Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kehidupan Bertetangga dalam 3 Versi di Jakarta

20 Oktober 2022   10:45 Diperbarui: 21 Oktober 2022   00:33 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hubungan baik antar tetangga | dokumentasi Shutterstock/SVRSLYIMAGE via Kompas.com

Masa kecil saya sungguh terasa indah sekali yang saya jalani di Payakumbuh, Sumbar, dari separuh akhir dekade 1960-an hingga separuh awal dekade 1970-an.

Bermain bersama anak-anak tetangga, mulai dari main bola, main petak umpet, dan berbagai permainan tradisional lainnya, sungguh mengasyikkan.

Tapi, jika turun hujan, saya suka iri pada anak-anak tetangga. Mereka enak sekali main hujan, sementara saya dan adik-adik saya dilarang ibu. Akhirnya saya hanya menonton teman-teman yang terlihat gembira menikmati mandi hujan. 

Ketika itu di usia sekitar 7-8 tahun, anak-anak cuek saja mandi hujan bertelanjang.

Cerita saya meloncat ke awal dekade 1990-an. Saya sudah berumah tangga, punya anak, dan menetap di kota metropolitan Jakarta.

Saya melihat bahwa apa yang dialami anak-anak saya sangat jauh berbeda dengan masa kecil saya. 

Teman masa kecil anak-anak saya bukanlah anak tetangga, tapi teman sekolah, mulai dari saat masuk TK, SD, dan sekolah menengah.

Masalahnya, sebelum masuk TK, praktis anak-anak tidak punya teman sebaya. 

Anak sulung saya lebih beruntung karena punya teman seusia yang tinggal persis di sebelah rumah saya.

Waktu anak tetangga disuapi ibunya makanan sambil main di luar rumah, biasanya anak saya juga ikut main.

Namun, anak saya yang nomor 2 dan 3 tidak punya tetangga yang punya anak sebaya anak-anak saya.

Lagi pula, lingkungan di saat balita anak sulung saya berbeda dengan saat adik-adiknya balita.

Hal itu karena saya memang beberapa kali pindah tempat tinggal dengan lingkungan yang juga berbeda.

Nah, karena itulah, paling tidak saya punya 3 versi bertetangga yang saya saksikan dan alami langsung di Jakarta.

Pertama, sebelum menikah, tapi saya sudah bekerja di Jakarta, saya tinggal bersama Pak Etek (adik ayah) saya di kawasan Kebon Baru, Jakarta Selatan.

Kawasan tersebut sangat padat penduduk yang jalanannya banyak berupa gang yang hanya bisa dilewati motor.

Adapun yang namanya jalan utama, hanya berupa jalan yang sempit, meskipun bisa dilewati mobil. 

Saat itu masih banyak becak yang bersliweran, sehingga suasana di jalan semakin padat.

Jujur, suasananya memang kurang nyaman, tapi justru kehidupan bertetangga masih terasa denyutnya, terutama antar warga beretnis Betawi yang masih banyak di sana.

Suasana guyub masih terasa. Bahkan tukang sayur, tukang minyak, pedagang pikulan, tukang kredit panci, sangat mengenal warga di gang-gang yang dilewatinya.

Pedagang dan pelanggan saling bercanda, ibu-ibu ngegosip sambil cari kutu, anak-anak main bola plastik di gang sempit, dan berbagai aktivitas lainnya yang dilakukan secara bersama-sama.

Kedua, saat saya baru berkeluarga, saya berkesempatan tinggal di rumah yang disediakan perusahaan tempat saya bekerja di bilangan Pramuka, Jakarta Pusat.

Ada 45 kepala keluarga tinggal di perumahan tersebut, semuanya teman dan senior saya di kantor.

Karena sudah saling mengenal, tentu saja hubungan antar tetangga berjalan dengan baik. 

Di situlah anak pertama saya dapat teman sebaya yang merupakan anak dari teman saya.

Istri saya mau tak mau harus ikut arisan ibu-ibu, ada kelompok pengajian yang cukup aktif, ada pula kegiatan main tenis bersama di hari libur.

Cukup nyaman sebetulnya tinggal di sana. Tapi, kelemahannya secara diam-diam sering saja ada omongan yang membanding-bandingkan kekayaan antar teman sendiri.

Itulah tidak enaknya bertetangga dengan rekan kerja sendiri. Masing-masing sudah saling mengetahui berapa gajinya, tapi kok ada teman yang punya ini punya itu dan tiap sebentar ke luar negeri.

Namun, bukan gara-gara itu saya mencari rumah sendiri yang saya dapatkan di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Saya menyadari bahwa rumah dinas bukanlah rumah sendiri, sehingga mau tak mau, saat dimutasi ke daerah atau saat pensiun, harus dilepas.

Di lain pihak, harga rumah cenderung naik terus setiap tahun. Maka, mantaplah saya untuk tinggal di rumah sendiri, meskipun saat itu belum pensiun.

Jadi, versi ketiga dalam hidup bertetangga di Jakarta adalah saat tinggal di rumah sendiri dan masih saya jalani hingga saat ini.

Saya punya beberapa tetangga yang masing-masing rumahnya berpagar tinggi. Jika saya lewat di depan rumahnya, saya tidak bisa melongok ke halaman rumah.

Semua tetangga saya adalah perantau, dalam arti bukan orang Betawi yang saya anggap sebagai penduduk asli Jakarta.

Kenapa saya tahu mereka pendatang, padahal kami bertetangga tidak saling kenal dekat? Itu karena saya nyinyir bertanya kepada Ketua RT yang pasti setiap bulan mendatangi rumah semua warganya.

Pak RT terlihat senang jika ke rumah saya, karena saya cepat membuka pintu pagar. 

Tapi, kalau Pak RT mengetok pintu beberapa tetangga saya, biasanya lama sekali dibuka oleh tuan rumah.

Itupun yang membuka bukan pemilik rumah, tapi asisten rumah tangganya yang sekadar membuka pintu pagar sedikit saja, sambil memberikan uang iuran kemanan.

Satu lagi yang jadi sumber informasi saya bila saya ingin tahu tentang tetangga adalah Pak Adi, tukang warung di depan taman dekat rumah saya.

Saya tidak tahu dari mana Pak Adi tahu tentang tetangga saya, karena si pemilik rumah jarang belanja di warungnya. 

Mungkin dari asisten rumah tangga si tetangga saya yang memang kadang-kadang berbelanja atau bermain di taman dekat warung.

Sebetulnya, saya relatif sering salat berjamaah di masjid dekat rumah. Sayangnya, hal ini tak bisa jadi sarana untuk memupuk silaturahmi antar tetangga.

Soalnya, jarang sekali tetangga saya yang ikut salat berjamaah. Kalau pun sesekali ada tetangga, setelah salat ia langsung pulang tanpa ingin ngobrol dengan jamaah lain.

Ya, begitulah kehidupan bertetangga yang saya alami sekarang. Masing-masing sibuk bekerja, pergi pagi pulang malam. 

Kalupun secara tak sengaja bertemu saat tetangga mau berangkat kerja, saya hanya sekedar melempar senyuman dan satu kata sapaan basa basi saja.

Jadi, hingga sekarang, kalau ada apa-apa, saya lebih suka menghubungi teman kantor atau famili saya, ketimbang minta tolong tetangga.

Bagaimanapun juga, tinggal di Jakarta dengan segala suka dukanya, tetap saya syukuri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun