”Kita semua harus bergandengan tangan untuk tidak berhenti menghadirkan konten mendalam, spesifik, dan menarik, serta di era digital kita harus lebih kritis,” kata Ninik dalam seminar nasional bertajuk ”Jurnalisme Versus Artificial Intelligence (AI): Peluang dan Tantangan”, di Jakarta, pada Rabu (11/12/2024).
Sementara itu, CEO KG Media Andy Budiman menilai pentingnya perlindungan konten jurnalistik yang harus diperkuat, karena perusahaan AI banyak mengambil sumber data dari karya jurnalistik.
Karena itu, perusahaan media perlu menjaga konten mereka agar tak rugi karena datanya diambil perusahaan AI, kata Andy lebih lanjut.
”Saya sudah hitung di KG Media, semua penggunaan AI kita ini, paling kontribusinya cuma 1 persen dari pendapatan. Padahal potensi disrupsinya jauh lebih besar dari 1 persen pendapatan kita,” ujar Andy memberi contoh.
Menurut Andy, sudah banyak perusahaan penerbit di seluruh dunia yang melarang atau mengeblok mesin dari perusahaan AI untuk mengambil data mereka. Hal ini diperkuat dengan regulasi dari negara.
Oleh karena itu, perlu regulasi yang tegas berupa pedoman penggunaan AI untuk jurnalisme dan industri media yang akan diluncurkan Dewan Pers. Ini sangat dinantikan perusahaan pers.
Dengan regulasi yang kuat (bukan asal main larang atau mengeblok), AI bisa menjadi sumber pendapatan baru bagi media massa.
”Kalau kita tahu AI sebuah keniscayaan, apakah kita mau bekerja sama atau tidak? Ya kalau kerja sama, manfaatnya itu sesuatu revenue (sumber pendapatan) baru,” ucap Andy.
Ya, begitulah perkembangan teknologi yang membuat media massa mengalami disrupsi berganda, mulai dari cara mendapatkan iklan, hingga proses memproduksi konten.
Intinya, meskipun dengan bantuan kecerdasan buatan atau AI kelihatannya mempermudah pekerjaan, tapi media massa mau tak mau menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Bukankah penggunaan kecerdasan buatan selain melahirkan peluang, sekaligus juga menjadi ancaman bagi ekosistem media?