Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Siraman Rohani di Alam Purgatorio

17 Mei 2020   19:20 Diperbarui: 17 Mei 2020   19:19 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shaum di Alam Purgatorio(watyutink.com)

Assalamu'alaikum Wr Wb

Para pembaca yang budiman,

Alhamdulillah program Tebar Hikmah Ramadan (THR) Kompasiana memberi kesempatan diri saya menjadi pemateri di akhir minggu ke-3 dengan topik "Siraman rohani ala kamu". Saya sedikit risau, saya bukan ustadz apalagi ulama. Bukan pula sosok yang berkompeten dalam ranah dakwah. Terbesit kata, jangan-jangan saya ini dikerjai. Nah, batin saya mulai ikut-ikutan menilai.  

Begitulah. Saya hanyalah seorang hamba. Hamba Allah yang bergelimang dosa. Bukankah kita manusia biasa tidak terlepas dari dosa. Gejala ini terdapat dalam setiap pribadi manusia. Saya kutip sabda Nabi SAW, "semua anak cucu Adam adalah pembuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah mereka bertobat". Dalam bahasa Latin ada kalimat hikmah, "Erar humanum est" (Manusia adalah pembuat kesalahan). Tidak ada seorang manusia pun yang senang berbuat dosa. Lancar saya mengungkapkan hal tersebut. Ini puasa, kalau tidak jujur batal puasa saya.

Ini tugas berat yang saya kerjakan. Sejauh perjalanan hidup ini, diri ini hampir tidak pernah menyampaikan siraman rohani ke orang lain. Tanya ke orang-orang NTT, mereka tak akan kenal saya. Tapi jangan bertanya siraman ke bunga-bunga di pekarangan atau kucing nakal yang bikin keributan. Itu mah, hampir tiap hari.

Ini tugas menjadi bertambah berat. Jika siraman yang disampaikan harus menyejukkan dan menyegarkan. Saya orangnya panasan, gampang dikompori. Ketika baca situasi antrian calon penumpang berjubel tanpa social distancing di bandara, sambil membayangkan perasaan tenaga medis yang mengangkat tulisan,"Indonesia? Terserah...", seketika gumpalan otak di kepala saya yang botak, tumbuh begitu banyak argumentasi yang berpilin-pilin liar melintas jembatan neuron. Syukur-syukur kalau yang tumbuh rambut hitam ikal berombak. Alhamdulillah saya tak kelepasan memaki. Saya hanya meretweet saja sekali. Saya ingat sedang berpuasa.

Ini tugas menjadi semakin bertambah berat. Karena selain menyejukkan dan menyegarkan, harus mampu menyentuh entitas paling penting di diri manusia, rohani. Saya ringan mengucap dan menuliskannya. Tapi sejauh mana saya mengenal dan memahami rohani? Menyentuh rohani itu butuh pengembaraan batin yang dalam. Tidak bisa dilakukan oleh pribadi yang tidak sabaran. Selama wabah covid sudah tak pernah ke masjid saja seperti "Rindu Dendam"nya J.E. Tatengkeng merangkai untaian puisi. Belum meresapi. Belum memaknai. Apalagi implementasi.

Tapi kalau tidak dipaksa begini, kapan pernah belajar? Belajar menahan diri, memahami ordinat diri dan mencuplik mutiara yang mungkin bisa memberi manfaat walau secuil pada sesama.

Para pembaca yang dimuliakan Allah,

Puasa selalu menyenangkan dan berkesan. Kemanusiaan kita akan diuji makna harfiah "shiym" atau "shawm", menahan diri. Budi pekerti yang luhur selamanya menuntut kemampuan seorang pribadi untuk menahan diri dari dorongan yang tidak benar. Setiap tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri tentu akan berlawanan dengan nilai budi luhur atau akhlak mulia.

Kalau saya memaksa mudik di kala pandemi covid, tentu akan membebani semua orang. Anak istri kepikiran, ada banyak potensi tertular wabah di perjalanan, sampai kampung menimbulkan kecemasan. Hal ini menjadi tidak berakhlak. Egoisme dan moralitas yang tinggi tidak pernah sejalan. Egoisme terjadi karena ketidakrelaan seseorang untuk menderita, sekalipun hanya sementara.

Puasa adalah latihan untuk menanggung derita sementara itu. Sabar jangan mudik, tahan diri untuk tidak keluyuran di jalanan. Jika bosan berdiam di dalam rumah, kreatifkan diri dengan menulis di Kompasiana, menanam sayur di pot mini. Ini kalau sedang mood. Tapi karena ia diciptakan sebagai makhluk yang lemah (QS Al-Nis [4]: 27), sehingga memiliki kecenderungan untuk mengambil hal-hal jangka pendek karena daya tariknya, dan lengah terhadap akibat buruk dalam jangka panjang (QS Al-Qiymah [75]: 20). Manusia tidak tahan menderita sementara meski dibelakang hari akan ada kebahagiaan yang besar. Lupa diri dengan peribahasa yang entah siapa penciptanya, "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian".

Ketika saya senang menjalankan puasa, yang berkata adalah fitrah saya, yang bahagia dan senang terhadap kebenaran. Ketika saya tak tahan haus dan lapar, bahkan dengan sengaja batal puasa tanpa alasan, berarti saya terjatuh sebagai manusia yang lemah, yang gampang tergoda dan jatuh ke dalam perbuatan dosa. Dosa adalah juga sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani. Disebut juga munkar (mufrad), artinya "sesuatu yang diingkari atau ditolak, yakni diingkari atau ditolak oleh hati nurani.

Para pembaca yang budiman,

Apakah Ramadan yang hadir di suasana wabah covid tetap mampu mencelupkan (sibghah) diri kita dalam suasana penuh kedamaian, memiliki persangkaan yang baik pada Allah dan sesama manusia? Hanya diri sendiri yang bisa menjawabnya. Melalui bulan suci dan penyucian ini diharapkan kita membersihkan diri dari karakter zhalim, dari kotoran hati yang mengalami kegelapan (zhulm) selama bulan-bulan sebelumnya.

Dante dalam Divina Comdia, berujar manusia memulai hidup dari alam kebahagiaan (paradiso),  jatuh dan terseret ke alam kesengsaraan (inferno), berproses dengan bertobat di alam penempaan (purgatorio) dan masuk lagi ke alam kebahagiaan (paradiso).

Dari sisi Islam manusia dilahirkan dalam fitrah. Paradiso (dari bahasa Arab "firdaws") atau surga adalah pola kehidupan bahagia yang digambarkan penuh perdamaian. Karena itu surga juga disebut Dr Al-Salm (baca: Darus Salam), "Negeri Perdamaian" (QS Al-An'm [6]:127 dan Ynus [10]: 25), di mana penghuninya saling menyapa dengan ucapan, "Damai, damai" (Salm, salm). Artinya, salah satu segi kebahagiaan hidup ialah tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, yang intinya ialah kedamaian.

Kelemahannya diri selama 11 bulan, manusia mengalami proses pengotoran nuraninya, sehingga lama-kelamaan jatuh dan terseret ke alam kesengsaraan, alam inferno. Saat Ramadan, Allah memberi rahmat dan kesempatan manusia membersihkan diri dan bertobat, dan inilah proses di alam purgatorio.

Dengan asumsi bahwa saat menjalaninya dengan baik dan sukses, maka pada akhir Ramadan insya Allah kembali ke alam kesuciannya sendiri, yaitu fitrahnya, yang membawa kebahagiaan, masuk lagi ke alam paradiso. Kebahagiaan inilah yang dilambangkan dalam Hari Raya Lebaran sebagai simbol kebebasan dari dosa, hari Idul Fitri, 'Id AL-Fithr, kembalinya fitrah.

Pembaca Yang Baik Hati,

Rasa-rasanya sudah terlalu banyak saya menuliskan yang belum tentu saya bisa mempertanggungjawabkan kefahamannya. Apalagi implementasinya. Semoga di di beberapa hari Ramadan tersisa, kita bisa menjalaninya dengan lebih baik. Aamiin YRA.

Wassalamu'alaikum Wr Wb

alifis@corner

170520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun