Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Revisi UU Bank Indonesia, Langkah Mundur Kembali ke Orde Baru?

5 Oktober 2020   08:22 Diperbarui: 5 Oktober 2020   09:39 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. cnnindonesia.com

Undang-Undang tentang Bank Indonesia (RUU BI) direncanakan akan direvisi. Sekarang ini yang berlaku adalah UU Nomor 23 Tahun 1999, meskipun sudah dua kali dilakukan amandeman. Revisi kali ini berdasarkan usulan Badan Legislasi DPR seperti yang diberitakan cnnindonesia.com (2/9/2020).

Masalahnya, ada kekhawatiran sejumlah pihak, terutama dari kalangan akademisi dan pengamat ekonomi, bahwa pada RUU yang sedang disiapkan tersebut akan memberi peluang pemerintah untuk ikut campur terlalu jauh. Kalau itu terjadi, sama saja dengan melakukan langkah mundur, kembali ke Orde Baru.

Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah menjelaskan perbedaan prinsip UU BI sebelum 1999 dan setelahnya, yang terletak pada hubungan pemerintah dan BI sebagai bank sentral. Setelah 1999 BI bersifat lebih independen dan terpisah dari pemerintah.

Sedangkan sebelum 1999, BI masuk ke pemerintah, di mana Gubernur BI itu selevel menteri dan ada lagi yang namanya Dewan Moneter. Nah, dalam revisi yang digodok DPR saat ini, muncul wacana menghidupkan kembali Dewan Moneter, yang diketuai oleh Menteri Keuangan. Adapun Gubernur BI hanya berfungsi sebagai anggota Dewan Moneter.

Masih ada anggota Dewan Moneter lainnya yakni menteri yang membidangi perekonomian, Deputi Gubernur Senior BI (orang nomor dua di BI setelah Gubernur BI), dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Adanya 2 pejabat BI di Dewan Moneter tidak membuat posisinya lebih kuat, mengingat yang menjadi pimpinan adalah Menteri Keuangan.

Tudingan akan dikebirinya independensi BI semakin kuat alasannya, melihat pada  konsep dari Badan Legislasi DPR yang mengubah tujuan BI, bukan hanya memelihara kestabilan nilai rupiah, tapi juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri khawatir, jika independensi BI terusik, di masa depan akan banyak titipan kepentingan politis yang dibebankan ke bank sentral (Kompas, 2/10/2020).

Kompas.id (3/10/2020) memberikan pengandaian yang pas dengan menulis bahwa gagasan untuk mencabut independensi bank sentral (di tengah krisis) ini ibarat menembak kaki sendiri yang sedang pincang.

Betapa tidak, bukankah tanpa ada revisi UU pun atau tanpa ada Dewan Moneter pun, BI sudah mulai pincang dengan terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. 

Adalah pandemi Covid-19 yang membuat lahirnya UU tersebut setelah sebelumnya didahului oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang hal yang sama.

Dengan UU di atas, BI diminta kontribusinya menjadi pembeli siaga atas Surat Utang Negara (SUN), yang bisa membeli di pasar perdana (penjualan pertama kali saat surat utang diterbitkan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun