Mohon tunggu...
Irwan Sabaloku
Irwan Sabaloku Mohon Tunggu... Penulis

"Menulis hari ini, untuk mereka yang datang esok hari"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Beranda Berdarah: Ketika Facebook Menjadi Arena Pertaruhan Kemanusiaan

26 Februari 2025   10:09 Diperbarui: 26 Februari 2025   10:09 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, saat membuka Facebook, kita disambut dengan potret kehangatan keluarga, gelak tawa sahabat, atau mungkin sekadar curhatan ringan tentang hujan yang tak kunjung reda. Kini, beranda itu telah berubah. Menjadi panggung bagi mereka yang rela melakukan apa saja, benar-benar apa saja demi secuil perhatian digital yang mereka sebut "FYP" (For Your Page).

Beranda Facebook kita telah berubah menjadi medan perang yang tak lagi mengenal batas kemanusiaan. Di satu sudut, seseorang merekam dirinya melakukan aksi berbahaya yang mengancam nyawa. Di sudut lain, konten vulgar yang melecehkan martabat diri sendiri dipamerkan tanpa rasa malu. Semua ini terjadi di bawah satu payung motivasi "viralitas".

Ketika scrolling, kamu mungkin pernah tersentak melihat konten yang menunjukkan seseorang melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri, mungkin memakan benda berbahaya, melakukan akrobatik tanpa pengaman di ketinggian, atau bahkan sengaja melukai tubuhnya. Ini bukan lagi tentang "challenge" yang menghibur, tapi tentang eksploitasi diri yang mengkhawatirkan. Mereka rela mengorbankan keselamatan demi algoritma yang tidak akan pernah peduli pada nasib mereka.

Fenomena telanjang atau setengah telanjang di Facebook bukanlah hal baru, tapi intensitasnya meningkat drastis sejak obsesi FYP merebak. Tubuh manusia, yang seharusnya dihormati dan dilindungi, kini menjadi komoditas murahan untuk ditukar dengan likes dan shares. Ada batas tipis antara kebebasan berekspresi dan eksploitasi diri, dan banyak yang telah jauh melintasi batas itu tanpa menyadari konsekuensi jangka panjangnya.

Aksi tidak manusiawi juga semakin marak. Dari bullying yang direkam dan dibagikan sebagai lelucon, pelecehan terhadap orang-orang rentan, hingga penganiayaan hewan yang disajikan sebagai konten "menghibur". Facebook seolah menjadi tempat di mana empati dan nurani dititipkan di pintu masuk, digantikan oleh kebutuhan obsesif akan validasi virtual.

Yang lebih mengkhawatirkan, aksi-aksi berbahaya ini sering kali mendapatkan apa yang mereka inginkan yakni viralitas. Algoritma, yang dirancang untuk memaksimalkan engagement, cenderung mempromosikan konten yang memicu reaksi kuat, terlepas dari apakah reaksi itu positif atau negatif. Kemarahan, keterkejutan, dan ketidaknyamanan menghasilkan komentar dan shares yang sama banyaknya dengan kekaguman, mungkin bahkan lebih.

Sementara Facebook memiliki kebijakan dan mekanisme pelaporan, kecepatan penyebaran konten seringkali mengalahkan kecepatan moderasi. Sebelum konten bermasalah ditindak, ribuan atau bahkan jutaan orang telah menyaksikannya, termasuk anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap pembentukan identitas dan nilai moral.

Dampak sosial dari fenomena ini sangatlah nyata. "FYP culture" menciptakan standar baru bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa ekstrem, kontroversial, atau mengejutkan konten yang mereka hasilkan. Kualitas digantikan oleh spektakuler, substansi dikalahkan oleh sensasi. Bagi generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem ini, distorsi nilai menjadi ancaman serius.

Pada level individual, pengejar FYP sering kali mengalami tekanan psikologis yang tidak terlihat. Ketika identitas diri melebur dengan persona online dan validasi diperoleh melalui metrik digital, ketergantungan terhadap pengakuan eksternal semakin menguat. Siklus kompetisi tanpa akhir untuk mendapatkan perhatian menciptakan lingkaran setan di mana batasan terus didorong, risiko terus ditingkatkan.

Yang sering terlupakan adalah dampak pada penonton pasif. Paparan terus-menerus terhadap konten ekstrem secara perlahan menormalkan perilaku yang seharusnya dianggap tidak pantas atau berbahaya. Desensitisasi ini meresap ke dalam kesadaran kolektif, menggeser standar tentang apa yang dapat diterima dalam masyarakat.

Facebook Pro, yang seharusnya menjadi indikator profesionalisme, malah sering kali menjadi legitimasi bagi konten-konten problematik. Label "pro" disalahartikan sebagai lisensi untuk melakukan apa saja demi engagement, bukan sebagai tanggung jawab untuk menghasilkan konten berkualitas dan bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun