Saya pernah menulis di sini betapa sepinya penumpang kereta api dari atau ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Padahal tampilan keretanya sungguh menawan. Saya telah membuktikan sendiri kenyamanannya.
Kali ini saya mendapati suasana yang berbeda ketika Jumat (5/7/2019) lalu, saya terbang dari Jakarta ke Padang untuk keperluan acara keluarga. Saya merasa beruntung karena berkesempatan menjajal kereta api di bandara Padang.
Mungkin sekitar setengah abad yang lalu saya terakhir kali menikmati naik kereta api di kampung sendiri yakni dari Payakumbuh ke Bukittinggi. Rasanya waktu itu saya baru masuk SD, ketika ayah mengajak semua anggota keluarga ke kebon binatang di Bukittinggi.
Tapi jangan bayangkan naik kereta api tempo doeloe yang asapnya mengepul hitam hasil pembakaran batu bara, senyaman kereta api zaman sekarang. Tempat duduknya berupa kayu panjang, bikin pantat pegal.
Dan yang jadi masalah adalah waktu tempuh yang lama sekali. Jarak 33 Km dari Payakumbuh ke Bukittinggi makan waktu sekitar 3 jam. Tak heran karena setelah itu mulai beroperasi mobil colt berisi 10 penumpang dengan waktu tempuh sekitar 45 menit, akhirnya kereta api tersebut tidak beroperasi lagi karena kalah bersaing.
Maka jejak sejarah bahwa di era kolonial dulu sampai di awal era Orde Baru di Payakumbuh dan Bukittinggi pernah punya sarana transportasi kereta api, praktis sudah sulit dilacak.
Untungnya sejak beberapa tahun terakhir ini, perkeretaapian di Sumbar bangkit lagi dengan dibukanya kembali jalur dari Padang ke Pariaman dan sebaliknya.
Tapi yang betul-betul jalur baru adalah dengan beroperasinya kereta api dari Stasiun Simpang Haru di pusat kota Padang ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM) yang berjarak 22 Km dan sebaliknya.
Saya terkesan bahwa ternyata tidak seperti di bandara Soetta, di BIM peminat kereta api lumayan banyak. Yang saya lihat sendiri memang tidak penuh, sekitar setengah dari kapasitas yang terisi
Tapi hal itu sangat lumayan ketimbang di bandara Soetta yang amat sepi dengan hanya segelintir penumpang. Dugaan saya, unsur tarif menjadi daya tarik. Karena jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta api di BIM sekitar 2 jam sekali, sebetulnya kurang menarik. Tapi memang frekuensi peberbangan di BIM jauh lebih sedikit ketimbang di Soetta.
Berjarak 22 km dari pusat kota Padang, tarif kereta bandara BIM yang hanya Rp 10.000 ini tentu tergolong super murah. Satu keluarga dengan 5 orang masih untung naik kereta ketimbang taksi. Dan memang kereta BIM banyak diisi rombongan keluarga.
Secara matematis, bila tarif BIM jadi acuan, harusnya di Soetta bertarif Rp 20.000. Tapi andaipun Rp 30.000 menurut saya peminatnya akan melimpah.Â
Toh, bila penurunan tarif diimbangi dengan kenaikan jumlah penumpang, kondisinya akan lebih menguntungan bagi pihak pengelola kereta api bandara Soetta. Soalnya, mau penuh atau kosong, kereta akan tetap beroperasi sesuai jadwal, sehingga biayanya sudah pasti.
Tentang perjalanan saya dengan kereta api di BIM, keberangkatan dan kedatangannya sesuai jadwal, dengan waktu tempuh 45 menit. Kereta api berhenti di Stasiun Duku, Tabing, Air Tawar, Alai, baru sampai di tujuan akhir, Stasiun Simpang Haru.Â
Ternyata kawasan kumuh yang ada di pinggir rel kereta api, tidak hanya ditemukan di ibu kota. Di Padang pun begitu hampir mendekati pusat kota, saya melihat rumah dan warung liar di pinggir rel.
Namun bagi yang jarang ke Padang, tentu pemandangan berbagai kantor yang bagian atap gedungnya bagonjong khas rumah adat Minang, menarik dilihat dari balik jendela kereta api.
Menurut saya, kereta api di BIM menjadi pilihan yang tepat bagi penumpang yang mendarat mendekati jadwal keberangkatan kereta. Pilihan lain adalah bus Damri, travel, dan taksi.