"Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212", itulah judul lengkap dari sebuah  film nasional yang lagi ramai ditonton saat ini. Untuk lebih praktis, judulnya disingkat menjadi "Wiro Sableng" saja.Â
Film ini sudah demikian banyak dibahas di berbagai media, termasuk juga di Kompasiana. Itu karena Wiro Sableng memang berbeda dari kebanyakan film nasional. Paling tidak, keberhasilannya menggaet perusahaan film terkemuka Hollywood, 20th Century Fox, untuk bekerja sama hingga tahap pasca produksi, telah menjadi jaminan, bahwa ini adalah film Indonesia yang bersatandar dunia, dan akan diputar di banyak negara.
Jadi, soal kemegahannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Demikian pula perpaduan antara gerakan silat nusantara yang dahsyat (ditata oleh pesilat yang sekaligus aktor di film ini, Yayan Ruhiyan) dengan trik kamera yang canggih karena dibantu oleh pihak Hollywood itu tadi, sudah sangat apik, dan tidak usah dikupas lagi.
Namun, ada sisi lain yang mungkin belum banyak ditulis. Pertama, Wiro Sableng yang diperankan dengan baik oleh Vino G. Bastian, yang nota bene adalah anak dari almarhum Bastian Tito (1945-2006) yang menciptakan sosok Wiro Sableng lewat novel berseri berjumlah 185 buku yang ditulis selama 39 tahu sejak tahun 1967, digambarkan bukan seperti pendekar sakti, tapi pendekar yang manusiawi.
Maksudnya, Wiro Sableng sepanjang film tidak hanya penuh dengan adegan perkelahian yang selalu dimenangkannya, karena pernah juga Wiro kalah dari lawannya. Karakter Wiro tergambar amat manusiawi yang bisa amat lahap makan di warung ketika mendapat rezeki nomplok berupa ayam goreng.Â
Ia juga beberapa kali bertingkah konyol yang membuat penonton tertawa. Wiro juga pemuda biasa yang bisa gugup saat terpikat oleh wanita cantik, Raramurni (diperankan oleh mantan atlet taekwondo, Aghniny Haque). Raramurni ini ceritanya adalah bibi yang menjaga seorang pangeran dalam bertualang.
Kedua, sutradara Angga Dwimas Sasongko dengan dibantu oleh desainer produksi Adrianto Sinaga, berhasil memvisualkan Nusantara abad ke -16 yang melatari kisah Wiro Sableng. Setting istana raja yang dikelilingi bata merah, pasar zaman dulu yang sangat bersahaja, warung makan dengan segala peralatan makan kuno, tergambar dengan relatif akurat sampai ke hal-hal kecil.
Kostum para pemain, tidak saja pemain utama, tapi juga para figuran, juga terlihat seperti buatan tangan dengan kain yang teksturnya kelihatan. Demikian pula ratusan senjata yang tergambar dalam film, berhasil meyakinkan penonton bahwa itu memang senjata yang terdapat di nusantara pada abad ke 16.
Wiro Sableng semakin menegaskan bahwa Indonesia punya potensi besar dalam mengembangkan produksi film yang mampu menembus pasar internasional.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI