Biografi Abu Ubaid
Abu Ubaid yang memiliki nama lengkap al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi, lahir di Bahrain Provinsi Khurasan (sebelah barat Laut Afghanistan) pada tahun 150 H. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Abu Ubaid merupakan seorang ulama yang cerdas dan pintar. Pada usia 20 tahun, beliau menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti Kufah, Basrah dan Bagdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira'at, tafsir, hadis dan fiqih.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi(hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H (Karim, 2012:264). Selama menjabat qadi, ia sering menangani berbagai kasus pertahanan dan perpajakan serta menyelesaikanya dengan sangat baik. Setelah itu, penulis al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, seteah berhaji ia tinggal di Makkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.
Hasil karyanya ada sekitar 20 baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qawaid, Fiqh, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab al-Amwal. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada memukulkan pedang di jalan Allah. Kitab al-Amwal ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari separuh pertama abad kedua Islam. Kitab ini juga merupakan ringkasan tradisi asli dari Nabi SAW dan laporan para sahabat dan pengikutnya tentang masalah ekonomi.
Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
Dari berbagai hasil karya dan pemikiran yang dituliskan oleh Abu Ubaid, kekuatan utama pemikiran Abu Ubaid terlihat pada mahakarya yang terangkum dalam sebuah kitab berjudul al-Amwal. Kitab ini membahas mengenai keuangan publik dan kebijakan fiskal secara komprehensif yang memuat mengenai hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, dan fai sebagai sumber penerima negara lainnya.
Secara umum kitab al-Amwal menjelaskan mengenai praktek-praktek pengelolaan keuangan suatu negara. Dalam buku tersebut Abu Ubaid menyebutkan bahwa sumber penerimaan keuangan publik dapat terdiri dari ghanimah, fa'i dan zakat/shadaqoh. Sedangkan terkait dengan pendistribusian dari penerimaan tersebut dilakukan pembatasan dan memperlakukan sama terhadap bagian dari setiap manusia yang berhak.
Sedangkan penerimaan negara dengan kategori serupa dengan fa'i, zakat juga meru-pakan bagian dari penerimaan negara hanya saja memiliki beberapa perbedaan mendasar dari fa'i khususnya terkait 3 hal yaitu diperoleh dari kaum muslim, hanya diperuntukkan bagi asnaf (8 golongan) dan dapat dibayarkan oleh si pembayar zakat.
Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak kepada kepentingan publik (Karim, 2012:272).
Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun langsung kepada para penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik.
Ketika membahas tentang tarif atau persentasi untuk kharaj dan jizyah, Abu Ubaid menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-Muslim yang dalam terminologi keuangan modern disebut sebagai kemampuan membayar (capacity to pay) dengan kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya. Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim (ahl al-dzimmah) melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
- Ghanimah
Ghanimah yang merupakan harta rampasan perang memiliki pembagian yang telah diatur dengan pola distribusi yang terbagi atas lima bagian. Adapun 1/5 dari harta rampasan perang tersebut merupakan bagian Allah, Nabi, keluarga dan kerabat Nabi, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Sedangkan sisa dari 1/5 bagian tersebut diperuntukkan sesuai dengan kewenangan pemimpin negara/ imam.
- Fa'i
Fa'i adalah bentuk penerimaan negara yang diperoleh tanpa melalui peperangan, yaitu meru-pakan pajak yang dikenakan kepada kaum musyrikin yang tidak mau memeluk agama Islam, dan terdiri atas kharaj/pajak tanah hasil kelolaan, jizyah/pajak tahunan, dan ushur/pajak perdagangan. Pembagian distribusi fa'i dilakukan oleh otoritas melalui ijtihad para mujtahid dan tidak boleh dilakukan sendiri oleh si pemilik barang/properti.
- Kharaj
Kharajmerupakan pajak/cukai hasil tanah yang dikenakan kepada penduduk non-Muslim di negara berpemerintahan Islam. Dalam hukum syariah, Kharaj adalah cukai untuk tanah pertanian. Kharaj tidak disebut dalam Quran atau Hadits tetapi lebih ke ijma' atau konsensus ulama Islam dan bagian dari tradisi islam.
Untuk mengetahui tingkat kharaj, Abu Ubaid melihat prakarsa yang dilakukan oleh Umar al-Khattab, yang menentukan tingkat kharaj berdasarkan luas lahan dan jenis usaha yang dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada sejarah ash-Sya'bi negara ketika Umar Ibn Khattab telah mengirim Ibn Hunaif ke Sawad. Utusan tersebut telah mewajibkan mereka membayar Kharaj, dengan nilai sebagai berikut: (i) untuk 1 hektar gandum, pajaknya adalah 4 dirham; (ii) untuk 1 hektar tebu, pajaknya adalah 6 dirham, (iii) untuk 1 hektar kelapa sawit, pajaknya adalah 8 dirham; (iv) untuk 1 hektar kubis pajaknya adalah 10 dirham; (v) untuk 1 hektar zaitun, pajaknya adalah 12 dirham.
      Akan tetapi menurut Abu Ubaid, Kharaj adalah pajak yang terkumpul dari hasil tanah yang ditaklukkan oleh kaum Muslim baik oleh kekuatan atau dengan cara damai, sehingga pajak hasil bumi yang terkumpul dari tanah yang ditaklukkan oleh Islam secara paksa juga dapat dikatakan kharaj. Abu Ubaid berpendapat bahwa pengenaan kharaj ini tidak secara otomatis gugur pada ahl al-dzimmah bahkan jika mereka telah memeluk Islam.
      Jadi jika kita melihat pandangan Abu Ubaid dengan jelas itu menunjukkan bahwa kharajadalah alternatif praktis bagi sebuah negara untuk meningkatkan pendapatan untuk menutupi biaya kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini negara dapat menentukan apakah akan memaksakan kharaj atau sebaliknya. Demikian pula, tingkat kharaj yang dikenakan baik pada tingkat yang lebih tinggi atau lebih rendah tergantung pada kehendak negara melalui ijtihad. Negara juga dapat menentukan apakah akan dikumpulkan kharaj atau sebaliknya.
- Jizyah
Jizyah adalah pajak yang dikenakan dari harta milik ahl al-dzimmah, yang mana ahl al-dzimah merupakan warna non-muslim yang tinggal di negara-negara muslim dan menikmati semua hak dan tanggung jawab yang terkandung dalam syariah. Warga non-muslim tersebut juga memiliki hak dan tanggung jawab tertentu yang ditetapkan oleh Islam, sehingga properti dan kehidupan mereka harus dilindungi oleh negara.
Dari segi bahasa, ahl al-dzimmah didefinisikan sebagai kesepakatan dan perlindungan. Ahl al-dzimmah juga menunjukkan tentang warna non-Muslim yang tinggal di negara-negara dengan  pemerintahan Islam. Abu Ubaib menyatakan bahwa jizyah termasuk dalam kategori properti fa'i.
Perdebatan tentang siapa yang akan diwajibkan atau tidak, untuk membayar jizyah juga dibahas oleh Abu Ubaid, di mana dia mengatakan hanya laki-laki yang diwajibkan membayar jizyah. Kesepakatan Abu Ubaid dengan pembayaran jizyah didasarkan pada praktik yang dilakukan oleh khalifah Umar Ibn Khattab, yaitu 4 dinar untuk pedagang emas dan 40 dirham untuk pedagang perak. Akan tetapi pada masa Rasulullah SAW, Muadz Ibn Jabal pernah diperintahkan untuk mengenakan jizyah kepada ahli kitab di Yaman sebesar : (i) 1 dinar; atau (ii) 1 ekor sapi umur 1 tahun untuk kepemilikan 30 ekor sapi; (iii) 1 ekor sapi umur 2 tahun untuk kepemilikan 40 ekor sapi; (iv) 1/10 penghasilan dari tanah bila diairi oleh air hujan dan 1/20 bila menggunakan biaya.
Pendapatan ini digunakan untuk gaji Muslim dan untuk makan tamu selama tiga hari. Namun, Zaki Ibrahim (1998) menyatakan bahwa besaran jizyah tidak secara khusus ditentukan sebelumnya. Namun, selama masa Umar Ibn Khattab besaran yang berbeda untuk penduduk di Sham dan Yaman telah ditetapkan. Jumlah/besaran jizyah yang ditentukan oleh Umar Ibn Khattab berbeda dengan yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.
Pendapat Abu Ubaid dalam kasus ini adalah bahwa jika Umar Ibn Khattab mengetahui tingkat jizyah yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW, maka, beliau tidak akan menentukan proporsi jizyah secara berbeda dari yang diputuskan oleh Rasulullah SAW. Umar Ibn Khattab memberlakukan jizyah yang lebih tinggi ke penduduk di Sham dibandingkan dengan penduduk di Yaman. Perbedaan tingkat ini ditentukan berdasarkan kekayaan dan kekuatan fisik.
Pengenaan jizyah pun tidak diperuntukkan bagi semua ahl al-dzimmah, hanya di-peruntukkan bagi laki-laki serta tidak diwajibkan bagi perempuan dan anak-anak. Selain itu, jika ditemukan adanya ahl al-dzimmah yang tidak mampu membayar jizyah dikarenakan kemiskinan, maka kewajiban membayar jizyah tersebut akan digugurkan darinya.
- Ushr
Ushur adalah pajak pungutan atas barang dagangan yang masuk ke negara muslim atau barang dagangan hasil produksi dalam negeri. Sistem Ushur dimulai di era Umar Ibn Khattab, berdasarkan prinsip dan norma keadilan. Ini berarti sistem ushur tidak digunakan pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar, sehingga Abu Ubaid mengatakan bahwa beberapa hadits yang berkaitan dengan hukum perpajakan dalam mengambil ushuradalah makruh. Adapun nilai ushur adalah 1/10 dari barang yang diperdagangkan.
      Abu Ubaid juga membahas tentang pajak perdagangan yang dikenakan pada umat Islam dan non-Muslim. Abu Ubaid membawa beberapa hadits yang melarang pengenaan pajak pada umat Islam. Dalam kasus ini Abu Ubaid melihat bahwa praktik tersebut dilakukan oleh Umar al-Khattab yang memberlakukan pajak perdagangan bagi umat Islam yang berasal dari negara-negara non-Muslim dan menjadi warga negara yang praktis. Menurut Abu Ubaid jika apa yang dilakukan oleh Umar al-Khattab dilarang dalam Islam, maka Umar mungkin tidak mau melakukannya.
- Zakat
Abu Ubaid menjelaskan berkaitan dengna pengumpulan zakat, hak pemerintah untuk melaksanakan kekuatan politisnya, bagaimanapun juga, hanya terbatas pada bentuk kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan tidak pada kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat.
Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.
Abu Ubaid sangat menentang pendapat yang menyatakan bahwa pembagian harta zakat harus dilakukan secara merata di antara delapan kelompok penerima zakat dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya, serta menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan.
Abu Ubaid mengindikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat, yaitu:
- Kalangan kaya yang terkena wajib zakat;
- Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak meneri-ma zakat;
- Kalangan menerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum, Abu Ubaid men-gadopsi prinsip "bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing". Lebih jauh, ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat (atau pajak) yang diberi-kan pada para pengumpulnya (amil), pada prinsipnya, dia lebih cenderung pada prinsip "bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya".
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah SAW yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu (i) penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya; (ii) pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan penyalurannya, dan (iii) penyaluran silang (cross distribution) antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.
Dalam pembahasan lebih lanjut, Abu Ubaid juga mengemukakan konsep pemikiran di luar konteks keuangan negara, namun tetap terkait masalah perekonomian spasial, hukum per-tanahan dan moneter (fungsi uang), diantaranya sebagai berikut:
- Dikotomi Desa dan Kota
Pembahasan mengenai dikotomi desa dan kota dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai. Abu Ubaid menyatakan bahwa, kaum badui (pedesaan) berbeda dengan kaum urban (perkotaan). Beberapa hal yang dilakukan oleh kaum perkotaan yang tidak dilakukan oleh kaum di desa pada masa tersebut diantaranya :
- Ikut terhadap keberlangsungan Negara dengan berbagi kewajiban administratif dari semua kaum muslimin.
- Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka.
- Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui proses belajar-mengajar al-Qur'an dan as-Sunnah serta penyebaranya.
- Berkontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
- Memberikan contoh universalisme Islam melalui shalat berjamaah.
Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan yang dibangun, Abu Ubaid yang berusaha membangun konsep suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum, dan kasih sayang memprioritaskan pendistribusian maanfaat dari perolehan fa'ikepada masyarakat perkotaan. Hal tersebut disebabkan karakteristik di atas dimiliki oleh kaum perkotaan. Sedangkan kaum pedesaan tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah dilakukan kaum perkotaan, sehingga tidak bisa memperoleh manfaat pendapatan fai sebanyak kaum perkotaan.
- Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu 'Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Secara implisit Abu 'Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti: (i) iqtha' (enfeoffment) tanah gurun dan pernyataan resmi terhadap kepemilikan perorangan atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Maka tanah yang diberikan tersebut dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut, akan didenda dan kemudian dialihkan kepemilikannya oleh penguasa.
Bahkan tanah gurun yang termasuk hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati oleh orang lain melalui suatu proses yang sama; (ii) Ihwa al-Mawat yaitu membuka kembali tanah yang mati/tandus dengan membersihkannya, mendirikan bangunan dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan tersebut. Dalam hal ini, negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum yang seluruh manfaatnya diserahkan kepada kemaslahatan umat; (iii) Hima yaitu merupakan tanah tidak berpenduduk yang dilindungi oleh pemerintah dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat seperti air, rumput dan tanaman.
Dalam pandangan Abu Ubaid, sumber daya publik, seperti air, padang rumput, dan api tidak boleh dimonopoli. Seluruh sumber daya ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
- Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni sebagi standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media pertukaran (medium of exchange). Dalam hal ini, ia menyatakan:
"Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu (infaq)."
Pernyataan Abu 'Ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum relatif konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas yang lainnya. Jika kedua benda tersebut jika digunakan sebagai komoditas, nilai dari keduannya akan dapat berubah-ubah pula, karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan dua peran yang berbeda, yakni barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang-barang lainnya. Abu Ubaid secara implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat.
Penerapan Pemikiran Abu Ubaid Untuk Saat Ini
Ketika pemerintahan kita mengatakan bahwa negara sedang kekurangan dana, mengapa pemerintah tidak mencetak uang sebanyak mungkin? Setelah menelaah, ternyata tentu tidak semudah itu. Inflasi akan menjadi alasan utama masalah ini. Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme penerbitan uang? Kita tahu bahwa penerbit uang dilakukan oleh Bank Indonesia bukan pemerintah, lalu bagaimana mengontrolnya?
Kisah penerbitan uang memiliki sejarahnya sendiri. Sebelum sistem uang sebagai alat tukar menukar ini diberlakukan, kita mengenal sistem barter. Hanya pertukaran antara barang dengan barang. Asal saling menguntungkan, transaksi bisa dilakukan. Tak jarang nilai pertukaran yang terjadi sebenarnya tidak fair namun tetap dilaksanakan karena urgensi kebutuhan yang harus segera terpenuhi.
Setelah peradaban semakin maju, manusia mulai mengenal emas dan memanfaatkannya sebagai standar kekayaan. Emas juga kemudian menjadi alat tukar karena nilainya yang diakui secara global. Emas disini berupa perhiasan atau produk-produk lainnya hasil buatan dari emas. Semakin lama orang mulai menyadari perhiasan semacam ini tidak praktis digunakan dalam transaksi. Dari sini orang mulai berinisiatif membuat uang. Awalnya uang koin yang juga terbuat dari emas dan nilai nya bergantung pada nilai emas itu sendiri. Contohnya di Arab yang mengenal uang dinar. Kemudian untuk membentuk nilai uang dalam ukuran yang lebih kecil digunakanlah koin yang terbuat dari logam lain, semisal logam perak yang paling banyak digunakan.
Seiring kemajuan zaman, manusia mulai memikirkan alat tukar yang lebih praktis. Tidak perlu harus dari emas namun nilainya tetap berpatokan pada emas. Muncullah uang kertas dan uang koin yang tidak terbuat dari emas atau perak. Namun uang tersebut dicetak dengan berpatokan pada nilai emas atau perak. Jadi untuk menerbitkan sejumlah uang maka penerbit uang harus mengkompensasikannya dengan emas. Sehingga nilai uang saat itu masih ditopang oleh emas. Satu catatan yang menarik bahwa selama dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang praktis tidak terjadi masalah moneter utamanya terkait inflasi.
Pada permulaan abad 20, ekonomi dunia semakin bertumbuh. Setiap negara memiliki mata uangnya masing-masing namun semuanya hampir seragam berpatokan pada emas. Amerika Serikat yang memiliki industri paling mapan sekaligus pemenang Perang Dunia menjadi acuan penetapan nilai tukar mata uang negara-negara di dunia.
Pada tahun 1944, ditahun dimana sistem Bretton Woods mulai disepakati, tercapai konsensus penetapan 35 dolar Amerika Serikat setara dengan satu ounce emas. Sehingga jika pemerintah ingin mencetak 35 dolar maka, pemerintah harus menyerahkan 1 troy ounce emas. Nilai mata uang sebenarnya cukup stabil pada era ini sampai pada tahun 1971 ketika Amerika mengalami masalah finansial yang serius. Saat itu, Amerika mengalami kekurangan uang karena harus menghadapi perang dingin, membiayai perang di Vietnam dan mendukung sekutunya Israel di Timur Tengah. Di tahun itu, harga resmi emas masih 38 dolar per ons.
Karena membutuhkan uang dalam jumlah besar, Presiden Nixon pun mengambil jalan pintas dengan keluar dari sistem Bretton Woods. Amerika Serikat pun tak lagi mematok dolarnya dengan emas. Kebijakan yang juga akhirnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia. Sebelumnya kita juga mematok rupiah dengan emas. Jadi jika ingin menerbitkan sejumlah uang maka pemerintah harus menyerahkan emas dengan nilai yang setara kepada Bank Indonesia.
Namun untuk saat ini, negara kita juga tak lagi menjalankan sistem Bretton Woods dalam penerbitan uangnya. Jadi, nilai rupiah kini tak lagi ditopang oleh emas. Jika ingin menambah peredaran uang dengan menerbitkan uang baru, maka pemerintah harus menerbitkan surat utang yang akan dijual kepada Bank Indonesia. BI akan membeli surat utang tersebut dengan uang yang baru ia terbitkan. Hanya saja surat utang tersebut tidak berisi kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan pengembalian uang kepada BI. Surat utang itu hanya berisi komitmen bahwa pemerintah dapat menjaga stabilitas ekonomi sebagai akibat dari penerbitan uang tersebut.
Begitulah kira-kira mekanisme sederhana penerbitan uang baru di Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Jika kita kaitkan dengan pemikiran Abu Ubaid tentang masalah uang, dimana ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Sangat disayangkan karena untuk saat ini indonesia tidak menggunakan pemikiran tersebut. Penulis menganggap bahwa ini menunjukkan betapa masih rapuhnya keadaan ini, terlebih lagi karena negara kita masih harus mengikuti kebijakan dari Amerika terkait masalah ini.
Jika membahas masalah fungsi uang, Abu Ubaid mengatakan bahwa uang memiliki dua fungsi uang --yang tidak mempunyai nilai intrinsik-- sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Begitu pula di Indonesia, mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Namun di Indonesia, lebih rincinya uang yang dibedakan dalam dua kategori fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi turunan.
- Fungsi Asli
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
- Sebagai Alat Tukar
- Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
- Sebagai Satuan Hitung
- Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
- Sebagai Penyimpan Nilai
- Uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
- Fungsi Turunan
- Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain:
- Uang sebagai alat pembayaran yang sah
- Kebutuhan manusia akan barang dan jasa yang semakin bertambah dan beragam tidak dapat dipenuhi melalui cara tukar-menukar atau barter. Guna mempermudah dalam mendapatkan barang dan jasa yang diperlukan, manusia memerlukan alat pembayaran yang dapat diterima semua orang, yaitu uang.
- Uang sebagai alat pembayaran utang
- Uang dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa yang akan datang.
- Uang sebagai alat penimbun kekayaan
- Sebagian orang biasanya tidak menghabiskan semua uang yang dimilikinya untuk keperluan konsumsi. Ada sebagian uang yang disisihkan dan ditabung untuk keperluan di masa datang.
- Uang sebagai alat pemindah kekayaan
- Seseorang yang hendak pindah dari suatu tempat ke tempat lain dapat memindahkan kekayaannya yang berupa tanah dan bangunan rumah ke dalam bentuk uang dengan cara menjualnya. Di tempat yang baru dia dapat membeli rumah yang baru dengan menggunakan uang hasil penjualan rumah yang lama.
- Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi
- Apabila nilai uang stabil orang lebih bergairah dalam melakukan investasi. Dengan adanya kegiatan investasi, kegiatan ekonomi akan semakin meningkat.
Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat
Zakat sebagai institusi keuangan publik, di mana pemerintah bertanggungjawab atasnya telah mengalami degradasi. Karakter politik zakat yang pernah dipertahankan oleh Abu Bakar, telah mulai menghilang secara perlahan namun pasti. Pada saat ini, banyak umat muslim yang tidak membayarkan zakatnya kepada pemerintah atau pemegang otoritas kekuasaan di wilayahnya. Hal tersebut telah terjadi pada saat peralihan kepemimpinan dari Ustman bin Affan kepada Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah keempat. Pada saat itu, umat muslim mulai berselisih pendapat perihal pembayaran zakat kepada pemerintah. Sebagian ada yang tetap membayarkannya kepada pemerintah dan sebagian lainnya membagikannya sendiri kepada para mustahiq.
Dalam bukunya Kitab Al-Amwal halaman 562, Abu Ubaid meriwayatkan:
: .
Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar bin Khattab atau kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar bin Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman bin Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.
Adiwarman (2004) meyebutkan bahwa dalam karyanya Kitab al-Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara (pemerintah), yakni fa'i, khums dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Ugi (2004) menyebutkan bahwa setelah khalifah keempat, situasi diperburuk oleh berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembayaran zakat kepada pemerintah, Abu Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab Al-Amwal dengan judul "Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama tentang Masalah ini."
Dalam hal ini Ibn Umar dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu'awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.
Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang (pembayaran) zakat. Dia menjawab, "Bayarkan kepada pengumpul zakat ('umal)", tetapi mereka menjawab "Kadang orang-orang Syam (yakni pendukung Mua'wiyah) berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni pendukung Ali) berkuasa." Dia (yakni Ibn Umar) menjawab: "Bayarkan kepada mayoritasnya".
Namun dalam kasus lain, Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar memberikan jawaban yang berbeda pula perihal kepada siapa zakat dibayarkan:
Saya berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya: "Apakah kami harus membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk untuk kami ('ummalina). Dia (Ibn Umar menjawab: "Ya". Kemudian dia (orang yang bertanya itu) mengatakan: "Para kolektor yang ditunjuk untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan: "Ziyad (bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim (untuk mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab: "Jangan membayarkan zakatmu kepada non-Muslim".
Pada awalnya Ibn Umar secara tegas menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.
Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkannya.
Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus, sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai.
Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat
Pada masa kepemimpinan Rasulullah saw, pengelolaan zakat dilakukan dengan menunjuk seorang utusan yang dipercaya oleh beliau untuk mengambil zakat pada suatu suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu'az bin bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu'az disamping sebagai seorang da'i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.
Abu Ubaid dalam karyanya Kitab Al-Amwal halaman 493, menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan praktek penarikan zakat pada masa Rasulullah saw. Abu Ubaid menyebutkan:
. . .
      Sedangkan dala riwayat lain, Abu Ubaid menutip pada halaman 493:
Dalam hadits yang dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu'az bin Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah, akan tetapi ia (Mu'az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).
Kata " " (tu`khadzu) pada hadits di atas berarti "diambil", hal ini menegaskan kembali bahwasanya zakat itu tidak dibayarkan akan tetapi diambil dari para muslim yang tergolong wajib zakat (kaya) di antara mereka (pendukuk Yaman). Sedangkan pada kata "" (fa turaddu) yang berarti "lalu dikembalikan", hal tersebut menerangkan bahwa zakat yang diambil dari golongan yang mampu (kaya) di antara mereka (penduduk Yaman) disalurkan atau didistribusikan kembali kepada golongan fakir-miskin di antara mereka (penduduk Yaman) pula.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu'az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:
Al-Amwal hal. 596:
Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, "Kalau saya menjumpai orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya pungut(Al-Qaradhawi, 1995).
Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.
Pertimbangan Kebutuhan
Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat. Abu Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenui kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan, tetapi pada waktu yang sama Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan kepada orang yang memiliki 40 dirham (harta lain yang setara) di samping pakaian, rumah dan pelayan (yang ia anggap sebagai suatu standar hidup minimum). Abu Ubaid menganggap bahwa seseorang yang memiliki 200 dirham (jumlah minimum wajib zakat) sebagai orang kaya sehingga ada kewajiban zakat terhadap orang tersebut.
Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio-ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam (Karim, 2012:278-279).
Ekspor Impor
Pemikiran Abu Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional, cukai bahan makanan pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai.
- Tidak Adanya Nol Tarif
Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan telah dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa pengecualian. Sebab, kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri mereka. Dari Abdurrahman bin Maqil, ia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Ziyad bin Hudair, Siapakah yang telah kalian pungut cukai barang impornya? Ia berkata, "Kami tidak pernah mengenakan cukai atas Muslim dan Mua-hid. Saya bertanya, Lantas, siapakah orang yang telah engkau kenakan cukai atasnya? Ia berkata, "Kami mengenakan cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka telah memungut barang impor kami apabila kami masuk dan mendatangi negeri mereka".
Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah, dimana beliau mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain, Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah memeluk agama Islam. Isi surat tersebut adalah "Binatang ternak mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor mereka tidak boleh dipungut cukai atasnya".
Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk surat kepada Adi bin Arthaah yang isinya adalah "Biarkanlah bayaran fidyah manusia. Biarkanlah bayaran makan kepada ummat manusia. Hilangkanlah bayaran cukai barang impor atas ummat manusia. Sebab, ia bukanlah cukai barang impor. Akan tetapi ia merupakan salah satu bentuk merugikan orang lain". Sebagaimana firman Allah, "Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan" (QS. Hud:85).
Dari uraian di atas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliah. Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah dan agama Islam. Lalu, datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat dari usyur (2.5%). Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, "Saya telah dilantik Umar menjadi petugas bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor dari para pedagang kafir harbi sebanyak usyur (10%), barang impor pedagang ahli dzimmah sebanyak setengah dari usyur (5%), dan barang impor pedagang kaum muslimin seperempat dari usyur (2.5%)".
- Cukai Bahan Makanan Pokok
Untuk minyak dan gandum yang merupakan bahan makanan pokok, cukai yang dikenakan bukan 10% tetapi 5% dengan tujuan agar barang impor berupa makanan pokok banyak berdatangan ke Madinah sebagai pusat pemerintahan saat itu. Dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya, ia berkata, "Umar telah memungut cukai dari kalangan pedagang luar; masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran cukai sebanyak setengah dari usyur (5%). Hal ini bertujuan supaya barang impor terus berdatangan ke negeri madinah. Dan dia telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak usyur (10%)".
- Ada Batas Tertentu untuk Cukai
Yang menarik, tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Ada batas-batas tertentu dimana kalau kurang dari batas tersebut, maka cukai tidak akan dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi (dia adalah petugas cukai di perbatasan Mesir pada saat itu) bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya, yang isinya adalah:
"Barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli zimmah, maka pu-ngutlah barang dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua puluh dinar mesti dikenakan cukai sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila barang dagangannya kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau memungut apapun darinya. Kemudian buatkanlah surat pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap diberlakukan sehingga sampai satu tahun".
Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus dirharn di dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq, Sufyan telah menggugurkan kewajiban membayar cukai apabila barang impor ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirharn. Menurut Abu Ubaid, seratus dirharn inilah ketentuan kadar terendah pengumpulan cukai atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.
Oleh Irvan Maulana
Anggota MES DKI Jakarta
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI