Mohon tunggu...
Good Words
Good Words Mohon Tunggu... Put Right Man on the Right Place

Pemerhati Bangsa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abu 'Ubaid dan Al Amwal, Legenda dan Mahakarya untuk Ekonomi Dunia

13 Desember 2017   08:06 Diperbarui: 13 Desember 2017   09:06 6777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

: .

Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar bin Khattab atau kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya Umar bin Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman bin Affan atau kepada orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap membayarkannya kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.

Adiwarman (2004) meyebutkan bahwa dalam karyanya Kitab al-Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara (pemerintah), yakni fa'i, khums dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat.

Ugi (2004) menyebutkan bahwa setelah khalifah keempat, situasi diperburuk oleh berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembayaran zakat kepada pemerintah, Abu Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab Al-Amwal dengan judul "Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama tentang Masalah ini."

Dalam hal ini Ibn Umar dipandang sebagai rujukan untuk memberikan keputusan pada saat perubahan situasi kepemimpinan pada saat itu. Perpecahan umat Islam dalam memperebutkan kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu'awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.

Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa zakat dibayarkan:

Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang (pembayaran) zakat. Dia menjawab, "Bayarkan kepada pengumpul zakat ('umal)", tetapi mereka menjawab "Kadang orang-orang Syam (yakni pendukung Mua'wiyah) berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni pendukung Ali) berkuasa." Dia (yakni Ibn Umar) menjawab: "Bayarkan kepada mayoritasnya".

Namun dalam kasus lain, Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar memberikan jawaban yang berbeda pula perihal kepada siapa zakat dibayarkan:

Saya berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya: "Apakah kami harus membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk untuk kami ('ummalina). Dia (Ibn Umar menjawab: "Ya". Kemudian dia (orang yang bertanya itu) mengatakan: "Para kolektor yang ditunjuk untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan: "Ziyad (bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim (untuk mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab: "Jangan membayarkan zakatmu kepada non-Muslim".

Pada awalnya Ibn Umar secara tegas menetapkan bahwa zakat harus dibayarkan kepada pemerintah (penguasa), di samping hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Pemerintah memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk menarik zakat dari para golongan yang mampu. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari karakter zakat itu sendiri sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.

Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun