Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Opini : Harga Keadilan, Ketika Koruptor Bermain dengan Hukum

11 Maret 2025   09:16 Diperbarui: 11 Maret 2025   09:16 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Opini : Harga Keadilan, Ketika Koruptor Bermain dengan Hukum

Kisah ini bermula dari seorang mafia yang divonis hukuman mati. Tanpa rasa takut, ia justru lantang berteriak kepada media. Siapapun yang bisa membebaskannya akan diberi imbalan sebesar 100 juta dolar. Begitulah cara kerja para koruptor di negeri kita, Indonesia. Mereka menganggap hukum hanyalah permainan yang bisa dibeli.  

Berita itu langsung menimbulkan kegemparan. Geng-geng setempat, orang dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan narapidana lain di penjara, semuanya terpancing iming-iming uang. Bukankah ini mirip dengan dinamika politik di Indonesia? Para koruptor dengan kekayaan miliaran rupiah mampu membuat sistem bergerak sesuai keinginan mereka.  

Saat mafia dimasukkan ke dalam mobil tahanan untuk dibawa ke penjara federal, terjadi hal yang tak terduga. Mobil polisi pengawal di belakang menghentikan mobil tahanan di tengah jalan. Dua polisi keluar dan bergerak mendekati tahanan. Di Indonesia, bukankah kita sering melihat kasus serupa? Aparat yang seharusnya menjadi benteng hukum justru menjadi pelindung para koruptor.  

Yang pertama bertindak adalah polisi pengawal tahanan. Ia mengambil kunci dan membebaskan sang mafia. Ini mengingatkan kita pada kasus-kasus korupsi besar di Indonesia. Para tersangka korupsi sering kali mendapat "perlakuan istimewa" dari aparat penegak hukum. Bahkan saat dalam tahanan, fasilitas mewah bisa dinikmati asalkan dana mengalir.  

Tepat saat mereka hendak melarikan diri, polisi SWAT yang kebetulan lewat melihat aksi tersebut. Polisi itu mengeluarkan senapan dan menembak, namun malah ditembak mati oleh polisi korup. Inilah potret sistem penegakan hukum yang rusak. Mereka yang berusaha jujur justru menjadi korban sistem.  

Melihat rencana terbongkar, polisi lainnya langsung melindungi sang mafia. Ia membantunya masuk ke dalam mobil untuk melarikan diri. Di Indonesia, sering kita saksikan bagaimana jaringan korupsi melibatkan banyak pihak. Saat satu pintu ditutup, pintu lainnya dibuka lebar-lebar oleh mereka yang diuntungkan.  

Belum sempat melarikan diri, anggota SWAT melancarkan serangan balik. Mereka menembak polisi korup itu di tempat. Meski demikian, mafia tetap berhasil melarikan diri dengan mobil polisi. Seperti halnya koruptor di Indonesia, mereka selalu punya rencana cadangan. Ketika satu jalur ditutup, jalur lain sudah disiapkan.  

Mafia mengemudikan mobil polisi dengan gegabah. Ia tetap gagal lolos dari kepungan polisi. Menyadari keseriusan masalah ini, pihak yang membantu sang mafia mengubah rencana. Mereka memutuskan menggunakan helikopter untuk mengevakuasinya dari udara. Para koruptor kelas kakap di Indonesia juga kerap memanfaatkan segala sumber daya untuk menghindari hukum.  

Meski menggunakan helikopter, mereka tetap menjadi sasaran pihak yang ingin menangkapnya. Helikopter tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Tembakan lain dilepaskan, mesin helikopter rusak dan langsung jatuh. Ini seperti upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Setiap kemajuan selalu dihadang oleh kekuatan besar yang tersembunyi.  

Sang mafia tersenyum menghina. "Inilah kekuatan uang," ucapnya. Persis seperti sikap para koruptor Indonesia yang merasa kebal hukum. Mereka yakin uang bisa membeli segalanya, termasuk keadilan dan penegak hukum.  

Polisi yang sempat mengalami kemunduran dengan cepat menyusun kembali rencana. Tak lama kemudian, seluruh petugas polisi keluar dengan kekuatan penuh. Konvoi sepanjang puluhan meter bergerak di bawah perlindungan helikopter bersenjata, hanya untuk mengangkut sang mafia. Di Indonesia, operasi penangkapan koruptor kelas atas juga sering dibuat sedemikian rupa, seolah menunjukkan keseriusan pemerintah.  

Tak lama setelah konvoi berangkat, seorang pria tua menyeberang jalan. Ia menghalangi jalan polisi. Petugas lalu lintas dengan keras mendesak pria itu untuk pergi. Tapi ternyata itu pemberontakan. Mereka ditembaki oleh pria tua tersebut. Mirip dengan bagaimana koruptor di Indonesia merekrut orang-orang tak terduga untuk menjadi bagian dari jaringan mereka.  

Sebuah truk tiba-tiba melaju kencang, mengejutkan polisi. Anggota geng yang tidak terhitung jumlahnya melompat dari mobil. Mereka melancarkan serangan brutal terhadap polisi, dengan bantuan bom asap yang dilemparkan dari lantai atas. Inilah gambaran betapa kuatnya jaringan korupsi di Indonesia. Mereka memiliki tentara bayaran yang siap berkorban demi uang.  

Demi hadiah jutaan dolar, para penjahat itu menjadi gila. Mereka bahkan mengirim bazooka. Setelah baku tembak yang mengerikan, gangster itu akhirnya mendekati mobil tahanan. Namun saat membuka pintu mobil, mereka hanya menemukan boneka di dalamnya. Seperti halnya pemberantasan korupsi di Indonesia, sering kali yang tertangkap hanyalah "boneka" kecil, sementara aktor utamanya tetap bebas berkeliaran.  

Ternyata itu adalah strategi polisi untuk memancing para gangster agar menjauh. Mafia yang sebenarnya dikawal oleh tim SWAT melalui terowongan bawah tanah. Mereka masuk ke dalam mobil yang telah disiapkan dan melanjutkan perjalanan ke penjara federal. Begitu pula di Indonesia, operasi pemberantasan korupsi yang serius selalu dilakukan dengan strategi cermat, jauh dari sorotan kamera.  

Tak disangka, sang mafia itu pun tak menyerah. Ia kembali membuat onar dengan menanyakan berapa gaji polisi khusus itu. Kemudian ia menggandakan hadiahnya menjadi 200 juta dolar. Bukankah ini mirip dengan koruptor Indonesia yang terus mencoba membeli sistem, bahkan saat sudah terpojok?  

Ketika polisi di dalam mobil itu masing-masing diberi tawaran uang sebesar 66 juta dolar, salah satu polisi mencibir. Ia hendak membalas ketika rekan setimnya yang sedang mengemudi tiba-tiba menghentikan mobil. Rekannya mengarahkan pistol ke arahnya. Inilah potret pengkhianatan yang sering terjadi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika satu pihak tetap teguh pada kebenaran, pihak lainnya justru tergoda oleh iming-iming kekayaan.  

Kisah ini menggambarkan betapa sulitnya memberantas korupsi di Indonesia. Para koruptor memiliki sumber daya tak terbatas untuk membeli loyalitas. Mereka memiliki jaringan yang luas dan kuat. Bahkan saat terdesak, mereka masih punya cara untuk lolos dari jerat hukum.  

Pemberantasan korupsi di Indonesia ibarat permainan kucing-kucingan. Ketika aparat penegak hukum berhasil maju selangkah, para koruptor sudah menyiapkan dua langkah ke depan. Uang menjadi senjata utama mereka untuk membelokkan arah keadilan.  

Tantangan terbesar dalam memberantas korupsi di Indonesia adalah memutus mata rantai. Selama masih ada aparat yang bisa dibeli, selama masyarakat masih menganggap korupsi sebagai hal lumrah, dan selama sistem pengawasan masih lemah, para koruptor akan terus merasa berada di atas hukum.  

Indonesia membutuhkan perubahan mendasar dalam memandang korupsi. Kita perlu membangun integritas di semua lini, mulai dari penegak hukum hingga masyarakat umum. Hanya dengan cara itulah kita bisa memutus lingkaran setan korupsi yang telah menggerogoti negeri ini selama bertahun-tahun.  

Sebagaimana sang mafia dalam kisah ini, para koruptor di Indonesia akan terus mencoba membeli keadilan. Namun, sebagaimana pula ada polisi yang tetap teguh pada kebenaran, kita percaya masih ada harapan untuk Indonesia. Masih ada pihak-pihak yang tetap menjunjung tinggi integritas di tengah gelimang godaan harta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun