Sekitar 30 pabrik tekstil berhenti beroperasi sepanjang semester I-2024. Sekitar 10.800 pekerja mengalami PHK. Demikian berita Kompas, Jumat 16 Agustus 2024.
Angka pada semester II diperkirakan jauh lebih besar. Hal ini karena pada bulan Oktober 2024, terjadi pemailitan Sritex yang diperkirakan berujung pada PHK besar-besaran.Â
Tapi, untunglah, karena pemerintah melalui instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada beberapa menteri terkait, akan berupaya menyelamatkan pabrik yang beroperasi sejak tahun 1966 dan berpusat di Solo itu.
Terlepas dari apa bentuk penyelematan tersebut, ternyata menurut berita suara.com (11/11/2024), Sritex resmi mem-PHK ribuan karyawannya sepanjang tahun lalu.Â
Diberitakan juga bahwa Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi satu-satunya bank berstatus badan usaha milik negara (BUMN) yang dananya 'nyangkut' sebesar Rp374 Miliar.
Maksudnya, karena Sritex dipailitkan, kredit yang disalurkan BNI ke Sritex akan bergantung pada hasil pelelangan aset perusahaan yang masih tersisa. Tapi, ini juga menunggu bagaimana format penyelamatan Sritex.
PT Sritex (Sri Rejeki Isman) bergerak dibidang produksi tekstil dan garmen yang cukup terkemuka tidak hanya di Indonesia tapi juga sampai Asia Tenggara.Â
Kejayaan Sritex terbukti dari kualitas hasil produksinya yang mendapat pengakuan dari berbagai negara. Hal ini membuat PT Sritex dipercaya untuk memproduksi barang-barang dari berbagai brand ternama.
Perusahan tekstil yang bermula dari usaha perdagangan tekstil di Pasar Klewer Solo, Jawa Tengah, ini telah membuktikan dirinya mampu bersaing dengan perusahaan tekstil lain di kancah internasional.
Namun semua itu adalah kisah kejayaan di masa lalu. Sekarang kenyataannya Sritex tidak sekokoh yang diperkirakan, bahkan tersungkur.Â
Tampaknya Sritex tidak mampu menghadapi tekanan global. Tekanan dimaksud misalnya dari kondisi pandemi Covid-19 dan juga ekses perang Rusia-Ukraina yang mempengaruhi penurunan ekspor tekstil dan garmen.Â
Hal ini diperparah dengan gempuran produk-produk impor ilegal yang masuk ke Indonesia. Inilah yang akan dielaborasi melalui tulisan ini, khususnya impor pakaian bekas.
Gempuran impor pakaian bekas menjadi salah satu penyebab utama di balik lesunya industri tekstil dan produk tekstil Indonesia. Pakaian bekas impor ini akhirnya menggerus pangsa pasar domestik.
Bisnis pakaian bekas atau istilah kerennya thrifting, semakin mendapat tempat karena menjadi bagian dari gaya hidup hemat. Tak heran, sekarang demikian tingginya permintaan terhadap baju bekas impor.
Konsep thrifting ini pada mulanya bernilai positif karena memperpanjang umur manfaat pakaian dan dianggap selaras dengan ekonomi sirkular yang baik bagi lingkungan.
Tapi, karena akhirnya berkembang jadi bisnis besar-besaran lintas negara, sebagian malah masuk melalui jalur ilegal, membuat produk lokal tersingkir.Â
Akhirnya ya itu tadi, PHK di pabrik tekstil tak terhindari. Bukan itu saja, toko-toko pakaian di sentra perdagangan tekstil sekelas Tanah Abang pun jadi sepi.
Di lain pihak, lapak-lapak penjual pakaian bekas dengan gampangnya terlihat di mana-mana, mulai dari kota besar hingga ke kota kecil seperti kota kecamatan.
Coba saja lihat di gedung bekas Mal Matahari di Jalan Kapten Muslihat, Kota Bogor. Lantai dasarnya penuh oleh toko yang menjual kemeja, kaus, sepatu, dan jaket yang semuanya bekas.
Dengan harga murah, yang berkisar sepertiga atau bahkan seperempat dari harga pakaian yang sama dalam kondisi baru, berhasil menjaring konsumen dari anak-anak sampai kakek-nenek.
Mata rantai perdagangan pakaian bekas ini melibatkan beberapa pihak, di mana penjual tingkat lapak membeli dalam bentuk karungan dari pedagang pemborong.
Jangan mengira mereka yang membeli pakaian bekas hanya orang kelas bawah yang memang punya daya beli pas-pasan.
Bahkan, masyarakat yang tegolong mampu ikut pula membeli. Padahal, perlu disadari, perdagangan baju bekas impor itu ilegal.
Jelaslah, ini dilema yang tidak gampang terutama bagi pemerintah untuk mencari jalan keluar yang memuaskan semua pihak.
Bahwa ekonomi rakyat jadi berputar dan membantu pihak-pihak yang terkait dalam mata rantai perdagangan pakaian bekas, ini fakta yang tidak terbantahkan.
Tapi, apapun alasannya, barang yang diimpor secara ilegal, jelas salah dan bahkan pihak yang terlibat perlu mendapatkan sanksi.
Jadi, perlu kemudahan birokrasi dalam jalur impor barang, agar menarik minat para importir pakaian legal.
Selain itu, industri tekstil dalam negeri harus mampu berproduksi secara efisien agar bisa dijual lebih murah.Â
Tak kalah penting adalah bagaimana industri lokal punya kreativitas menghasilkan produk yang mengikuti tren mode atau selera pasar.
Kita ingin ekonomi rakyat berputar tanpa harus mematikan industri lokal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI