Tapi hal itu sangat lumayan ketimbang di bandara Soetta yang amat sepi dengan hanya segelintir penumpang. Dugaan saya, unsur tarif menjadi daya tarik. Karena jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta api di BIM sekitar 2 jam sekali, sebetulnya kurang menarik. Tapi memang frekuensi peberbangan di BIM jauh lebih sedikit ketimbang di Soetta.
Berjarak 22 km dari pusat kota Padang, tarif kereta bandara BIM yang hanya Rp 10.000 ini tentu tergolong super murah. Satu keluarga dengan 5 orang masih untung naik kereta ketimbang taksi. Dan memang kereta BIM banyak diisi rombongan keluarga.
Secara matematis, bila tarif BIM jadi acuan, harusnya di Soetta bertarif Rp 20.000. Tapi andaipun Rp 30.000 menurut saya peminatnya akan melimpah.Â
Toh, bila penurunan tarif diimbangi dengan kenaikan jumlah penumpang, kondisinya akan lebih menguntungan bagi pihak pengelola kereta api bandara Soetta. Soalnya, mau penuh atau kosong, kereta akan tetap beroperasi sesuai jadwal, sehingga biayanya sudah pasti.
Tentang perjalanan saya dengan kereta api di BIM, keberangkatan dan kedatangannya sesuai jadwal, dengan waktu tempuh 45 menit. Kereta api berhenti di Stasiun Duku, Tabing, Air Tawar, Alai, baru sampai di tujuan akhir, Stasiun Simpang Haru.Â
Ternyata kawasan kumuh yang ada di pinggir rel kereta api, tidak hanya ditemukan di ibu kota. Di Padang pun begitu hampir mendekati pusat kota, saya melihat rumah dan warung liar di pinggir rel.
Namun bagi yang jarang ke Padang, tentu pemandangan berbagai kantor yang bagian atap gedungnya bagonjong khas rumah adat Minang, menarik dilihat dari balik jendela kereta api.
Menurut saya, kereta api di BIM menjadi pilihan yang tepat bagi penumpang yang mendarat mendekati jadwal keberangkatan kereta. Pilihan lain adalah bus Damri, travel, dan taksi.