Mohon tunggu...
Isa Alamsyah
Isa Alamsyah Mohon Tunggu... -

Penulis lebih dari 50 buku motivasi, bisnis, dan kesehatan. \r\n\r\nMenulis agar ide tidak terkubur bersama jasad ketika waktunya tiba.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Belajar Keterbukaan dari Parlemen Jerman

18 Januari 2011   21:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:25 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12953870131481108851

Saya hanya sebentar mampir ke Jerman, tapi cukup beruntung sempat melihat-lihat gedung parlemen di Berlin, Jerman.
Dari gedungnya saja kita bisa melihat perbedaaan menyolok antara Perlemen Indonesia dan Jerman.
(Lihat gambar).
Apalagi selama beberapa tahun, ketika bekerja sebagai wartawan di berbagai media asing, saya sempat meliput berbagai kegiatan di gedung DPR , sehingga saya merasakan sendiri perbandingan mencolok antara gedung parlemen di Jakarta dibandingkan dengan di Jerman.

Pertama, gedung Parlemen Jerman tanpa pagar, ini berarti menujukkan kedekatan parlemen dengan rakyat.
Di Jakarta, gedung parlemen (DPR) yang sebelumnya diberi pagar setinggi 1,5 meteran, kini setelah reformasi dipertinggi lagi (terutama pintunya) sehingga sulit sekali ditembus masyarakat.
Pertanyaannya? Apa masyarakatnya yang brutal atau anggota parlemennya yang tidak cukup peka mendengar jeritan rakyat.

Kedua, lokasi parlemen yang mudah diakses. Gedung Parlemen di Jerman berada dalam satu komplek taman yang bisa digunakan secara bebas untuk masyarakat bermain, berolah raga atau bersantai.
Di Indonesia, gedung parlemen merupakan komplek sendiri yang sekali lagi dipagar dan sulit diakses.

Ketiga, sebagian besar ruang rapat diberi dinding kaca sehingga dengan mudah masyarakat melihat kegiatan di dalam gedung parlemen. Bayangkan saja misalnya ketika kita lari sore di taman, dari tempat jogging kita bisa melihat anggota parlemen bersidang, dan jika ada yang tidur kita bisa melihat dari taman tersebut, karena dindingnya kaca.
Di Indonesia, semua ruang rapat tidak ada yang berdinding kaca. Sebagian besar ruang rapat (terutama ruang rapat komisi) hanya bisa dihadiri peserta rapat, serta sedikit ruang untuk observer.
Saya ingat ketika meliput sidang komisi tertentu, kalau beruntung, wartawan bisa kebagian tempat duduk, kalau peserta rapat dan undangan banyak, maka wartawan cuma ngemper atau berdiri saja.
Hanya ruang sidang besar saja yang tersedia balkon observer.

Keempat, gedung parlemen bahkan menjadi tempat wisata.
Kubahnya adalah kubah kaca yang besar dan rakyat bebas masuk ke sana (dengan melewati security check tentunya). Masyarakat bebas masuk gedung parlemen, lalu naik ke atas kubah kaca dan bisa melihat pemandangan kota berlin dari kubah kaca tersebut.
Jadi semakin dekat saja masyarakat dengan parlemennya.
Di Indonesia boro-boro mau wisata ke parlemen, mau ada perlu saja harus melalui prosedur yang lumayan tidak mudah.

Seandaianya saja parlemen kita bisa benar benatr menyatu dengan rakyat.

[caption id="attachment_85591" align="alignright" width="300" caption=""][/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun