Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pencalonan Kepala Daerah Ditentukan Elite Partai di Tingkat Pusat, Demokratis atau Tidak?

17 Desember 2019   09:09 Diperbarui: 17 Desember 2019   09:33 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bobby (kiri) dan Gibran (kanan). Dok. Tempo.

Sebetulnya yang lebih tahu siapa yang cocok untuk memimpin sebuah daerah, apakah fungsionaris partai di daerah itu sendiri atau segelintir elite partai di tingkat pusat?

Semua partai, kecuali sejumlah partai lokal di Aceh, pasti punya struktur berjenjang dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di tingkat nasional, Dewan Pimpinan Darah (DPD) di tingkat provinsi, dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di tingkat kabupaten/kota.

Tahun depan akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) di banyak provinsi, kabupaten dan kota. Semua partai saat ini sedang mengambil ancang-ancang untuk menghadapinya dengan menyiapkan calon terbaik yang diyakini mampu memenangi pilkada.

Nah kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini, mengacu pada berita di harian Kompas (14/12/2019), sudah jelas jawabannya. Yang lebih tahu siapa calon pemimpin yang dibutuhkan di suatu daerah, tentu orang di daerah itu sendiri.

Masalahnya adalah bukan pengurus partai di daerah yang berhak menentukan siapa calon kepala daerah yang akan diusungnya. Perannya hanya sebatas mengusulkan ke DPP partai masing-masing.

Soalnya, dalam hal ini pihak DPP yang berkuasa untuk menetapkan calon kepala daerah yang akan didaftarkan ke KPU setempat, bukan DPD atau DPC tempat pilkada itu akan berlangsung.

Semua partai yang dibahas Kompas seperti itu semua, bersifat sentralistik dan hak penetapan calon yang diusung lebih spesifik lagi ada di tangan ketua umum partai. Paling tidak hal ini berlaku di PDIP dan Partai Demokrat. 

Sedangkan PAN yang juga dimintakan keterangannya oleh Kompas, tidak secara eksplisit menyebut hak ketua umum, tapi tetap soal calon kepala daerah menjadi kewenangan DPP.

Namun PAN seperti yang dinyatakan oleh Sekjennya Eddy Soeparno, tetap mengaku bertindak demokratis. Alasannya karena diproses secara bottom-up, di mana penjaringan calon dilakukan oleh DPD, baru setelah itu diteruskan ke DPP.

PDIP malah dengan tegas menyebutkan istilah "demokratis terpimpin" untuk pola pengambilan keputusan yang sentralistik itu.  Kalau ada kader partai yang tidak setuju, DPP PDIP mempersilakannya untuk mencari partai lain saja, jangan maju dari PDIP.

Makanya terkait pencalonan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk maju menjadi calon Wali Kota Solo, peluangnya kembali bersinar.

Padahal di level DPC PDIP Solo, pintu sudah tertutup bagi Gibran. DPC sudah punya calon kuat yakni pasangan Achmad Purnomo yang sekarang adalah Wakil Wali Kota Solo dan Teguh Prakosa.

Pintu DPC tertutup, tidak membuat Gibran kehilangan akal. Ia mendatangi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan kemudian mendaftar sebagai bakal calon (balon) melalui DPD PDIP Jawa Tengah.

Justru DPC PDIP Solo yang hanya merekomendasikan satu pasangan calon, disalahkan oleh Wakil Sekjen DPP PDIP, Arif Wibowo. Ia mengatakan bahwa DPC PDIP Solo menyalahi aturan internal partai.

DPC Solo hanya mengajukan nama satu pasang calon. Padahal seharusnya minimal mengajukan dua pasang calon ke DPP, untuk nantinya diputuskan pasangan mana yang dipilih melalui rapat pleno DPP PDIP.

Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga merencanakan untuk bertarung memperebutkan kursi Wali Kota Medan. Namun berbeda dengan Gibran, Bobby memilih mendaftar sebagai balon melalui DPC Partai Golkar Kota Medan.

Presiden Jokowi sendiri dalam pernyataannya yang disiarkan oleh Kompas TV (12/12/2019) menolak jika disebut sedang berupaya membangun dinasti politik dengan keputusan Gibran dan Bobby untuk maju di pilkada.

"Ini kompetisi, bukan penunjukan. Beda. Tolong dibedakan," kata Jokowi. "Belum tentu rakyat Solo dan Medan memilih Gibran dan Bobby. Bisa menang bisa kalah," tambah Jokowi.

Baik, terlepas dari soal Gibran dan Bobby, kita kembali ke pokok persoalan, tentang demikian dominannya peran elite partai dalam menentukan calon yang akan diusung pada pilkada.  Mari kita cermati, apakah ini cara yang demokratis atau tidak.

Pihak DPP partai sah-sah saja menyebutkan hal tersebut sebagai demokratis. Tapi para pengamat menilai sebaliknya. Contohnya apa yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana.

Menurut Aditya pola yang elitis dan sentralistik tersebut menggambarkan buruknya proses demokrasi di internal partai.

Akibatnya saluran aspirasi di tingkat akar rumput akan tergantung pada kepentingan dan kedekatan pada elite. Calon potensial yang tidak dekat dengan elite di pusat akan tersisih.

Sedangkan calon yang dipilih pusat, jika hanya sekadar dekat dengan elite, akan memunculkan masalah baru. Calon ini dipertanyakan kedekatannya dengan publik di daerah tempat ia dicalonkan dan tidak memahami kebutuhan riil rakyat.

Mumpung masih ada waktu, akan lebih baik bila para pengurus DPP partai manapun mau menerima masukan dari para pengamat, kalau memang punya komitmen untuk meningkatkan kualitas demokrasi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun