Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jelang Akhir Tahun Anggaran, Jangan Biarkan "Rombongan Sirkus" Beraksi

14 November 2017   10:23 Diperbarui: 14 November 2017   18:33 2909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. tripadvisor.com.au

Tiba-tiba saja dari sebuah grup media sosial yang saya ikuti, muncul foto dari surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Kabinet, Pramono Anung. Surat tersebut ditujukan kepada para Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian. 

Setelah saya baca, terlepas dari soal asli atau tidaknya surat tersebut, dari sisi substansi sebetulnya sangat dibutuhkan sebagai peringatan bagi para pejabat dan juga jajaran di bawahnya, terutama di bulan November dan Desember ini yang merupakan penghujung tahun anggaran. Itu yang membuat saya tergerak utuk menulis artikel ini. Lagi pula surat itu berkode B (biasa), bukan R (rahasia).

Memang apa saja isinya? Ada lima butir arahan  dari Presiden kepada menteri atau pejabat tersebut di atas, tapi ada dua hal yang saya kutip di sini karena relevansinya dengan judul tulisan saya. Pertama, menteri atau pejabat harus selektif dalam melakukan kunjungan kerja atau perjalanan dinas ke luar negeri dan fokus pada hal-hal yang penting, tidak membeli barang-barang mewah di negara yang dikunjungi, dan jangan terlalu banyak membawa rombongan. Kedua, menteri atau pejabat yang melakukan kunjungan kerja atau perjalanan dinas ke daerah tidak perlu disambut secara berlebihan yang dapat membebani pejabat di daerah yang dikunjungi.

Setelah saya teliti lagi ternyata surat itu tertanggal 29 November 2016, sudah hampir setahun yang lalu. Tapi menurut saya isi surat tersebut masih aktual untuk kondisi saat ini. Saya memang tidak akan menulis secara spesifik tentang perjalanan dinas para menteri atau pejabat di bawahnya, karena tidak punya data dan juga tidak mengamati.  Namun tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Maksudnya, surat di atas dikeluarkan bisa jadi karena sebelumnya ada kekeliruan dalam perjalanan dinas pejabat. Meski bisa juga tidak ada kesalahan sebelumnya, dan surat diterbitkan sebagai upaya pencegahan saja.

Bahkan, isi surat di atas sangat bermanfaat tidak saja bagi aparat pemerintah sebagai lembaga eksekutif, tapi juga bagi anggota lembaga legislatif dan yudikatif. Soalnya, isu mengenai perjalanan dinas pejabat boleh dibilang terjadi di semua bidang, dan sudah menular pula ke pejabat di daerah.

Saya ingin membawa isi surat tersebut kepada kondisi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Asumsi saya para menteri yang menerima surat dimaksud tentu meneruskan ke pejabat di bawahnya, dan para pejabat di semua BUMN mendapatkannya dari Menteri BUMN. Kenapa? Karena seperti yang saya tulis di atas, isu ini terjadi di semua bidang, sehingga juga jamak dilakukan oleh pejabat perusahaan milik negara.

Memang bila pejabat BUMN melakukan perjalanan, tidaklah membebani anggaran negara, tapi menjadi beban perusahaan yang dipimpinnya alias dari kas perusahaan. Sama seperti pejabat negara yang rencana perjalanan dinasnya telah direncanakan saat menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maka hal itu di BUMN biasa disebut dengan RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan). 

Tapi perlu diingat, beban perusahaan tersebut pada akhirnya akan memangkas laba yang pada ujungnya memperkecil setoran ke kas negara berupa deviden. Deviden adalah bagian laba perusahaan yang didistribusikan kepada pemegang saham, dan bagi BUMN berarti disetorkan kepada negara, dan sebagian untuk publik (bagi BUMN yang sudah go public).

Ada istilah "rombongan sirkus" yang disematkan bagi pejabat dan rombongannya yang melakukan perjalanan. Saya tidak tahu pasti asal usul istilah ini. Tapi dugaan saya karena ada pejabat yang membawa rombongan dalam jumlah relatif besar, yang masing-masing membawa keluarganya pula. Hal itu dianggap mirip dengan rombongan pemain sirkus yang biasanya datang ke suatu kota secara full team, termasuk tukang pasang tenda dan penjual tiketnya.

Jelaslah, kalaupun ongkos tiket pesawat untuk anak-istri jadi beban pribadi, tetap saja "rombongan sirkus" menghabiskan anggaran yang relatif besar. Tentang penggunaan anggaran ini, ada kalanya muncul salah kaprah yang menganggap bila suatu program telah dianggarkan, maka harus "dihabiskan". Padahal harus dibedakan dulu, anggarannya apakah bersifat capital expenditure (sering disingkat capex) atau operational expenditure (disingkat opex).  

Capex adalah pengeluaran investasi seperti untuk membangun infrastruktur, membangun gedung kantor, gudang, dan sebagainya. Tingkat penyerapan capex yang rendah sering menjadi sasaran kritik dari pengamat, karena akan memperlambat pelayanan bagi masyarakat. Sering pula proses perizinan dan pemilihan kontraktor yang berbelit membuat capex baru bisa dikebut pada akhir tahun. Artinya, penyerapan capex yang tersendat bisa menjadi penghalang kemajuan. 

Sedangkan opex adalah pengeluaran biaya yang habis dikonsumsi, seperti pembayaran gaji pegawai, tagihan listrik, telepon, air dan utilities lainnya. Nah, biaya tiket pesawat untuk melakukan kunjungan dinas, jamuan makan, hotel, hiburan, dan yang sejenis dengan itu, termasuk bagian dari opex. Bila rencana yang telah dianggarkan bisa dihemat dalam pelaksanaanya atau dikurangi frekuensinya sepanjang hasil yang dituju tercapai, malah bagus bagi perusahaan. Itu yang disebut dengan efisien.

Sebuah BUMN pasti ditarget oleh pemerintah untuk bisa mencetak sejumlah laba. Masalahnya, bila target tersebut telah tercapai atau mendekati tercapai menjelang akhir tahun, sementara anggaran untuk ikut seminar, pelatihan, workshop, focus group discussion, atau apapun namanya, masih tersisa banyak, ada perasaan sayang bagi pejabat kalau gak kepake. Bisa-bisa jatah tahun depan dikurangi karena realisasi biaya tahun lalu tidak tercapai.

Ada lagi anggapan bahwa bila perusahaan teralalu berhemat, memang laba akan naik. Tapi laba yang besar akan menjadi bumerang untuk tahun berikutnya, karena pasti labanya akan ditarget jauh lebih besar lagi. Jadi, jangan heran kalau ada pemikiran untuk bermain aman saja. Bila target laba Rp 100, ya realisasinya cukup Rp 101 atau 102. Kalau Rp 120? Jangan dong, itu biar jatahnya tahun depan.

Dengan semua kesalah-kaprahan di atas, maka rombongan sirkus pun beraksi. Yang kelas ringan cukup ikut program di Bali atau Yogya. Kelas sedang ya ke Singapura, Hongkong atau Tokyo. Kelas berat beraksi di Eropa atau Amerika. Kelas ringan, sedang atau berat tentu tergantung pada tinggi rendahnya jabatan.

Saya teringat cerita teman-teman yang berkarir perusahaan swasta. Mereka terlihat iri kepada pejabat perusahaan BUMN. Katakanlah mereka bertemu di suatu workshop di Bali. Biasanya untuk topik tertentu yang diwajibkan pihak regulator seperti tentang manajemen risiko, hampir semua perusahaan besar mengirim wakil untuk hadir. Tapi wakil dari sebuah BUMN papan atas bisa belasan orang, sementara dari swasta papan atas, berkisar 1 sampai 3 orang saja.

Kenapa wakil perusahaan swasta merasa iri? Karena wakil dari BUMN barangkali bisa disebut sebagai rombongan sirkus. Mereka menginap di hotel bintang lima, ada mobil yang disiapkan oleh kantor cabang atau kantor wilayahnya di Bali untuk pejabat dan istri, ada juga yang bawa anak dan mantu. Si bapak work, anggota keluarga shop. Tapi si bapak juga gak konsentrasi, baru work setengah hari, sudah kabur untuk bergabung sama anak istri kelayapan di destinasi wisata nomor satu di tanah air itu.

Kenapa orang daerah begitu antusias melayani pejabat pusat? Karena bila dia mampu melayani, itu adalah "prestasi" yang bisa mendongkrak posisinya di masa depan. Makanya, yang ditempatkan sebagai kepala cabang atau kepala wilayah di Bali atau daerah lain tempat bos dari pusat sering main golf atau jalan-jalan bareng keluarga, seperti Batam dan Yogyakarta, harus punya kompetensi di bidang pelayanan yang tinggi. Yang di Batam, harus juga lihai dalam mengatur agenda ekstra ke Singapura.

Kalau isi surat seskab di atas dijadikan referensi, maka yang sudah betul dalam mempraktikkannya  justru dari perusahaan swasta. Ada petingginya yang datang, cukup dijemput oleh seorang sopir kantor cabang setempat untuk diantar ke hotel. Lalu setelah itu dilepas saja, karena menginap di hotel yang sama dengan tempat workshop.

Jadi, karena itu surat dikeluarkan tahun lalu, khawatir para pejabat kita lupa lagi, ada baiknya masyarakat ikut mewaspadai dan tidak membiarakan saja bila akhir tahun ini "rombongan sirkus" beraksi (lagi). Caranya? Bagi pejabat, baik di pusat maupun di daerah, bila akan melakukan kunjungan kerja, tahan sekuat-kuatnya keinginan untuk sekalian plesiran bersama keluarga. Bagi perwakilan di daerah atau  di luar negeri yang menyambut kunjungan kerja para pejabat, layani sepatutnya dan membantu sepanjang ada kaitan dengan kedinasan. 

Bagi masyarakat? Wah sebetulnya di era milenial ini amat gampang untuk turut berpartisipasi. Cukup dengan mem-posting di media sosial bila menemukan aksi "rombongan sirkus".  Begitu menjadi trending topic, tak pelak lagi isunya sudah mengemuka secara nasional, bahkan internasioal. Bukankah itu merupakan hukuman sosial yang ampuh bagi para penghambur anggaran negara? Di samping itu, nantinya masyarakat perlu "mengawal" apakah terhadap sang oknum akan diproses untuk dijatuhi sanksi atau hukuman secara kedinasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun