Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pentingnya Menelusuri Kembali Obrolan Kita di Dunia Maya

18 April 2020   18:38 Diperbarui: 18 April 2020   22:35 949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi chatting via WhatsApp (Sumber: www.Shutterstock.com)

Suatu kali saya terlibat ngobrol atau istilah kerennya chatting di dunia maya dengan seorang teman akrab di masa lalu saya. 

Namanya juga teman masa lalu, yang sudah sangat lama tidak bertemu, tentu saja obrolan berlangsung dengan asyik dan tanpa terasa bisa menghabiskan waktu satu jam.

Sebetulnya ketimbang ngobrol panjang melalui tulisan, tentu saja lebih praktis berkomunikasi langsung melalui telepon. Memang akan menguras pulsa, tapi menurut saya relatif murah. Hanya saja pada dasarnya saya memang lebih menikmati bersahut-sahutan melalui tulisan, dalam hal ini melalui aplikasi WhatsApp (WA).

Meskipun capek, dengan menulis rasanya saya tidak mengganggu orang lain di sekitar saya, misalnya istri dan anak-anak kalau saya lagi di rumah. Lagi pula, sebagai orang Sumatera, kalau berbicara biasanya saya menggunakan volume yang keras, susah untuk dikurangi.

Masalahnya, kecepatan saya menulis tidak sebanding dengan kecepatan munculnya gagasan dalam kepala saya. Salah ketik sudah pasti sering. Apalagi telpon pintar sekarang sering sok tahu.

Contohnya saat saya mau mengetik "sayur", baru terketik 3 huruf "say", eh malah muncul kata "sayang" yang spontan kepencet. Bukankah lawan bicara bisa jadi salah tafsir, walaupun setelah itu saya ralat.

Soal lain, kecepatan menulis saya dan lawan bicara juga berbeda, saya rasanya jauh lebih cepat. Bayangkan karena saya memang sangat antusias mengetahui perkembangan terakhir si teman ini, pertanyaan saya agak bertubi-tubi, padahal pertanyaan sebelumnya saja belum mendapat jawaban. 

Akhirnya saya harus puas, beberapa dari pertanyaan saya tidak dijawab. Padahal obrolan harus diakhiri, karena saya harus menunaikan kewajiban salat. Atau si teman yang berada di kota lain yang harus salat, karena ada perbedaan waktu salat sekitar setengah jam.

Setelah berkali-kali kami mengobrol, tentu gaya formal penuh basa basi sudah berganti dengan gaya santai. Saling bertukar gambar lucu, video lagu nostalgia, dan saling bertukar foto pun ikut menghiasi. 

Bahkan atas foto yang dikirim, komentarnya bisa bernada pujian, atau malah ledekan. Pokoknya akrab dan santai. Tak sadar kalau kami sebetulnya sudah tidak muda lagi, tapi dalam mengobrol bergaya anak muda saja.

Suatu kali, si teman mengirim dua buah foto dirinya bersama teman-temannya, ada yang foto bertiga, dan yang berlima. Semuanya merupakan teman saya saat sekolah dulu. Tapi karena yang dikirim foto versi terakhir dengan wajah yang sudah sangat jauh berbeda dengan yang ada dalam imajinasi saya, tentu saya bertanya.

Biar jelas, saya perlu tambahkan bahwa semua yang ada dalam foto di atas adalah wanita. Ada satu orang yang menarik perhatian saya di foto kedua, yang berbaju kuning, duduk di sebelah kanan bawah, lalu saya tanyakan siapa dia?

Si Teman bukan menjawab yang saya minta, tapi malah menjelaskan orang yang berbaju merah yang berada di bagian belakang. 

Saya tegaskan lagi yang berbaju kuning, kembali dijawab bahwa yang berbaju kuning itu sama dengan yang berbaju merah di bagian belakang.

Saya jadi bingung, kok dalam satu foto yang sama, ada dua orang yang jelas-jelas berbeda, oleh teman saya dianggap sama orangnya. 

Sambil agak kesal, saya mengeluarkan komentar spontan yang mempertanyakan apakah saya yang bodoh atau ia? Komentar ini tampaknya menyinggung perasaannya, sehingga setelah itu obrolan pun diakhiri, karena ia mau makan malam.

Paginya, si teman mengirim pesan. Ternyata ia kembali mengungkit obrolan tadi malam dan mengatakan bahwa sayalah yang salah dalam menafsirkan kalimatnya. 

Ia sebetulnya mengatakan bahwa orang yang berbaju kuning pada foto pertama sama dengan yang berbaju merah pada foto kedua.

Lalu ia mengatakan tadi malam telah menelusuri kembali obrolanya dengan saya, dan ia menyimpulkan bahwa saya gagal fokus dengan dugaan sambil ngobrol dengan diriya, saya juga ngobrol dengan yang lain, sama-sama melalui WA.

Saya langsung meminta maaf dan ia juga spontan menerimanya. Tapi diam-diam sebetulnya saya belum puas, dan dengan sengaja menyisihkan waktu sekitar 15 menit untuk menelusuri obrolan kami tadi malam.

Akhirnya dalam hati saya mengakui ketelitian si teman, karena pada awalnya topik pembicaraan kami memang banyak pada tingkah polah seseorang yang berbaju kuning di foto pertama yang katanya sudah jadi sosialita sejak suaminya punya jabatan di suatu instansi.

Lalu ketika saya bertanya siapa yang berbaju kuning, ia mengira masih dalam konteks foto pertama. Saya juga mengakui beberapa kali saya telat merespon tulisannya, karena disambi dengan ngobrol di dua grup WA.

Kemudian saya mengirim pesan lagi ke teman tersebut yang memberikan apresiasi atas upayanya menelusuri obrolan tadi malam, sehingga kesalahpahaman bisa diakhiri. Namun saya juga kaget, ketika ia juga merasa bersalah karena memberikan tulisan yang panjang-panjang sehingga saya tidak sepenuhnya membaca.

Ilustrasi isi chatting (Sumber: nusagates.com)
Ilustrasi isi chatting (Sumber: nusagates.com)
Poin saya adalah, ketika menjalani program stay at home, obrolan kita di dunia maya cenderung meningkat. Obrolan spontan sangat mungkin menimbulkan salah penafsiran. Bisa pula "Jaka Sembung naik ojek" alias nggak nyambung antara jawaban dan pertanyaan.

Bila hanya soal ecek-ecek, komentar atas foto saja sudah menimbulkan gesekan, apalagi obrolan soal agama, sosial atau politik. Harus diingat, obrolan yang sehat adalah yang setara. 

Maksudnya semua pihak yang saling bersahut-sahutan, baik di sebuah grup media sosial, maupun antar dua individu, harus saling menghargai, dalam arti tidak boleh salah satu pihak memonopoli kebenaran.

Maka gaya obrolan yang meledak-ledak, malah pakai emosi segala, harus dihindarkan. Jangan langsung main sambar saja dalam mengirim pesan atau mengomentari sesuatu. 

Bila terlihat tanda-tanda terjadi miskomunikasi, ada baiknya rehat sejenak, dan masing-masing pihak berupaya untuk menelusuri kembali obrolan yang sudah berkembang jauh.

Jangan segan untuk minta maaf bila kita bersalah. Biasanya, kalau kita duluan yang minta maaf, lawan bicara juga akan ikut merasa bersalah dan ikut-ikutan minta maaf. Akhirnya malah saling minta maaf, kayak lebaran saja. Kebersamaan yang indah melalui dunia maya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun