Menikah itu gampang. Hanya sekadar memenuhi ketentuan agama dan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, relatif tidak rumit.
Ya, tentu sebelumnya pasangan yang akan menikah sudah mempertimbangkan bahwa mereka memang cocok, atau paling tidak saat itu merasa cocok.
Cocok tersebut bisa menyangkut penampilan fisik, kemampuan ekonomi dan pekerjaan, tingkah laku dan tata cara dalam bergaul, agama yang dianut, dan sebagainya.
Masalahnya, adat dari berbagai suku di Indonesia atau kebiasaan yang berlaku umum, sekadar menggelar akad nikah plus syukuran kecil-kecilan, tidaklah cukup
Padahal, kalau ingin menggelar resepsi, biayanya saat ini tidak sedikit. Sewa gedung, katering, pelaminan dan dekorasi, busana penganten dan busana seragam panitia, hiburan, souvenir, dan lain-lain, semuanya butuh biaya.
Tapi, jika ingin efisien, yang terpenting itu tadi, melaksanakan akad nikah. Tentu, dengan memenuhi persyaratan dokumen yang diperlukan, termasuk mahar pernikahan.
Baik, soal mau efisien atau tidak, itu soal lain. Kita lihat perjalanan rumah tangga sepasang pengantin yang didoakan banyak orang agar menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah.
Bagaimana keharmonisan mereka setelah 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, atau lebih lama dari itu? Apakah pasangan yang sering tampil berdua di depan publik, merupakan indikator keharmonisan?
Bisa ya, bisa juga tidak. Bisa jadi karena jabatannya menuntut pasangan tersebut terlihat mesra di depan umum, padahal setelah kembali ke rumah, mereka terlibat perang dingin.
Teringat kembali sewaktu mereka dulu memutuskan untuk menikah karena merasa cocok, apakah setelah mengarungi rumah tangga belasan tahun, mereka tetap merasa cocok?
Jika si suami bernasib baik, anggaplah kariernya melesat di sebuah instansi, namun si istri tak bisa meng-up grade penampilannya seperti ibu pejabat lainnya, masihkah keduanya merasa cocok?
Atau sebaliknya, si suami kariernya mandek, bahkan terkena PHK. Namun, si istri sukses menjadi seorang pebisnis. Masihkah mereka merasa cocok?
Bisa pula soal pemahaman agama jadi masalah. Si suami tiba-tiba ingin resign dari sebuah bank karena merasa penghasilannya tidak sesuai dengan tuntunan agama.Â
Kemudian ia merintis untuk berdagang, tapi ternyata malah menderita kerugian. Si istri sangat kecewa karena merasa bekerja di sebuah bank tidaklah melanggar agama.
Betapa banyak pasangan yang tetap mempertahankan pernikahannya, padahal di rumah mereka saling diam saja dengan hati yang beku, bahkan ada yang berpisah kamar.
Atau, ada pula suami yang diam-diam melakukan nikah siri. Ada yang tidak ketahuan istri sahnya. Ada yang ketahuan, tapi si istri sah mendiamkan karena takut bercerai.
Bercerai, sedikit banyak akan berdampak buruk bagi anak-anak, juga ada stigma yang kurang baik di mata masyarakat sekitar.
Namun demikian, tak sedikit ibu-ibu zaman sekarang yang lebih berani bertindak dengan melakukan gugat cerai pada suaminya.Â
Ibu-ibu tersebut tidak takut menyandang status janda, yang penting merasa nyaman hidup sendiri tanpa didamping suami yang tidak sehaluan lagi.
Nah, kembali ke kisah awal, kata orang, jika berlandaskan cinta yang tulus, waktu akad nikah rasanya hubungan akan harmonis terus, langgeng, dan abadi.
Masalahnya, cinta tulus tersebut bukan sesuatu yang gampang untuk bisa bertahan terus menerus. Perlu kemauan kedua bilah pihak untuk merawatnya, dengan selalu saling menghargai.
Ketika bayangan indah masa lalu menjadi buram setelah waktu berlalu sekian lama, lalu terjadi perceraian, maka ketika itulah mungkin ada salah satu pihak, biasanya pihak wanita, yang merasakan perlunya perjanjian pranikah.
Memang, secara agama, sebetulnya sudah diatur konsekuensi dari suatu perceraian dalam rumah tangga. Tapi, jika salah satu pihak tidak mematuhi, pihak lain akan merasa dirugikan.Â
Dengan perjanjian pranikah, yang mengatur dengan jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak, bisa jadi akan lebih mendapat kepastian hukum.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI