Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Centang Perenangnya Indonesia, Kita Tetap Cinta

8 Oktober 2020   21:59 Diperbarui: 8 Oktober 2020   22:03 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Makan Padang di New York (sarihusada.co.id)

Sewaktu masih aktif berdinas di sebuah perusahaan milik negara, saya lumayan sering dapat penugasan mengikuti pelatihan singkat untuk satu hingga dua minggu di luar negeri. Namun pernah juga yang relatif lama, yakni selama 3 bulan pada tahun 1995 di Singapura.

Sedikit banyak penugasan itu bisa menjadi pelipur lara atas tidak terwujudnya obsesi saya. Ya, saya berhasrat sekali mengikuti program S-2 di Amerika Serikat (AS), Eropa, atau Australia dengan dibiayai oleh dinas seperti yang dialami oleh beberapa teman satu angkatan saya.

Hanya saja, nasib berkata lain, saya hanya dibiayai untuk mengambil gelar magister manajemen di sebuah perguruan tinggi negeri. Itupun sangat saya sukuri karena saya ikut program reguler, sehingga dua tahun penuh 1997-1999, saya fokus kuliah dan tetap dapat gaji.

Alhamdulillah, keinginan untuk melihat negeri orang, seperti beberapa negara Eropa, AS, Australia, Jepang, Hongkong, China, dan beberapa negara ASEAN, saya dapatkan melalui pelatihan singkat yang saya singgung sebelumnya.

Dalam kebanyakan kunjungan ke luar negeri tersebut, saya beberapa kali bertemu diaspora Indonesia yang sudah jadi residen permanen. Seperti di Australia, kendaraan yang kami (saya dan beberapa teman) sewa untuk jalan-jalan, dimiliki sekaligus disopiri oleh lelaki berusia 50-an tahun asal Malang, Jawa Timur.

Di New York, saya juga sempat ngobrol dengan keluarga pemilik rumah makan yang menyediakan masakan Minang "Upi Jaya". O ya, lidah Indonesia saya, seperti juga teman-teman saya, memang susah diajak kompromi bila menyantap masakan asing. Makanya, mencari informasi di mana alamat restoran Indonesia, menjadi hal yang wajib bila berada di luar negeri.

Dari ngobrol-ngobrol itu, saya mendapatkan informasi tentang kenyamanan tinggal di luar negeri. Seperti pengemudi asal Malang tersebut, ia yakin kalau tetap di Indonesia dengan keahlian meyetir tapi tanpa modal, akan sulit hidup mapan. Tapi di Australia, asal mau berusaha, bahkan untuk pekerjaan lain yang tergolong "kasar", akan mendapat penghasilan lumayan.

Mereka merasa nyaman tinggal di negeri orang, meskipun sebagai penganut agama Islam mereka menjadi kelompok minoritas. Meskipun masjid tidak banyak, mereka merasa gampang untuk beribadah, tidak mendapat perlakuan diskriminatif dari kelompok mayoritas, dan sangat kompak dengan sesama muslim yang berasal dari berbagai negara.

Hanya saja, kenyamanan hidup di negeri orang tidak otomatis menghilangkan kerinduannya akan kampung halaman. Makanya, banyak juga diaspora Indonesia yang menginginkan nantinya akan menghabiskan hari tua di negeri sendiri. 

Bahkan, banyak yang masih mempertahankan paspor Indonesia dan tetap bersatus WNI. Toh, dengan menjadi permanent resident, mereka mendapat berbagai fasilitas seperti juga penduduk asli negara tersebut.

Namun demikian, bagi anak-anak mereka yang lahir atau sejak anak-anak telah berdiam di luar negeri, keinginan untuk ke Indonesia hanya sebatas jalan-jalan saja, baik untuk melihat jejak sejarah orangtuanya, maupun untuk menikmati keindahan alam di negeri nyiur melamabai ini. Cerita tentang betapa indahnya Indonesia, selalu didengungkan orang tua kepada anak-anaknya.

Lagipula, dengan sistem pendidikan yang relatif lebih baik, demikian juga untuk berkarier bila sudah bekerja, membuat anak-anak yang lahir di luar negeri merasa melangkah mundur bila diminta untuk menetap di Indonesia. 

Ada berbagai alasan orang Indonesia akhirnya menetap di luar negeri. Ada yang karena alasan politik seperti mereka yang eksodus ke Belanda saat periode awal setelah proklamasi kemerdekaan RI. Atau kalau mau lebih lama lagi adalah kelompok yang dibawa pemerintah kolonial Belanda ke Suriname. 

Sedangkan yang relatif lebih  baru, mereka yang meningalkan tanah air saat pergantian rezim orde lama ke orede baru dan saat orde baru ditumbangkan orde reformasi. 

Banyak pula yang kebablasan setelah menempuh studi di luar negeri, berlanjut mendapat pekerjaan dan jodoh di sana. Juga ada yang tidak bermimpi berdomisili di luar negeri, tapi karena berjodoh dengan orang asing, kemudian dibawa ke negeri asal pasangan hidupnya.

Dan yang paling banyak memang karena alasan ekonomi, menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Banyak TKI yang sukses, tapi kisah suksesnya tenggelam oleh kisah TKI yang teraniaya. Sebaiknya calon TKI dibekali ketrampilan yang mencukupi sebelum diberangkatkan ke luar negeri, agar menuai kesuksesan dan kelak bisa pulang ke Indonesia dengan tabungan yang cukup untuk hari tuanya.

Berkaitan dengan isu keinginan mereka yang ingin pindah warga negara gara-gara kekecewaan terhadap pemerintah dan anggota parlemen yang melahirkan kebijakan yang dinilai merugikan para pekerja, kemungkinan besar hanya sebagai lontaran sesaat saja. Justru secara tersirat, hal itu menunjukkan kecintaan mereka pada negeri sendiri.

Ada pepatah Minang yang mengatakan bahwa jika seseorang sayang dengan kampungnya, tunjukkan dengan cara meninggalkan kampung tersebut. Maksudnya bisa untuk mencari ilmu maupun mencari nafkah, yang nantinya bermanfaat untuk membangun kampung halaman. Nah, bila memang ada yang serius ingin pindah warga negara, jangan buru-buru dicurigai. 

Memang, betapa centang perenangnya negeri ini, tidaklah memupus cinta kita terhadap tanah air. Kalau tak percaya, tanyakan saja pada beberapa kompasianer yang aktif menulis di Kompasiana, meskipun berdomisili di luar negeri. Pak Tjipta dengan istri tercintanya Bu Lina, Mbak Widz, Mbak Hennie, Mbak Gaganawati, adalah beberapa kompasianer dimaksud.

Kita semua tulus mencintai Indonesia. Semoga para pemimpin dan para wakil rakyat betul-betul memperjuangkan nasib rakyat, bukan nasib sekelompok orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun