Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Parasite", Kesenjangan Itu Hanya Sekadar Asyik Ditonton?

13 Februari 2020   07:10 Diperbarui: 13 Februari 2020   07:15 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Banjir di apartemen kumuh di film Parasite (CJ Enm Corporation, dimuat Kompas.com)

Para korban banjir di Korea ditampung di tempat semacam Gelanggang Olahraga (GOR), dengan kondisi yang lebih tertib ketimbang tempat penampungan korban banjir di Jakarta.

Di sebagian lokasi yang dilanda banjir di Jakarta, ketinggian air ada yang sampai atap rumah. Tapi di film Parasite, di apartemen kumuh yang berada di bawah tanah atau semacam basement, air masuk setinggi pinggang orang dewasa. 

Apartemen kelas bawah tersebut di Korea disebut dengan banjiha. Kondisinya pengap dan gelap. Di pinggir jalan yang terlihat dari balik kaca rumah, ada saja orang yang seenaknya buang air kecil. 

Saya larut karena keasyikan menonton suasana kehidupan yang kontras di Parasite, antara keluarga miskin dengan keluarga yang kaya raya yang tinggal di rumah mewah berukuran sangat luas. 

Kekontrasan yang lebih tajam sebetulnya ada di depan mata kita, maksudnya bukan kisah rekaan film, tapi di dunia nyata. Jadi kalau mau merenungkan soal kesenjangan sosial, negara kita merupakan salah satu "laboratorium" terbaik di dunia untuk diteliti, untuk menemukan metode terbaik dalam mempersempit kesenjangan itu.

Namun kalau dihubungkan dengan film, film nasional pun sudah sejak dulu mengangkat kisah bertema kesenjangan sosial, meskipun tidak meledak seperti film nasional bergenre horor atau komedi.

Pada tahun 1978 ada film "Pengemis dan Tukang Becak" yang juga memenangkan sejumlah penghargaan, walaupun di level Festival Film Indonesia (FFI).

Ada juga film yang lebih spesifik tentang kehidupan warga ibu kota yang tinggal di rumah susun berjudul "Cintaku di Rumah Susun". Film ini pun meraih penghargaan di FFI 1987.

Bahkan kalau diperluas dengan mengamati berbagai acara di layar kaca, banyak stasiun televisi yang menayangkan reality show yang menguras air mata penonton. Ada yang namanya "Bedah Rumah", "Mikrofon Pelunas Utang", dan sebagainya.

Ketika menonton acara di atas biasanya kita tersadar untuk ingin mengulurkan bantuan bagi kaum duafa. Tapi tak lama setelah itu, karena berbagai alasan, kita sudah melupakan soal mau membantu itu.

Akhirnya masalah kesenjangan sosial terkesan sekadar asyik untuk ditonton saja. Anggaplah sebagai hiburan yang bersifat edukatif. Tapi belum cukup nendang buat melakukan aksi nyata dalam rangka ikut mencari solusi mengatasi kesenjangan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun