Pengaruh kelerengan terhadap longsor ini juga dinyatakan oleh Prof. Chairil Anwar Siregar. "Longsor terkait dengan kemiringan lereng (slope), dan ini hal yang paling kritis, karena pada malam hari  temperature turun, molekul air membesar, partikel tanah terangkat, dan saat siang hari temperatur tanah kembali normal, dan terjadi perpindahan partikel tanah (soil creep). Jika hal ini terjadi di tanah datar, maka akan kembali ke tempat semula, tapi jika di tanah miring, dengan dukungan gravitasi, maka tanah akan meluncur. Sepanjang permukaan tanah bervegetasi bagus, perakarannya bagus, infiltrasi akan aliran bagus, namun jika di daerah miring, air limpasan (run off) yang terjadi akan cepat sekali. Diperlukan tindakan untuk memperlambat run off, dengan memperkecil daya abrasi", ujarnya.
la juga berpendapat, kombinasi penerapan bangunan konservasi tanah dan air (KTA) dan teknik revegetasi sudah merupakan langkah yang tepat sebagai upaya pencegahan longsor. "Jika memungkinkan, hindari pemukiman dan pengolahan tanah intensif untuk daerah yang memiliki kelerengan curam", tambah peneliti yang biasa disapa dengan nama Prof. CAS ini.
Sementara itu, Kepala Puslitbang hutan BLI KLHK, Kirsfianti L. Ginoga juga berharap, upaya preventif seperti pembangunan bangunan KTA, penanaman vetiver dan bidara laut dapat segera ditindaklanjuti dalam bentuk kolaborasi antar pihak-pihak terkait, untuk mendukung percepatan realisasi di lapangan, khususnya untuk daerah-daerah rawan longsor.