Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pencalonan Kepala Daerah Ditentukan Elite Partai di Tingkat Pusat, Demokratis atau Tidak?

17 Desember 2019   09:09 Diperbarui: 17 Desember 2019   09:33 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bobby (kiri) dan Gibran (kanan). Dok. Tempo.

Padahal di level DPC PDIP Solo, pintu sudah tertutup bagi Gibran. DPC sudah punya calon kuat yakni pasangan Achmad Purnomo yang sekarang adalah Wakil Wali Kota Solo dan Teguh Prakosa.

Pintu DPC tertutup, tidak membuat Gibran kehilangan akal. Ia mendatangi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan kemudian mendaftar sebagai bakal calon (balon) melalui DPD PDIP Jawa Tengah.

Justru DPC PDIP Solo yang hanya merekomendasikan satu pasangan calon, disalahkan oleh Wakil Sekjen DPP PDIP, Arif Wibowo. Ia mengatakan bahwa DPC PDIP Solo menyalahi aturan internal partai.

DPC Solo hanya mengajukan nama satu pasang calon. Padahal seharusnya minimal mengajukan dua pasang calon ke DPP, untuk nantinya diputuskan pasangan mana yang dipilih melalui rapat pleno DPP PDIP.

Selain Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga merencanakan untuk bertarung memperebutkan kursi Wali Kota Medan. Namun berbeda dengan Gibran, Bobby memilih mendaftar sebagai balon melalui DPC Partai Golkar Kota Medan.

Presiden Jokowi sendiri dalam pernyataannya yang disiarkan oleh Kompas TV (12/12/2019) menolak jika disebut sedang berupaya membangun dinasti politik dengan keputusan Gibran dan Bobby untuk maju di pilkada.

"Ini kompetisi, bukan penunjukan. Beda. Tolong dibedakan," kata Jokowi. "Belum tentu rakyat Solo dan Medan memilih Gibran dan Bobby. Bisa menang bisa kalah," tambah Jokowi.

Baik, terlepas dari soal Gibran dan Bobby, kita kembali ke pokok persoalan, tentang demikian dominannya peran elite partai dalam menentukan calon yang akan diusung pada pilkada.  Mari kita cermati, apakah ini cara yang demokratis atau tidak.

Pihak DPP partai sah-sah saja menyebutkan hal tersebut sebagai demokratis. Tapi para pengamat menilai sebaliknya. Contohnya apa yang dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana.

Menurut Aditya pola yang elitis dan sentralistik tersebut menggambarkan buruknya proses demokrasi di internal partai.

Akibatnya saluran aspirasi di tingkat akar rumput akan tergantung pada kepentingan dan kedekatan pada elite. Calon potensial yang tidak dekat dengan elite di pusat akan tersisih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun