Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Parasite", Kesenjangan Itu Hanya Sekadar Asyik Ditonton?

13 Februari 2020   07:10 Diperbarui: 13 Februari 2020   07:15 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di apartemen kumuh di film Parasite (CJ Enm Corporation, dimuat Kompas.com)

Setelah memenangkan predikat sebagai film terbaik pada gelaran Academy Award 2020 yang baru saja diumumkan beberapa hari lalu, film "Parasite", film non-Hollywood pertama yang mendapat posisi terhormat itu, segera memancing keinginan publik buat menontonnya.

Karena bukan penggemar film Korea, saya tidak tahu bahwa Parasite sudah ditayangkan di beberapa bioskop ibu kota dan kota besar lainnya pertengahan tahun lalu.

Kemudian selama beberapa hari pada pertengahan Januari tahun ini, di bioskop tertentu kembali diputar karena banyaknya permintaan waragnet setelah Parasite dinominasikan pada banyak aspek penilaian Academy Award.

Tapi inipun saya lewatkan begitu saja karena lebih tertarik menikmati film "1917" dan "Little Women" yang juga masuk nominasi.  Dugaan saya 1917 akan terpilih menjadi film terbaik.

Ternyata seperti yang disinggung di atas, Parasite-lah yang menggondol film terbaik, sekaligus mengantarkan sang sutradara, Bong Joon Ho, sebagai sutradara terbaik di ajang paling bergengsi untuk perfilman dunia itu. Selain itu masih ada dua kategori lagi yang disabet Parasite.

Untung saja begitu saya mencari informasi di situs salah satu jaringan bioskop, Parasite kembali ditayangkan. Dan betul saja, saya yang menonton di hari kerja, Rabu sore (12/2/2020) di sebuah mal di Jakarta Pusat, mendapati penonton yang penuh. Padahal kondisi seperti itu biasanya hanya ditemukan di akhir pekan atau hari libur.

Karena di Kompasiana sudah ada beberapa tulisan yang membahas kekuatan film ini dan juga tentang sinopsisnya, saya tidak akan mengangkat hal yang sama.

Saya lebih tertarik mengamati kritik sosial yang tajam yang menjadi pesan terselubung Parasite. Ternyata betapa di negara Korea Selatan, yang dari kaca mata kita jauh lebih makmur dari Indonesia, juga punya masalah kesenjangan yang parah.

Tapi tentu saja separah-parahnya di Korea, tidak lebih parah dari di tanah air kita. Apartemen kumuh yang tergambar di Parasite, masih lebih baik dari rumah dari kardus atau triplek bekas di bantaran sungai atau di pinggir rel kereta api di ibu kota Jakarta.

Kebetulan Jakarta dan sekitarnya belum lama ini ditimpa musibah kebanjiran yang tergolong besar. Banyak para pengungsi yang terpaksa hidup ala kadarnya di tenda-tenda pengungsian.

Fenomena ibu kota saat banjir itulah yang langsung terbayang di benak saya ketika menyaksikan adegan kebanjiran di perkampungan kumuh di Seoul, ibu kota Korea Selatan, yang muncul selama beberapa menit di film Parasite.

Para korban banjir di Korea ditampung di tempat semacam Gelanggang Olahraga (GOR), dengan kondisi yang lebih tertib ketimbang tempat penampungan korban banjir di Jakarta.

Di sebagian lokasi yang dilanda banjir di Jakarta, ketinggian air ada yang sampai atap rumah. Tapi di film Parasite, di apartemen kumuh yang berada di bawah tanah atau semacam basement, air masuk setinggi pinggang orang dewasa. 

Apartemen kelas bawah tersebut di Korea disebut dengan banjiha. Kondisinya pengap dan gelap. Di pinggir jalan yang terlihat dari balik kaca rumah, ada saja orang yang seenaknya buang air kecil. 

Saya larut karena keasyikan menonton suasana kehidupan yang kontras di Parasite, antara keluarga miskin dengan keluarga yang kaya raya yang tinggal di rumah mewah berukuran sangat luas. 

Kekontrasan yang lebih tajam sebetulnya ada di depan mata kita, maksudnya bukan kisah rekaan film, tapi di dunia nyata. Jadi kalau mau merenungkan soal kesenjangan sosial, negara kita merupakan salah satu "laboratorium" terbaik di dunia untuk diteliti, untuk menemukan metode terbaik dalam mempersempit kesenjangan itu.

Namun kalau dihubungkan dengan film, film nasional pun sudah sejak dulu mengangkat kisah bertema kesenjangan sosial, meskipun tidak meledak seperti film nasional bergenre horor atau komedi.

Pada tahun 1978 ada film "Pengemis dan Tukang Becak" yang juga memenangkan sejumlah penghargaan, walaupun di level Festival Film Indonesia (FFI).

Ada juga film yang lebih spesifik tentang kehidupan warga ibu kota yang tinggal di rumah susun berjudul "Cintaku di Rumah Susun". Film ini pun meraih penghargaan di FFI 1987.

Bahkan kalau diperluas dengan mengamati berbagai acara di layar kaca, banyak stasiun televisi yang menayangkan reality show yang menguras air mata penonton. Ada yang namanya "Bedah Rumah", "Mikrofon Pelunas Utang", dan sebagainya.

Ketika menonton acara di atas biasanya kita tersadar untuk ingin mengulurkan bantuan bagi kaum duafa. Tapi tak lama setelah itu, karena berbagai alasan, kita sudah melupakan soal mau membantu itu.

Akhirnya masalah kesenjangan sosial terkesan sekadar asyik untuk ditonton saja. Anggaplah sebagai hiburan yang bersifat edukatif. Tapi belum cukup nendang buat melakukan aksi nyata dalam rangka ikut mencari solusi mengatasi kesenjangan itu.

Jangan mengira ini hanya tugas pemerintah semata. Pada dasarnya siapapun yang punya kemampuan, tidak harus menunggu jadi orang kaya, harus membantu.

Tentu maksudnya tidak hanya memberikan sumbangan atau sedekah. Bantuan yang memberdayakan, memberi kail, bukan memberi ikan, akan lebih terasa dampaknya.

Dan semua itu harus dilakukan secara ikhlas, bukan buat berfoto-foto untuk dipamerkan di media sosial. Kalau niatnya untuk pencitraan, ini malahan terkesan mengeksploitasi atau memanfaatkan kesenjangan.

Rumus sederhana yang sering dikatakan para motivator patut diterapkan: mulailah dari diri sendiri, dari hal yang kecil, dan lakukan sekarang juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun