Setelah lolos seleksi, mereka mengikuti pendidikan dan pelatihan, lalu ditempatkan di beberapa posisi, sebelum dianggap layak menduduki jabatan yang lebih tinggi.
Demikian pula dalam hal seorang karyawan ingin dikirim mengikuti program master di luar negeri dengan biaya perusahaan besar tempatnya bekerja, lazimnya maksimal berusia 35 tahun.
Apa tujuan pembatasan usia maksimal tersebut? Hal ini berkaitan dengan usia pensiun di berbagai perusahaan, yang berkisar antara usia 55 hingga 60 tahun.
Jika seseorang lulus program MT di saat berusia 35 tahun, tentu perusahaan hanya bisa menggunakan tenaganya tidak selama mereka yang diterima di usia 25 tahun.
Padahal, perusahaan mengeluarkan biaya pendidikan dan on the job training yang besar bagi mereka yang diterima sebagai MT.
Lain halnya bila perusahaan merekrut khusus pejabat yang sudah jadi yang dibajak dari perusahaan lain. Dalam hal ini usia tidak terlalu menjadi batasan.
Atau bisa jadi yang dibatasi adalah usia minimalnya. Artinya, jika diterima pelamar yang berusia sangat muda, diduga belum punya pengalaman yang diharapkan.
Begitulah, ageisme jadi tak terhindarkan di dunia kerja, bisa usia minimal bisa pula maksimal, tergantung konteksnya. Hal ini membuat kondisi pencari kerja ibarat pencari jodoh.
Bagi yang familiar dengan rubrik Kontak Jodoh di koran Kompas edisi Minggu era dahulu, tentu paham tentang rentang usia yang dikehendaki pencari jodoh.
Wanita yang didambakan pria, kebanyakan di rentang usia 18-30 tahun. Sedangkan laki-laki yang dicari wanita, berusia antara 25-40 tahun.
Namun, Kompas sendiri hanya berniat membantu pasangan berusia matang yang belum menemukan jodohnya untuk diajak ke pelaminan.