Kompasianer berstatus "maestro" Tjiptadinata Effendi yang biasa saya panggil Pak Tjipta, dalam kolom komentarnya di salah satu tulisan saya beberapa hari yang lalu, membuat saya bersedih.
Komentar beliau yang ditulis dalam bahasa Minang (bahasa yang selalu kami gunakan setiap berinteraksi), selengkapnya adalah sebagai berikut.
"Lain Bengkulu lain Semarang yo Pak Irwan Rinaldi Sikumbang dunsanak nan elok budi. Sanang bana hati awak dapek basuo lai jo urang sakampuang. Disiko ado komunitas Urang Awak. Tapi saat mau bergabung, ado Pengurus nan keberatan. Sadiah bana hati awak Pak Irwan. Syukurlah Pak Irwan Rinaldi Sikumbang laie amua bakawan jo awak. Salam hangat dari kami baduo di rantau urang."
Kemudian saya jawab dengan bahasa campuran, sebagian bahasa Minang dan sebagian bahasa Indonesia, seperti di bawah ini.
"Onde ibo hati awak mandanga Pak Tjipta dan Bu Lina ditolak dek komunitas urang awak di Perth. Semoga pengurusnya bisa mencari informasi tentang profil Pak Tjipta yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan dan toleransi. Salam hormat selalu dan terima kasih."
Saya tidak menterjemahkan ke bahasa Indonesia kata per kata. Namun, intinya Pak Tjipta merasa sedih karena mau bergabung dengan komunitas orang Minang di Perth, Australia Barat, namun ditolak oleh pengurus komunitas tersebut.
Dugaan saya, penolakan Pak Tjipta ada kaitannya dengan darah Tionghoa yang mengalir di tubuh beliau, meskipun beliau lahir dan besar di Kota Padang, fasih berbahasa Minang dan sangat paham adat dan budaya Minang.
Bagi saya, penolakan tersebut bukan menggambarkan nilai-nilai filosofis orang Minang tentang hidup bertoleransi antar sesama yang dari dulu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti juga di berbagai suku yang ada di Indonesia, dalam pepatah atau peribahasa Minang ada yang terkait dengan toleransi, atau yang oleh orang Jawa disebut "tepo seliro".
Pepatah dimaksud menjadi cara untuk mengingatkan semua orang untuk berperilaku baik, terutama saat berada dalam suatu komunitas.