Mohon tunggu...
Good Words
Good Words Mohon Tunggu... Penulis - Put Right Man on the Right Place

Pemerhati Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Awalnya Tim Anti-PNS Garis Keras, Akhirnya Jadi PNS, Apa yang Terjadi?

20 September 2021   12:02 Diperbarui: 20 September 2021   12:10 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: republika.co.id

Tak seorang pun tahu apa yang berubah di masa depan. Sepertinya ungkapan "jangan terlalu membenci karena bisa jadi cinta", cocok menggambarkan situasi ini.

Banyak kaum idealis yang sekuat tenaga mempertahankan idealisme mereka sendiri, pada akhirnya harus tunduk dan bertekuk lutut dengan belenggu yang mereka buat sendiri.

Saya menjadi saksi betapa banyak teman-teman yang seakan mencemooh kehidupan PNS, namun pada akhirnya mereka yang anti-PNS (tidak ingin menjadi PNS) ikut terseret derasnya aliran pendaftaran CPNS tahun ini. Apa yang membuat mereka tiba-tiba melunak dan tergoda untuk menjadi PNS?

1. Meneruskan Cita-Cita Orang Tua

Mungkin ada sebagian orang tua yang menginginkan anaknya mengikuti jejak mereka menjadi PNS. Orang tuanya hakim, anaknya juga hakim. Orang tuanya dokter, anaknya juga dokter. Orang tuanya PNS, anaknya juga PNS. Atau bahkan banyak orang tua yang bukan PNS ingin melihat anaknya menjadi PNS. Bahkan ada orang tua seakan memohon untuk anaknya menjadi PNS, walaupun untuk jangka waktu yang pendek kemudian pensiun dini, yang jelas ingin anaknya jadi PNS. Melihat besarnya keinginan orang tua, terkadang sanga anak mengalah dan mengorbankan idealismnya dan kemudian ikut tes CPNS.

2. Ingin Dekat Orang Tua di Kampung

Ada juga yang berniat mulia ingin merawat orang tua di kampung, padahal di Jakarta ia sudah memiliki karir yang mapan. Tak tega membiarkan orang tuanya seorang diri, mereka rela meninggalkan gemerlapnya ibukota untuk kembali ke kampung lewat jalur tes CPNS.

3. Tergoda "Comfort Zone"-nya PNS

Namanya juga godaan, yang awalnya sama sekali tidak ingin menjadi PNS tiba-tiba ikut tes CPNS juga. Melihat nyamannya hidup beberapa golongan PNS membuat dia tergoda untuk menikmati kehidupan PNS, bahkan ia rela ditugaskan ke ujung Indonesia meninggalkan keluarga.

4. Terjebak Dengan Kata "Iseng" atau "Coba-Coba"

Banyak sekali yang hanya ingin mencoba dan menguji diri 'seberapa' pintar saya untuk bisa lolos tes CPNS?. Tak disangka jalan "coba-coba" malah menjadi takdir menjadi PNS. Cocok dengan ungkapan "Makanya jangan coba-coba, sekali coba bisa langsung jatuh hati" dan masih banyak lagi cerita paradoks menjadi PNS.

Namun, apapun pilihan seseorang tak perlu mencemooh dan meremehkan apalagi menghina. Kita tak cukup berhak mencampuri jalan hidup seseorang terlebih mereka punya alasan kuat tersendiri yang membuat mereka bersedia menjadi PNS. Banyak yang mereka korban untuk menjadi seorang PNS, tugas kita hanya mendukung PNS untuk bekerja dengan baik dan berkontribusi besar untuk negara ini.

Melihat pengorbanan untuk menjadi PNS saat ini sangatlah besar, maka tidak adil jika "bolos" menjadi satu-satunya penentu pemecatan PNS. Sistem pengawasan keterlacakan keberadaan PNS perlu ditingkatkan dan diperketat. Menurut saya sanksi sosial jauh lebih besar dampaknya dalam memberikan efek jera pada PNS yang nakal, misalnya mempublikasikan nama dan media sosial pada portal pengawasan PNS, sehingga masyarakat juga bisa memantau kinerja PNS.

Untuk memecat seorang PNS harus menimbang semua aspek kerugian yang ditimbulkan, tidak memakai prinsip "asal pecat" seakan kita tidak memiliki sistem manajemen risiko pelanggaran PNS yang kuat. Pasalnya tidak sedikit dana yang dikucurkan untuk penyelenggaraan rekrutmen PNS. Masih banyak jenis hukuman yang bisa diterapkan untuk efek jera daripada hanya sekedar ancaman pemecatan PNS.

Hal tersebut jauh lebih masuk akal dibandingkan pemecatan sepihak dengan kesalahan yang tergolong kecil atau sedang. Artinya, pemerintah harus lebih bijaksana dalam mengelola sumber daya yang ada. Kita tidak ingin Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya gertakan saja untuk mencitrakan ketegasan di lingkup pemerintah. 

Aturan tersebut menyebutkan PNS akan dipecat jika bolos selama 10 hari  berturut-turut. Bagaimana jika mereka memasang strategi untuk bolos sembilan hari saja? hari ke 10 kembali masuk kantor. Bagaimana jika bolos secara akumulasi lebih dari sepuluh hari tetapi tidak secara berturut - turut? Artinya banyak teknik yang mereka gunakan untuk lepas dari aturan pemecatan dan pemerintah harus menghitung segala kemungkunan pelanggaran dan kecurangan. Intinya pemerintah harus punya sistem pengawasan yang kuat dan tegas, sehingga tidak dianggap angin lalu oleh PNS.

Harapannya peraturan tersebut tidak mengenyampingkan prinsip kemanusian dimana seorang PNS juga mempunyai keluarga yang harus mereka tanggung. Hukuman atau reward harus disesuaikan dengan dampak kerugian yang mereka timbulkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun