Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kenapa Jokowi Tak Lapor KPK Usai Terima 3 Ton Jeruk?

11 Desember 2021   07:02 Diperbarui: 11 Desember 2021   07:25 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi menerima oleh-oleh 3 ton buah jeruk dari warga Karo, Sumut|dok. ANTARA/Laily Rachev-Biro Pers Sekretariat Presiden, dimuat kompas.com

Pada peringatan Hari Antikorupsi 2021 yang jatuh pada 9 Desember lalu, publik perlu diingatkan kembali bahwa yang namanya korupsi itu sangat luas cakupannya.

Menerima hadiah pun yang diduga ada kaitannya dengan jabatan yang disandang seseorang, dapat digolongkan sebagai gratifikasi. Gratifikasi itu sendiri merupakan salah satu "cabang" dari korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan gratifikasi dalam bentuk apa pun kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara.

Namun, mungkin sosialisasi dari KPK belum dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Apalagi, budaya memberikan sesuatu kepada aparat pemerintah yang melayani kebutuhan wargannya, adakalanya dianggap lumrah.

Pemahaman banyak orang, jika si aparat yang meminta sejumlah uang agar permintaan warga  baru dipenuhi, dan uang tersebut bukan tarif resmi yang pakai tanda terima, bisa disebut sebagai pungutan liar (pungli).

Terhadap pungli tersebut, semua orang rasanya sepakat sebagai sesuatu yang salah. Masalahnya, sebagian warga kadang tak berdaya, sehingga mau tak mau akan memberikan uang pungli itu.

Tapi, jika warga yang dilayani merasa puas dan tanpa diminta si aparat, warga memberi tanda terima kasih, sebagian orang masih menganggap hal yang wajar.

Bahkan, tak sedikit warga yang memberi duluan sebelum si aparat melayani, dengan maksud agar warga tersebut mendapat keistimewaan menerima layanan super cepat. Ini juga jelas-jelas salah, karena dapat ditafsirkan sebagai sogokan. 

Tulisan ini lebih fokus kepada pemberian hadiah, atau sekadar oleh-oleh, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Dalam pandangan masyarakat secara umum, memberi oleh-oleh tidak sama dengan memberi sogokan. Bagi aparat penerima juga dianggap bukan pungli.

Bahwa hal itu sangat mungkin termasuk gratifikasi dan gratifikasi itu termasuk korupsi, ini yang tidak disadari masyarakat. 

Tapi, aparat penerima hadiah atau oleh-oleh seharusnya sadar bahwa itu termasuk gratifikasi. Soalnya, ketentuan seperti itu sangat sering didengungkan di kantor-kantor pemerintah.

Ketika dulu saya sekolah di Sumatera Barat, tak ada budaya wali murid memberi hadiah kepada guru anak-anaknya pada saat menerima rapor.

Ketika kemudian saya berdomisili di Jakarta, berkeluarga, dan punya 3 orang anak, baru saya tahu, ternyata di Jakarta hal yang lazim kalau orang tua murid memberi hadiah pada guru anaknya. 

Hadiah itu bisa diberikan secara pribadi atau hasil urunan sesama orang tua murid dan pemberiannya biasanya saat menerima rapor.

Nah, kalau soal oleh-oleh, di kantor tempat saya bekerja dulu, sebagai orang kantor pusat sebuah perusahaan milik negara, saya dan teman-teman sesekali dikirimi sesuatu oleh kantor wilayah atau kantor cabang.

Misalnya, Kantor Wilayah Padang mengirim satu kardus kripik balado. Atau, dikirimi wingko dari Semarang, bakpia dari Jogja, dan sebagainya.

Ketika membaca berita Presiden Jokowi dikirimi buah jeruk sebanyak 3 ton oleh warga Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara, saya jadi teringat pengalaman saat mengunjungi Kantor Cabang Kabanjahe (ibu kota kabupaten Karo) sekitar tahun 2003.

Ketika itu saya bersama  3 orang teman, di hari kepulangan ke Jakarta, masing-masing kami diberi oleh-oleh sekeranjang jeruk. 

Kalau di supermarket atau di pasar tradisional dijual jeruk Medan, maka itu kemungkinan besar jeruk dari Karo. Dan rasanya memang manis.

Kembali ke soal 3 ton jeruk untuk Jokowi, ternyata itu berkaitan dengan penyampaian aspirasi warga agar kondisi jalan yang rusak di daerahnya segera diperbaiki.

Penyampaian aspirasi dan pemberian jeruk itu dilakukan 6 orang perwakilan warga Liang Melas Datas, Karo, Sumatera Utara, di Istana Merdeka, Senin (6/12/2021) lalu.

Nah, kalau ada yang bertanya apakah Jokowi melaporkan penerimaan jeruk 3 ton tersebut ke KPK? Selama ini Jokowi aktif melaporkan pemberian berbagai hadiah kepada lembaga antirasuah itu.

Tapi, untuk kali ini, seperti yang ditulis Kompas.com (8/12/2021), Presiden Jokowi tidak melaporkannya. Menurut Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Faldo Maldini, hal itu karena saat menerima jeruk, Jokowi langsung memberi ganti berupa uang sebagai bayaran.

Terlepas dari soal pemberian jeruk tersebut, imbauan KPK kepada masyarakat untuk tidak memberi hadiah kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara, perlu menjadi perhatian kita.

Namun demikian, menyampaikan aspirasi kepada orang nomor satu di negeri ini tentu boleh-boleh saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun