Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Aksi Pamer Pemudik dan Terhambatnya Regenerasi Petani

25 April 2022   16:46 Diperbarui: 29 April 2022   02:14 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Calon penumpang menuju bus yang akan dinaikinya di Terminal Leuwipanjang, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (27/4/2021).| Tribun Jabar/Gani Kurniawan

Melakukan perjalanan mudik dari kota tempat seseorang bekerja ke kampung halamannya, sudah tradisi di negara kita dalam rangka merayakan Idul Fitri atau yang lebih sering kita sebut dengan lebaran.

Mudik lebaran tersebut dari tahun ke tahun (kecuali pada waktu pandemi lagi marak pada lebaran 2020 dan 2021) selalu mengalami peningkatan dilihat dari jumlah pemudik.

Tentu, seiring dengan itu, meningkat pula jumlah kendaraan yang digunakan pemudik, jumlah belanja barang yang dilakukan untuk dibawa ke kampung, serta jumlah uang yang beredar di kampung-kampung.

Jadi, secara ekonomi mudik lebaran sangat bermanfaat mengalirkan arus uang dari kota besar ke kota kecil dan desa-desa. Maka, dilihat dari usaha memperkecil kesenjangan antar daerah, hal ini bernilai positif.

Peningkatan jumlah pemudik merupakan hal yang wajar mengingat laju urbanisasi di negara kita terbilang pesat. Bahkan, perkembangan beberapa kota besar cenderung tak terkendali akibat derasnya urbanisasi.


Anak muda yang tetap tinggal di pedesaan semakin sedikit karena kebanyakan mereka lebih tertarik mengadu nasib di perkotaan, khususnya kota besar.

Jelas tidak semua perantau berhasil meraih kesuksesan. Sebagian kecil ada yang diam-diam kembali ke kampungnya dan menggarap lahan pertanian atau usaha lain yang lazim di pedesaan.

Tapi, sebagian besar tetap bertahan di kota perantauan. Meskipun gagal diterima bekerja di sektor formal, mereka yang gigih bisa memperoleh rezeki dari sektor informal seperti jadi pedagang kaki lima, buruh bangunan, pengojek motor, dan sebagainya.

Baik pekerja formal maupun informal sama-sama bergembira menyambut lebaran dengan melakukan perjalanan mudik ke kampung halaman.

Nah, yang menjadi masalah adalah dampak penampilan para pemudik di mata warga desanya. Termasuk pengaruh cerita para pemudik di hadapan anak muda di warung tempat kumpul-kumpul di desa tersebut.

Memang, aroma pamer kesuksesan para perantau seolah mendapat panggung yang pas saat mudik lebaran. Capeknya membanting tulang di tanah rantau perlu semacam relaksasi dengan mengumbar cerita sukses kepada orang kampung.

Padahal, para perantau belum tentu sesukses seperti yang diceritakannya. Bisa jadi cukup banyak bumbu sandiwaranya agar orang kampung terkesima.

Memang, ada pemudik yang royal mentraktir di warung kopi desa. Tapi, siapa tahu, uang tersebut merupakan hasil perjuangannya secara berdarah-darah, atau bahkan mungkin uang yang didapat dengan berutang. 

Pamer saat mudik menjadi fenomena yang lazim karena pada dasarnya setiap orang membutuhkan penghargaan dari orang lain. Penghargaan tersebut antara lain terlihat ketika para perantau yang pamer dielu-elukan masyarakat di desanya.

Jelas, ada kebahagiaan tersendiri bagi pemudik yang dihargai di desanya, meskipun hanya bersifat sementara, yakni saat mudik saja.

Tapi, dampaknya bagi warga desa yang termakan dengan kisah sukses para pemudik, sungguh serius dan bukan bersifat sementara. Bahkan, bisa membahayakan program ketahanan pangan. Lho, kok begitu? 

Soalnya, tak sedikit orangtua di desa yang mendorong anaknya agar merantau mengikuti jejak warga desa yang telah terlebih dahulu hijrah ke kota besar dan pamer saat mudik.

Ilustrasi petani|dok. Ahmad Fayumi via Pinterest.com
Ilustrasi petani|dok. Ahmad Fayumi via Pinterest.com

Akhirnya, jadi petani tak menarik lagi bagi anak muda yang tinggal di kampung. Regenerasi petani jadi terhambat dan program ketahanan pangan jadi terancam.

Lagi pula, remaja desa yang telah menamatkan SMA, atau apalagi yang sarjana, merasa tidak sesuai lagi jadi petani. Mereka berpikir, kalau memang mau jadi petani, tak perlu sekolah tinggi-tinggi.

Padahal, petani terdidik yang berpikiran maju dari generasi muda sangat diperlukan agar pertanian kita semakin berkembang, dengan menggunakan sarana teknologi informasi terkini.

Citra petani sebagai orang kampung yang berpakaian kumal karena berkubang tanah dari pagi hingga sore, perlu diperbarui dengan petani milenial yang bercocok tanam secara modern.

Kemudian, petani masa kini lebih keren bila terhubung langsung dengan konsumen di perkotaan melalui aplikasi tertentu di gawainya.

Dengan demikian, harga produk pertanian bisa menguntungkan petani karena tidak lagi dijual murah ke tengkulak seperti yang sering terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun