuador post-constituyentes. Quito: Abya Yala.
Schlosberg, D. (2004). Reconceiving environmental justice: global movements and political theories. Environmental Politics, 13(3), 517--540.
Schlosberg, D. (2007). Defining Environmental Justice: Theories, Movements, and Nature. Oxford University Press.
Sukiyah, E., Sutisna, E., Kartika, H., Wulandari, L. D., & Sutisna, S. (2018). Pemberdayaan Masyarakat Desa Cisewu Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Masyarakat Tanggap Bencana. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, 7(2), 116--125.
Sze, J., & London, J. K. (2008). Environmental justice at the crossroads. Sociology Compass, 2(4), 1331--1354.
Ward, T. (2011). The right to free, prior, and informed consent: Indigenous peoples' participation rights within international law. Northwestern University Journal of International Human Rights, 10(1), 54--84.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI