Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Peta Persaingan Media TV di Era Digital, Media Besar Takut?

7 November 2022   04:23 Diperbarui: 7 November 2022   06:43 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dok. iStockphoto/plej92, dimuat cnnindonesia.com

Analog Switch Off (ASO) akhirnya resmi diberlakukan di Indonesia pada 2 November 2022 yang lalu, setelah sempat tertunda beberapa kali.

Dengan ASO, maka semua stasiun televisi menggunakan saluran digital dan menutup saluran analog yang sebelumnya digunakan. 

Memang, alasan yang mengemuka kenapa selama ini ditunda, terkait dengan ketersediaan set top box (STB) yang belum merata. 

Sehingga, bila ASO dipaksakan, akan merugikan konsumen yang masih menggunakan televisi model lama.

Adapun bagi warga yang mampu membeli televisi, sebetulnya sejak beberapa tahun terakhir ini sudah menikmati siaran digital.

Soalnya, dengan menggunakan smart TV, secara otomatis sudah dirancang untuk menangkap siaran dari stasiun TV digital.

Bahkan, televisi keluaran baru tersebut sudah tersambung ke saluran internet, sehingga bisa menikmati video yang biasanya dinikmati melulaui laptop.

Adapun mereka yang rugi dengan ASO adalah kelompok masyarakat bawah yang punya televisi gaya lama, yang hanya bisa mendapat siaran TV analog.

Televisi lama itu jika menggunkana STB akan mampu menangkap siaran digital. 

Nah, karena belum meratanya STB, makanya ASO sempat ditunda beberapa kali.

Selain itu, diduga sejumlah stasiun televisi yang merupakan pemain besar juga menginginkan penundaan ASO.

Memang ini baru bersifat dugaan yang berkaitan dengan rating acara televisi dari lembaga rating Nielsen.

Rating merupakan "kiblat" sebagian besar acara televisi karena rating tinggi identik dengan banyak iklan. Artinya, stasiun televisi akan menuai keuntungan.

Soalnya, rating Nielsen merupakan satu-satunya sistem pemeringkatan acara stasiun televisi dilihat dari jumlah pemirsanya.

Makanya, demi rating, berbagai program diciptakan meskipun terkadang terkesan kurang edukatif, seperti beberapa sinetron yang jalan ceritanya kurang logis.

Siapa bintang yang akan dipakai, seperti apa format acara, semuanya dengan mempertimbangkan rating.

Nah, ketika belum ASO, yang dirating oleh Nielsen hanya terbatas pada stasiun televisi besar yang melakukan siaran analog, meskipun televisi tersebut juga sudah paralel dengan siaran digital.

Namun, televisi pendatang baru yang sepenuhnya melakukan siaran digital, berkemungkinan belum dirating.

Nantinya, dengan ASO, TV-TV pendatang baru tersebut, termasuk TV lokal yang dari awal sudah digital, tentu juga akan dirating.

Dengan demikian, pembagian kue iklan bisa lebih merata, jika pemirsa yang selama ini tidak terjangkau rating sudah terhitung. 

Akibatnya, bisa jadi akan merugikan stasiun televisi besar yang selama ini jadi penguasa perolehan iklan.

Apakah analisis di atas bisa menjawab pertanyaan, kenapa stasiun TV di bawah bendera MNC Group terkesan "bandel" terhadap program ASO?

MNC Group antara lain menaungi stasiun televisi RCTI, MNC TV, INews, dan GTV. 

RCTI sendiri adalah nama besar dalam pertelevisian Indonesia dan merupakan stasiun TV swasta pertama di tanah air.

Jika membaca berita di media daring, antara lain dari detik.com (3/11/2022), MNC goup menilai tindakan mematikan siaran dengan sistem analog, sangat merugikan masyarakat Jabodetabek.

Memang, ASO belum berlaku secara nasional dan Jabodetabek merupakan wilayah yang sudah ASO. 

Karena tidak serentak secara nasional tersebut, MNC menilai pelaksanaan ASO kurang mulus. 

Bahkan, MNC Group berencana akan mengajukan tuntutan perdata kepada pemerintah.

Terlepas dari persoalan yang menimpa MNC Group, manajemen stasiun televisi manapun sebaiknya mempunyai strategi baru dalam rangka menghadapi era TV digital.

Perlu dicermati, persaingan tidak saja terjadi antar stasiun TV, tapi juga banyak sekali tayangan video yang bisa ditonton melalui aplikasi.

Menarik mengamati bahwa sejumlah content creator sukses membuat saluran "televisi" sendiri melalui aplikasi tertentu.

Mereka yang membuat "TV" sendiri itu, tidak ikut mendewakan rating, karena dari apliksi yang digunakan, bisa diketahui langsung jumlah penontonnya. 

Jangan heran, sekarang banyak artis makin tajir karena menangguk iklan di "TV"-nya sendiri. Tentu, karena penonton acaranya yang melimpah.

Begitulah memang  kondisi persaingan media elektronik di zaman sekarang.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun